Benar bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil
‘alamin. Namun banyak orang menyimpangkan pernyataan ini kepada
pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga menimbulkan banyak kesalahan
dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat fundamental, yaitu dalam
masalah aqidah.
Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan
lil ‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً
لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad,
melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin,
Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.
Secara bahasa,
الرَّحْمة: الرِّقَّةُ والتَّعَطُّفُ
rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba
(Lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat
dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Penafsiran Para Ahli Tafsir
1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul
Qayyim:
“Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini
adalah bahwa rahmat disini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua
penafsiran:
Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan
diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di
dunia dan akhirat sekaligus.
Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka
dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik
bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di
akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga, dipercepatnya ajal
lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran.
Orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau,
manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan dan
perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang
memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Orang munafik, yang menampakkan iman secara zhahir
saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan
mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum
waris dan hukum yang lain.
Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala
tidak memberikan adzab yang menyeluruh dari umat manusia di bumi.
Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa sallam.
Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang
yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di
akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam
tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima. Sebagaimana
jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan fulan tidak
meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”
2. Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:
“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu,
wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat
bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi
pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai
Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan
membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”
3. Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath
Thabari:
“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat
ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh
manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli
tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun
kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam
menafsirkan ayat ini:
من آمن بالله واليوم الآخر كتب له
الرحمة في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن بالله ورسوله عوفي مما أصاب الأمم من
الخسف والقذف
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang
tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah
dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua
di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”
dalam riwayat yang lain:
تمت الرحمة لمن آمن به في الدنيا
والآخرة , ومن لم يؤمن به عوفي مما أصاب الأمم قبل
“Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat bagi
orang-orang yang beriman kepada Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang
enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah
yang menimpa umat terdahulu”
Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang
dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu
Zaid dalam menafsirkan ayat ini:
فهو لهؤلاء فتنة ولهؤلاء رحمة , وقد
جاء الأمر مجملا رحمة للعالمين . والعالمون هاهنا : من آمن به وصدقه وأطاعه
“Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang
mendapat bencana, ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam
ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Seluruh
manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada
Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya”
Pendapat yang benar dari dua pendapat ini adalah
pendapat yang pertama, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh
manusia, baik mu’min maupun kafir. Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah
memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang
beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah.
Sedangkan rahmat bagi orang kafir, berupa tidak disegerakannya bencana yang
menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah” (diterjemahkan
secara ringkas).
4. Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi dalam Tafsir Al
Qurthubi
“Said bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau
berkata:
كان محمد صلى الله عليه وسلم رحمة
لجميع الناس فمن آمن به وصدق به سعد , ومن لم يؤمن به سلم مما لحق الأمم من الخسف
والغرق
“Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah
rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman dan membenarkan ajaran beliau,
akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman kepada beliau, diselamatkan
dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa ditenggelamkan ke dalam bumi
atau ditenggelamkan dengan air”
Ibnu Zaid berkata:
أراد بالعالمين المؤمنين خاص
“Yang dimaksud ‘seluruh manusia’ dalam ayat ini
adalah hanya orang-orang yang beriman” ”
5. Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir
“Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu,
wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana
dalam sebuah hadits:
إنما أنا رحمة مهداة
“Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan
(oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir 369, Al
Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani
dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’,
2345)
Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas
nikmat ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan
lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala
ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya
pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau
diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia
dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai
kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang
sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia
yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat
Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat
ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi
ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau
ditenggelamkan dengan air”
Pemahaman Yang Salah Kaprah
Permasalahan muncul ketika orang-orang menafsirkan
ayat ini secara serampangan, bermodal pemahaman bahasa dan logika yang dangkal.
Atau berusaha memaksakan makna ayat agar sesuai dengan hawa nafsunya.
Diantaranya pemahaman tersebut adalah:
1. Berkasih sayang dengan orang kafir
Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada
orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan
menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan benar,
dengan berdalil dengan ayat:
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً
لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad,
melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta” (QS. Al Anbiya: 107)
Padahal bukan demikian tafsiran dari ayat ini. Allah
Ta’ala menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, namun
bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah dengan berkasih sayang kepada
mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat
bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa
umat terdahulu. Inilah bentuk kasih sayang Allah terhadap orang kafir, dari
penjelasan sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu.
Bahkan konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan
Rasul-Nya adalah membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah,
membenci bentuk-bentuk penentangan terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa sallam, serta membenci orang-orang yang melakukannya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ
كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka”
(QS. Al-Mujadalah: 22)
Namun perlu dicatat, harus membenci bukan berarti
harus membunuh, melukai, atau menyakiti orang kafir yang kita temui.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam tafsir beliau di atas, bahwa ada
orang kafir yang wajib diperangi, ada pula yang tidak boleh dilukai.
Menjadikan surat Al Anbiya ayat 107 sebagai dalil
pluralisme agama juga merupakan pemahaman yang menyimpang. Karena ayat-ayat Al
Qur’an tidak mungkin saling bertentangan. Bukankah Allah Ta’ala sendiri
yang berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ
الإِسْلامُ
“Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam”
(QS. Al Imran: 19)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ
دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al Imran: 85)
Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin
menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan ‘berserah diri’. Jadi semua
agama benar asalkan berserah diri kepada Tuhan, kata mereka. Cukuplah kita
jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:
الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله
وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت
إليه سبيلا
”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan
Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu
melakukannya” (HR. Muslim no.8)
Justru surat Al Anbiya ayat 107 ini adlalah bantahan
telak terhadap pluralisme agama. Karena ayat ini adalah dalil bahwa semua
manusia di muka bumi wajib memeluk agama Islam. Karena Islam itu ‘lil alamin‘,
diperuntukkan bagi seluruh manusia di muka bumi. Sebagaimana dijelaskan Imam
Ibnul Qayyim di atas: “Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang
yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di
akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya”.
2. Berkasih sayang dalam kemungkaran
Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang
meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum
bahkan membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan menasehati mereka
karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika dinasehati,
kemudian berkata : “Islam khan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”.
Sungguh aneh.
Padahal bukanlah demikian tafsir surat Al Anbiya ayat
107 ini. Islam sebagai rahmat Allah bukanlah bermakna berbelas kasihan
kepada pelaku kemungkaran dan membiarkan mereka dalam kemungkarannya.
Sebagaiman dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang
mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan
orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran
Allah”.
Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang mu’min
adalah dengan memberi mereka petunjuk untuk menjalankan perinta-perintah Allah
dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah.
Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita
yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat
yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.
Dan sikap rahmat pun diperlukan dalam
mengingkari maksiat. Sepatutnya pengingkaran terhadap maksiat mendahulukan
sikap lembut dan penuh kasih sayang, bukan mendahulukan sikap kasar dan keras.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam bersabda:
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه .
ولا ينزع من شيء إلا شانه
“Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali
akan menghiasnya. Tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali akan
memperburuknya” (HR. Muslim no. 2594)
3. Berkasih sayang dalam penyimpangan beragama
Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk melegalkan
berbagai bentuk bid’ah, syirik
dan khurafat. Karena mereka menganggap bentuk-bentuk penyimpangan
tersebut adalah perbedaan pendapat yang harus ditoleransi sehingga merekapun
berkata: “Biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami, bukankah
Islam rahmatan lil’alamin?”. Sungguh aneh.
Menafsirkan rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107
dengan kasih sayang dan toleransi terhadap semua pemahaman yang ada pada kaum
muslimin, adalah penafsiran yang sangat jauh. Tidak ada ahli tafsir yang
menafsirkan demikian.
Perpecahan ditubuh ummat menjadi bermacam golongan
adalah fakta, dan sudah diperingatkan sejak dahulu oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam. Dan orang yang mengatakan semua golongan tersebut itu
benar dan semuanya dapat ditoleransi tidak berbeda dengan orang yang mengatakan
semua agama sama. Diantara bermacam golongan tersebut tentu ada yang benar dan
ada yang salah. Dan kita wajib mengikuti yang benar, yaitu yang sesuai dengan
ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Bahkan Ibnul Qayyim
mengatakan tentang rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107: “Orang yang
mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus”.
Artinya, Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada orang yang mengikuti
golongan yang benar yaitu yang mau mengikuti ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wa sallam.
Pernyataan ‘biarkanlah kami dengan pemahaman kami,
jangan mengusik kami’ hanya berlaku kepada orang kafir. Sebagaimana
dinyatakan dalam surat Al Kaafirun:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا
عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ
وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku‘”
Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh demikian.
Bahkan wajib menasehati bila saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang
dinasehati pun sepatutnya lapang menerima nasehat. Bukankah orang-orang beriman
itu saling menasehati dalam kebaikan?
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي
خُسْرٍإِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr: 1 – 3)
Dan menasehati orang yang berbuat menyimpang dalam
agama adalah bentuk kasih sayang kepada orang tersebut. Bahkan orang yang
mengetahui saudaranya terjerumus ke dalam penyimpangan beragama namun
mendiamkan, ia mendapat dosa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam:
إذا عملت الخطيئة في الأرض كان من
شهدها فكرهها كمن غاب عنها . ومن غاب عنها فرضيها ، كان كمن شهدها
“Jika engkau mengetahui adanya sebuah kesalahan
(dalam agama) terjadi dimuka bumi, orang yang melihat langsung lalu
mengingkarinya, ia sama seperti orang yang tidak melihat langsung (tidak dosa).
Orang yang tidak melihat langsung namun ridha terhadap kesalahan tersebut, ia
sama seperti orang yang melihat langsung (mendapat dosa)” (HR. Abu Daud
no.4345, dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Perselisihan pendapat pun tidak bisa dipukul-rata
bahwa semua pendapat bisa ditoleransi. Apakah kita mentoleransi sebagian orang
sufi yang berpendapat shalat lima waktu itu tidak wajib bagi orang yang
mencapai tingkatan tertentu? Atau sebagian orang kejawen yang menganggap
shalat itu yang penting ‘ingat Allah’ tanpa harus melakukan shalat? Apakah kita mentoleransi pendapat
Ahmadiyyah yang mengatakan bahwa berhaji tidak harus ke Makkah? Tentu tidak
dapat ditoleransi. Jika semua pendapat orang dapat ditoleransi, hancurlah agama
ini. Namun pendapat-pendapat yang berdasarkan dalil shahih, cara
berdalil yang benar, menggunakan kaidah para ulama, barulah dapat kita
toleransi.
4. Menyepelekan permasalahan aqidah
Dengan menggunakan ayat ini, sebagian orang
menyepelekan dan enggan mendakwahkan aqidah yang benar. Karena mereka
menganggap mendakwahkan aqidah
hanya akan memecah-belah ummat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai
dengan prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Renungkanlah perkataan Ash Shabuni dalam menafsirkan rahmatan
lil ‘alamin: “Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memberikan
pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan
hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang
dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wa sallam menjadi rahmat bagi seluruh manusia karena beliau membawa
ajaran tauhid. Karena manusia pada masa sebelum beliau diutus berada dalam
kesesatan berupa penyembahan kepada sesembahan selain Allah, walaupun mereka
menyembah kepada Allah juga. Dan inilah inti ajaran para Rasul. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ
رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut’
” (QS. An Nahl: 36)
Selain itu, bukankah masalah aqidah ini yang dapat menentukan nasib
seseorang apakah ia akan kekal di neraka atau tidak? Allah Ta’ala berfirman:
نَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ
حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا
لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya
ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”
(QS. Al Maidah: 72)
Oleh karena itu, adakah yang lebih urgen dari masalah
ini?
Kesimpulannya, justru dakwah tauhid, seruan untuk
beraqidah yang benar adalah bentuk rahmat dari Allah Ta’ala.
Karena dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam adalah rahmat Allah, maka bagaimana mungkin
menjadi sebab perpecahan ummat? Justru kesyirikanlah yang sebenarnya menjadi
sebab perpecahan ummat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا
لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Janganlah kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan
mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar Ruum: 31-32)
Pemahaman Yang Benar
Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir yang terpercaya, beberapa faedah
yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah:
- Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
- Seluruh manusia di muka bumi diwajibkan memeluk agama Islam.
- Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya.
- Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
- Rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
- Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
- Orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, membenarkan beliau serta taat kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
- Orang kafir yang memerangi Islam juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, yaitu dengan diwajibkannya perang melawan mereka. Karena kehidupan mereka didunia lebih lama hanya akan menambah kepedihan siksa neraka di akhirat kelak.
- Orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum musliminjuga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Yaitu dengan dilarangnya membunuh dan merampas harta mereka.
- Secara umum, orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam berupa dihindari dari adzab yang menimpa umat-umat terdahulu yang menentang Allah. Sehingga setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, tidak akan ada kaum kafir yang diazab dengan cara ditenggelamkan seluruhnya atau dibenamkan ke dalam bumi seluruhnya atau diubah menjadi binatang seluruhnya.
- Orang munafik yang mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat kelak Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka Jahannam.
- Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan pencerahan kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah kepada manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada selain Allah.
- Sebagian ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini diberikan juga kepada orang kafir namun mereka menolaknya. Sehingga hanya orang mu’min saja yang mendapatkannya.
- Sebagain ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini hanya diberikan orang mu’min.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar