Selamat Datang

Selasa, 24 Juli 2012

Syirik dan Bencana

Musibah dan bencana datang secara beruntun silih berganti melanda negeri ini. Tsunami di Aceh dan Mentawai, gempa di Nias, Padang, Yogyakarta, Tasikmalaya, banjir bandang Wasior, gunung Merapi, tanah longsor, angin puting beliung, banjir di mana-mana, semburan lumpur panas, kecelakaan alat transportasi di darat, laut, udara dan masih banyak lagi bencana lain yang tak terhitung jumlahnya. Mengapa bencana demi bencana terus menimpa tanah air kita ini?

Sebagai orang beriman yang bertakwa, sudah sepatutnya kita mengambil pelajaran berharga dari kejadian-kejadian ini. Selang beberapa saat setelah bencana besar terjadi, berbondong-bondonglah para pejabat atau kepala daerah mendatangi daerah bencana tersebut. Ucapan yang biasanya dilontarkan para pemimpin kepada rakyatnya yang sedang terkena bencana, "Sabar, tabah, tawakal, dan lain-lain..." yang pada intinya menghimbau agar rakyat bersabar dalam menghadapi bencana.

Kalau kita kembali ke zaman Khalifah Umar bin Khattab, yang juga merupakan Sahabat Rasulullah SAW. pada zaman tersebut juga pernah terjadi bencana berupa gempa dahsyat yang menimpa salah satu daerah yang dipimpinnya. Dan beliaupun mengunjungi daerah yang tertimpa gempa tersebut. Tetapi yang sangat berbeda dengan para pemimpin sekarang adalah perkataan yang dilontarkan oleh beliau. Khalifah Umar berkata, "Wahai rakyatku, dosa besar apakah yang kalian lakukan sehingga Allah menimpakan azab seperti ini?!".

Sebagian orang mungkin akan berpikir bahwa perkataan seperti itu sangatlah kasar dan kurang berkenan, apalagi kepada orang yang sedang tertimpa musibah. Tetapi, Khalifah Umar berkata demikian bukanlah tanpa sebab. Umar bin Khattab lebih mengajak rakyatnya agar mengintrospeksi diri, dan inilah yang seharusnya kita lakukan.

Dalam Al-Quran Surat Hud ayat 109 berbunyi : "Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara dzalim, sedangkan penduduknya orang-orang yang berbuat KEBAIKAN". Kemudian dalam Surat Al-Qashash ayat 59 disebutkan : "... dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan KEZALIMAN".

Lalu dosa besar apa yang telah dilakukan, sehingga Allah menimpakan bencana beruntun ini ? Yang paling kelihatan dan mencolok adalah dosa syirik (menyekutukan Allah). Sebelum bencana beruntun ini terjadi, sudah berpuluh-puluh tahun masyarakat daerah tertentu sering melakukan ritual “melarung kepala kerbau” ataupun melakukan “ruwatan” sebagai ritual tolak bala’ dengan tujuan agar terhindar dari berbagai bencana (padahal justru perbuatan syirik seperti inilah yang bisa mengakibatkan bencana).

Perbuatan syirik semacam ini terjadi di banyak tempat di Indonesia. Ritual-ritual syirik seperti ini dan ritual-ritual lainnya yang tidak diajarkan oleh agama Islam sepertinya sudah menjadi tradisi bangsa ini dan tidak (atau kurang) diingatkan oleh ulama dan pemimpin negeri ini bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sangat dibenci dan dimurkai oleh Allah SWT. Syirik merupakan dosa yang amat besar yang tidak terampuni, bahkan sampai-sampai Allah akan menghapus semua amalan yang telah dilakukannya jika seseorang melakukan dosa syirik. Seperti yang telah tertuang dalam QS. Az-Zumar (39) ayat yang 65 :
"... Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. 

Orang yang melakukan dosa syirik, selain amalannya dihapus semua oleh Allah, dosa-dosanya juga tidak akan diampuni oleh Allah. Dalilnya bisa kita lihat dalam surat yang ke empat surat An-Nisa ayat 48 : "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah membuat dosa yang besar".

Dan perbuatan syirik merupakan suatu KEZALIMAN yang besar. Hal ini disebutkan dalam QS. Luqman (31) ayat 13 : "Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah nyata-nyata kezaliman yang besar". 

Dan ini sangatlah sesuai jika kita kembali surat Al-Qashash ayat 59 disebutkan :
"... dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedzaliman". 

Jadi jangan heran jika Allah menimpakan azab pada penduduk yang telah berbuat kedzaliman.
Lalu bagaimana dengan kota-kota lainnya? Dosa-dosa besar apakah yang telah mereka lakukan? Apakah syirik, korupsi, suap menyuap, jual beli hukum, narkoba, minuman keras, judi, perzinaan, ... dan masih banyak lagi dosa-dosa bangsa ini yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Jadi mari kita cermati saja kesalahan apa yang kita lakukan sehingga banyak terjadi bencana di Indonesia. Mungkin ini merupakan peringatan Allah pada bangsa ini secara keseluruhan yang banyak bergelimang dosa. Atau mungkin ini sebagai wujud kasih sayang Allah untuk mengingatkan kita agar kembali mendekat kepada-Nya.

Marilah kita renungi bersama dosa-dosa yang telah kita lakukan, jangan sampai Allah menimpakan adzab-Nya yang lebih keras lagi. Dan semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang amat berharga dari bencana ini. Jika kita mengaku sebagai seorang muslim, jangan sampai berbuat syirik, karena syirik merupakan salah satu pembatal keislaman seseorang. Dan sebagai penutup marilah kita berdo’a :

"Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita makan, minum dan mencukupi kita, serta memberi kita tempat tinggal. Betapa banyak orang yang tidak mendapatkan yang mencukupi dia serta memberi dia tempat tinggal". (HR. Muslim dari Anas bin Malik).

Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum muslimin, hinakanlah kesyirikan dan kaum musyrikin, serta hancurkanlah musuh-musuh agama kami. Ya Allah, ringankanlah musibah yang menimpa saudara-saudara kami di manapun mereka berada, kuatkanlah mereka wahai Yang Maha Agung lagi Maha Pemurah. 

Ya Allah, tenangkanlah rasa takut mereka, obatilah kelaparan dan dahaga mereka, tutupilah aurat mereka, karuniakanlah kepada mereka tempat tinggal yang baik, wahai Yang Maha Agung lagi Maha Pemurah.

Ya Allah, kembalikanlah kami dan mereka kepada-Mu dengan baik, berilah kami taufik untuk bertaubat kepada-Mu, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang beriman dan mengikuti rasul-Mu Shallallahu alaihi wa Sallam, juga karuniailah kami -wahai Yang Maha Agung lagi Maha Pemurah- taufik untuk mengerjakan hal-hal yang Engkau cintai dan ridhai, bantulah kami untuk melakukan kebaikan dan ketakwaan, janganlah Engkau jadikan kami bergantung kepada diri sendiri, meskipun hanya sekejap mata.

Ya Allah, ampunilah segala dosa kami, baik yang kecil maupun yang besar, yang terdahulu maupun yang akan datang, serta yang tersembunyi maupun yang terlihat. Ya Allah, sesungguhnya kami telah mendzalimi diri kami, jika Engkau tidak mengampuni dan mengasihi, niscaya kami akan menjadi orang-orang yang merugi.

Selasa, 17 Juli 2012

Hikmah Sabar Menghadapi Ujian dan Musibah

Di dalam surah al-Mulk, ALlah menyatakan bahawa Dia menciptakan hidup dan mati untuk menguji manusia siapakah di kalangan manusia paling baik amalnya. Dalam hidup manusia menghadapi pelbagai bentuk ujian sama ada dalam bentuk musibah/kesusahan dan juga ujian dalam bentuk kesenangan/kemewahan.

Seringkali apabila manusia diuji dengan musibah mereka keluh kesah dan merana. Tapi ketahuilah bahawa di sebalik musbah itu ada hikmah yang sangat besar.
Nabi bersabda :-إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مع عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إذا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رضى فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Artinya : Sesungguhnya besarnya balasan baik adalah dengan besarnya ujian dan bala (tahap ganjaran adalah setimpal dengan tahap kesukaran mihna’), dan Allah s.w.t apabila kasihkan satu kaum lalu akan didatangkan baginya ujian, sesiapa yang mampu redha maka ia beroleh redha Allah dan barangsiapa yang engkar , maka akan beroleh azab Allah.” ( Riwayat At-Tirmizi, 4/601 ; Tuhfatul Ahwazi, 7/65 ; Albani : Hasan Sohih)

Mukmin Tulen Senantiasa Tabah. Ciri seorang mukmin tulen sebagaimana kata Nabi s.a.w :-عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Artinya : Amat dikagumi sifat orang mukmin, iaitu semua urusan yang menimpanya adalah baik, dan tidaklah seorang mukmin itu kecuali apabila di timpa kebaikan, ia bersyukur lalu menjadi kebaikan baginya; dan bila ditimpa musibha keburukan ia bersabar dan menjadi kebaikan baginya apabila ia ditimpa” ( Riwayat Muslim)

Sabar adalah perkataan yang selalu kita ungkapkan. Apabila ada musibah menimpa orang sekeliling kita, dengan mudah kita melafazkan, sabarlah. However, the real test comes when we ourselves are facing such time of trial. Baru ketika itu kita benar-benar menghayati first hand erti sabar yang sebenarnya.Musibah dalam dalam pelbagai bentuk sama ada kehilangan harta, perceraian, menjadi mangsa fitnah, kematian dan sebagainya. Apa arti sebenar sabar? Bagaimana kita boleh memberi definisi yang tuntas terhadap sabar ini. Apakah tanda menunjukkan bahawa seorang itu benar-benar sabar menghadapi ujian itu? Persoalan-persoalan ini sebenarnya tidak mudah diungkapkan; sudah pastinya tidak semudah bila kita menasihatkan orang lain agar bersabar.

Abu Zakaria Ansari berkata, “Sabar merupakan kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya terhadap sesuatu yang terjadi, baik yang disenanginya maupun yang dibencinya.” Abu Ali Daqaq mengatakan, “Hakikat sabar ialah keluar dari suatu bencana sebagaimana sebelum terjadi bencana itu.” Dan Imam al-Ghazali mengatakan, “Sabar ialah suatu kondisi jiwa yang terjadi karena dorongan ajaran agama dalam mengendalikan hawa nafsu.”

Dengan demikian, sabar dapat bererti kosisten dalam melaksanakan semua perintah Allah dalam segala keadaan. Berani menghadapi kesulitan dan tabah dalam menghadapi cobaan selama dalam perjuangan untuk mencapai tujuan.

Karena itu, sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, sikap, dan emosi. Apabila seseorang telah mampu mengawal mengendalikan nafsunya, maka sikap/sifat sabar akan tercipta.

Selanjutnya, sabar juga bererti teguh hati tanpa mengeluh, saat ditimpa bencana. Jadi yang dimaksud dengan sabar menurut pengertian Islam ialah rela menerima sesuatu yang tidak disenangi dengan rasa ikhlas serta berserah diri kepada Allah. Dan dapat pula dikatakan bahwa secara umum sabar itu ialah kemampuan atau daya tahan manusia menguasai sifat destruktif yang terdapat dalam tubuh setiap orang. Jadi, sabar itu mengandungi unsur perjuangan tidak menyerah dan menerima begitu saja.

Sabar itu membentuk jiwa manusia menjadi kuat dan teguh tatkala menghadapi bencana (musibah). Jiwanya tidak bergoncang, tidak gelisah, tidak panik, tidak hilang keseimbangan, tidak berubah pendirian. Tak ubahnya laksana batu karang di tengah lautan yang tidak bergeser sedikit pun tatkala dipukul ombak dan gelombang yang bergulung-gulung.

Sifat sabar itu hanya dikurniakan Tuhan kepada manusia, tidak kepada makhluk yang lain. Sebab, di samping manusia mempunyai hawa nafsu, ia juga dianugerahi akal untuk mengendalikan hawa nafsu itu supaya jangan sampai merosak atau merugikan. Sedang makhluk haiwani hanya diperlengkapi dengan hawa nafsu, tidak mempunyai akal. Oleh sebab itu ia tidak mampu bersikap sabar. Malaikat juga tidak memerlukan sifat sabar, karena ia tidak memiliki hawa nafsu.

Sirah para anbiya’, ulama kaya dengan kisah-kisah kesabaran insan-insan pilihan Allah (seperti kisah yang diketahui ramai tentang ketabahan nabi Ayyub a.s. tabah menghadapi pelbagai ujian). Bagaimanapun, bagi orang-orang awam (kebanyakan) bilakh kita mengetahui bahawa kita telah mampu dengan izin Allah bersabar menghadapi ujian yang besar. Seorang alim ditanyakan apakah tanda-tanda bahawa seseorang itu telah mencapai tahap kesabaran yang tinggi jawab beliau: apabila hamba Allah tersebut telah sampai ke satu tahap di saat hebatnya musibah di mana kebanyakan orang akan cenderung untuk berkata mampukah lagi aku bersabar? Namun biarpun di saat yang getir sedemikian dia masih mampu reda dan sabar, maka itulah satu tanda dia mencapai tahap kesabaran yang tinggi.
 
Sama-samalah kita berdoa agar Allah mengurniakan kita dengan sifat yang amat sinonim dengan Mukmin sejati ini, yang begitu mudah dilafazkan lisan namun tidak enteng diterjemahkan dalam kehidupan di saat musibah melanda.

Wallahu ‘a’lam

Senin, 09 Juli 2012

Puasa Gak Setengah-setengah

Seringkali kita saksikan menjelang bulan Ramadhan atau saat Ramadhan satpol PP dan polisi sering mengadakan razia tempat hiburan malam, prostitusi dan bentuk-bentuk kemaksiatan lainnya. Pada waktu ini petugas ga ada bedanya dengan FPI, hanya saja tidak melakukan perusakan. Selain itu pedagang makanan baek yg muslim maupun non muslim tiba-tiba saja secara malu malu membuka warung dagangannya. Bahkan ada yg menutup total warungnya dan buka hanya pada pagi hari pada saat waktu sahur dan pada waktu berbuka. Motivasi mereka pun beragam, ada yg sungkan sama kaum muslim -takut dicap buruk- dan ada yg takut sama oknum muslim tertentu yang memaksa bahkan mengancam mereka untuk tutup.



Demikian pula tayangan TV, semerta-merta stasiun tv pada tampak alim semua. Menayangkan pengajian secara rutin yg ga pernah ada pada waktu selain puasa, sinerton yg dibumbui & dipoles agar terlihat Islami hingga menanyangkan tayangan infotainment yg serta merta nyiarkan artis-artis yg lagi ke panti asuhan, umroh, dll. Stasiun TV yg di luar Ramadhan mencampur adukkan yg haq & yg batil serta merta ganti baju agar terlihat alim.
Tak ketinggalan pula perkantoran, beramai-ramai memundurkan jam masuk dan mengawalkan jam pulang karyawannya. Sekolah-sekolah dan instansi pemerintah meliburkan diri di awal bulan puasa.

Di satu sisi itu memang efek dari Ramadhan. Efek-efek tersebut diatas dapat mengkondisikan umat muslim untuk lebih tenang beribadah. Memang, Ramadhan harus diistimewakan dengan  memperbanyak ibadah dan meningkatkan kualitasnya dan membuang sejauh-jauhnya maksiat & perbuatan tercela lain. Maksudnya, diri seorang muslim sendirilah yg seharusnya mengistimewakan Ramadhan dengan cara mengistimewakan baik tingkat kualitas dan kuantitas ibadah yg dilakukannya. Baik dalam perkara ibadah maupun muamalah duniawi.

Tapi apa yg terjadi di negeri yg katanya 80% muslim ini. Kebalikannya. Bukan orangnya, tapi lingkungan yg (dipaksa) harus berubah. Satpol PP & kepolisian dengan beringasnya mengejar para pelacur (sengaja ga pake istilah PSK, karena itu sebenernya bukan pekerjaan) dan secara agresif memaksa cafe-cafe & dugeman tutup. Oknum-oknum muslim yg pake titel FPI dengan ganasnya memaksa pedagang makanan untuk tutup di siang hari. Efeknya, non muslim yg ga terkena kewajiban puasa pun harus menanggungnya. Cari makanan sulit. Kalopun dapet harus sembunyi-sembunyi memakannya.
For Allah’s sake.. Lingkungan berubah drastis saat Ramadhan.

Al Qur’an jelas mengatakan Islam itu adalah rahmat & berkah untuk alam semesta. Tapi kelakuan manusia-manusia pemeluknya yg tidak dewasa aja yg mengkerdilkan Islam itu sendiri. Gini nih misalnya, jam kerja lebih siang mulainya, padahal orang-orang lebih pagi bangunnya. Kalo jam pulang lebih awal sih it’s ok, lebih awal karena ada yg banyak nyiapin buka puasa. Disini memang terlihat urgensinya dan bentuk apresiasi ibadah.  Tetapi jam mulai kerja yg disiangkan ini membuat cenderung malas. Kaum muslim cenderung tidur lagi selepas sahur & subuhan, padahal nabi melarang tidur setelah subuh. Bahkan di awal-awal puasa, instansi pemerintah & sekolah libur selama beberapa hari. Demikian juga beberapa sekolah swasta, bahkan sekolah swasta yg notabene Madrasah tempat istri saya mengajar sbg guru disana juga libur. Padahal, dalam Islam semua aktitias positif dalam Ramadhan itu mendapat pahala, baik yg ibadah maupun bukan ibadah. Kesimpulannya, instansi libur atau jam kerja masuk lebih siang itu sebenernya tidak ada urgensinya dengan ibadah puasa seseorang.

Kemudian banyak rumah makan kudu pake tirai segala, yg makan ngumpet-ngumpet. Padahal agama yg baik & benar kan tidak memaksa orang -baik penganutnya maupun yg bukan penganutnya- untuk puasa. Kasihan para non muslim yg mo makan siang ataupun sarapan. Harus susah payah cari warung. Belum lagi razia-razia, apa ya harus? ga dirazia juga puasa tetep sah dan Ramadhan masih penuh berkah. Yang lebih parah, ada yg melakukan intimidasi bahkan kekerasan untuk mencegah warung & cafe buka.
Alias, lingkungannya yg dikondisikan. Bukan manusianya. Kebalik!

Di negeri ini, slogan ‘hormatilah orang yg berpuasa’ telah banyak disalah artikan untuk melakukan pendundaan mulainya jam kerja, menjustifikasi kemalasan, memaksa orang-orang yg bermata pencaharian sbg penjual makanan untuk merubah jam jualannya, memberi orang-orang munafik tempat untuk bersembunyi melakukan pelanggaran ketentuan agama. Intinya slogan tersebut memaksa lingkungan yg berubah dan menjadikan kaum muslim sebagai umat yang manja!  Dari semua hal itu, satu hal yg saya setuju, yaitu kalo tempat-tempat maksiat dirazia dan dipaksa tutup ga pas saat Ramadhan aja.

Saya melihat itu semua adalah suatu bentuk ketidak dewasaan kita dan malah mengurangi bobot ibadah puasa kaum muslim itu sendiri. Kontradiktif dengan tujuan puasa itu sendiri. Puasa ditetapkan agar orang dapat mengendalikan diri terhadap berbagai godaan nafsu. Puasa diperintahkan untuk merubah diri agar menjadi lebih sabar, tenang, khusyuk, penuh konsentrasi dan lebih produktif dalam berbagai macam kesibukan dan pekerjaan. Semakin besar godaan puasanya, maka semakin besar pahalanya. Semakin kaum muslim bisa menahan nafsu maka semakin kuat pertahanannya terhadap berbagai ujian & godaan. Tapi apa arti semua itu jika kondisi lingkungan telah dibentuk. Apa arti puasa kalau semua sudah terkondisikan ?? Percuma kan kalo lingkungan telah membuat berpuasa karena itu bukan karena diri sendiri.

So… apakah diri kita yg berpuasa telah bener-bener berusaha menahan nafsu dan berjuang keras meraih pahalanya tanpa dikondisikan lingkungan ? Apakah kita yang sedang berpuasa telah menghormati dan menghargai mereka yang tidak berpuasa ?

Kita harus yakin bahwa penanaman sikap toleran ini akan tercapai dengan seksama hanya melalui pendidikan, dalam artian pembiasaan yang tiada hentinya, sampai sikap itu menjadi darah daging yang tak terpisahkan (akidah). Dari tempat yang kita wujudkan bersama ini pasti akan tumbuh kader-kader bangsa dan umat, yang akan membawa kehidupan bangsa dan seluruh warga serantau Asia Tenggara ini menjadi bangsa warga dunia pelopor kehidupan penuh toleran dan damai.

Berbahagialah umat yang mencita-citakan kehidupan yang dicita-citakan oleh seluruh warga dunia, yaitu kehidupan yang toleran dan damai

Senin, 02 Juli 2012

Toleransi Beragama 1

Dalam beragama atau Pengakuan adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan, Allah, yang disertai ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para nabi dan rasul.

Perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau itikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka (rughbah), takut (ruhbah), hormat (ta’dzim) dan lain-lain, itulah unsur dasar al-din (agama). Al-din (agama) adalah aturan-aturan atau tata-cara hidup manusia yang dipercayainya bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan membentuk suatu syariat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang termaktub di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari pemikiran manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun ardli, memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah: (i) menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati; (ii) menunjukkan manusia kepada kebahagiaan hakiki; dan (iii) mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.

Dari hakikat dan fungsi agama seperti yang disebutkan itu, maka pemeluk agama-agama yang ada di dunia ini, telah memiliki strategi, metoda dan teknik pelaksanaannya masing-masing, yang sudah barang tentu dan sangat boleh jadi terdapat berbagai perbedaan antara satu dengan lainnya. Karenanya, umat manusia dalam menjalankan agamanya, sang Pencipta agama telah berpesan dengan sangat, “Kiranya umat manusia tidak terjebak dalam perpecahan tatkala menjalankan agama masing-masing, apalagi perpecahan itu justru bermotivasikan keagamaan”.

Kembali kepada Fitrah Beragama

Dalam kesempatan ini, kami mengajak pembaca untuk fitrah beragama, yaitu toleransi yang harus ditegakkan sebagai keyakinan pokok (akidah) dalam beragama.
Itu maknanya, pengamalan toleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi dan kelompok yang selalu dihabitualisasikan dalam wujud interaksi sosial. Toleran maknanya, bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan pendirian, pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Toleransi/toleran dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi pribadi-pribadi yang belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar dalam kehidupan bersama dalam segala bidang, apalagi dalam domain kehidupan beragama. Toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.

Dalam kaitan ini Tuhan telah mengingatkan kepada umat manusia dengan pesan yang bersifat universal, dalam Q.S. 42 A. 13: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan kepada Nuh, dan apa yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah diwahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah dalam urusan agama.”

Pesan lainnya terkandung dalam Q.S. 3 A. 103: “Dan berpegang teguhlah kamu kepada agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”

Pesan universal ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antarumat beragama maupun sesama umat beragama. Pesan dari langit ini menghendaki umat manusia itu memeluk dan menegakkan agama, karena Tuhan sang Pencipta alam semesta ini telah menciptakan agama-agama untuk umat manusia, kehendak-Nya hanyalah jangan berpecah-belah dalam beragama maupun atas nama agama.

Tegakkanlah agama dan jangan berpecah belah dalam beragama, merupakan standar normatif Ilahiyah, sebagai patokan baku untuk pembimbingan perilaku umat manusia dalam beragama. Standar yang bersifat universalistik ini bermakna ruang lingkupnya berlaku di mana pun dan kapan pun. Yakni umat beragama dalam berinteraksi antaragama wajib mengutamakan standar universal ini.

Jangan Berpecah
 
Tegakkan agama dan jangan berpecah belah dalam beragama. Perintah ini juga merupakan standar yang bersifat partikularistik, yang ruang lingkupnya berlaku bagi kelompok pemeluk agama tertentu di tempat mereka berada. Dalam menjalankan agama hendaknya menjauhi perpecahan sesama agama, terlebih perpecahan itu dibungkus oleh orientasi motivasional maupun orientasi nilai keagamaan.

Tindakan manusia beragama itu selalu memiliki orientasi, berarti selalu diarahkan kepada tujuan. Ada dua elemen penting dalam orientasi tindakan manusia termasuk tindakan manusia dalam beragama yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional adalah yang berhubungan dengan keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan, atau dalam makna lain, motivasi untuk memperbesar kepuasan jangka panjang dan jangka pendek.

Sedangkan elemen lainnya adalah orientasi nilai. Orientasi ini menunjuk kepada standar-standar normatif yang mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap tujuan yang dicapai dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.

Walhasil, kebebasan individu dalam bertindak, dibatasi oleh standar-standar normatif yang ada dalam masyarakat, baik yang bersifat Ilahiyah maupun budaya. Segala norma-norma itu bukan berarti mengeliminir kebebasan manusia dalam beragama, justru menawarkan berbagai alternatif dalam bertindak, bermakna juga bahwa manusia itu dalam beragama mempunyai kebebasan penuh yang dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang selainnya.

Itu berarti bahwa setiap umat beragama dalam interaksi sosialnya mempunyai kebebasan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pemeluknya. Interaksi seperti ini sudah barang pasti berkonsekuensi, minimal saling singgung. Sebab strategi, metoda dan teknik interaksi masing-masing agama dan para pemeluknya bahkan dalam kalangan suatu agama dan para pemeluknya, sangat mungkin terjadi perbedaan baik secara prinsip maupun nonprinsip.

Ini bermakna, dapat kita lihat bahwa individu-individu itu dalam beragama memungkinkan dapat menggunakan agama sebagai kekuatan yang mempersatukan dan sebaliknya juga dapat menggunakannya sebagai pencerai-beraian, yang mengakibatkan timbulnya konflik.

Toleransi sebagai Nilai dan Norma

Toleransi dalam pengertian yang telah disampaikan, yang merupakan keyakinan pokok (akidah) dalam beragama, dapat kita jadikan sebagai nilai dan norma. Kita katakan sebagai nilai karena toleransi merupakan gambaran mengenai apa yang kita inginkan, yang pantas, yang berharga, yang dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu.

Dan nilai (toleransi) akan sangat mempengaruhi kebudayaan dan masyarakat. Demikian juga toleransi, dapat kita jadikan suatu norma, yaitu suatu patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma memungkinkan seseorang menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya itu akan dinilai orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang.
Karena toleransi sudah kita jadikan nilai dan norma, dan juga menyangkut sifat dan sikap untuk menghargai pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan, dan lain-lain yang berbeda bahkan bertentangan dengan pendirian sendiri, maka sifat dan sikap sebagai nilai dan norma itu mesti disosialisasikan. Maknanya, ialah proses memelajari norma, nilai, peran, dan semua persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif dalam kehidupan sosial.

Sifat dan sikap toleran ini perlu disosialisasikan, agar setiap individu mampu mengamalkan dalam kehidupan nyata di masyarakat luas. Dalam lingkungan keluarga, kehidupan yang toleran harus disosialisasikan sejak dini terhadap anggota keluarga (anak-anak). Dan inilah yang menjadi sosialisasi dasar dalam kehidupan umat manusia, yang dari padanya dikembangkan sosialisasi lebih lanjut sebagai follow-up.

Hidup beragama yang toleran sekaligus menjadi sikap dasar dalam kehidupan sosial masyarakat, yang selalu disosialisasikan dalam tingkat rumah tangga, merupakan sosialisasi primer, dan sosialisasi sekunder terjadi sesudah sosialisasi primer itu terjadi. Dan sesungguhnya sosialisasi primer itu merupakan dasar bagi sosialisasi sekunder. Jika yang berperan dalam sosialisasi primer adalah seluruh keluarga dalam rumah tangga, maka yang berperan dalam sosialisasi sekunder adalah luar rumah tangga, yang dalam kehidupan sekarang ini adalah arena pembelajaran sekolah.

Di sekolah kita mendapatkan bekal pengetahuan, kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk dapat hidup dalam kehidupan sosial yang lebih luas, mengenal negara, undang-undang, aturan agama dan kehidupan antarbangsa dan lain-lain. Setelah pembelajaran formal di bangku sekolah selesai, sosialisasi sekunder masih terus dilakukan dalam kehidupan yang lebih luas, kita harus menyesuaikan diri dengan berbagai norma dalam kelompok kerja maupun masyarakat.

Ternyata sosialisasi terhadap sikap hidup toleran dalam berbagai bidang kehidupan (agama dan lain-lain), baik primer maupun sekunder, berlangsung seumur hidup karena kehidupan kita umat manusia dari hari ke hari adalah kehidupan yang ditandai oleh penambahan pengetahuan, dan untuk itu kita harus terus belajar, dan berusaha mencari sesuatu yang baru dalam kehidupan berpengetahuan. Itulah maknanya bahwa sosialisasi terhadap kehidupan toleran itu merupakan proses yang tak henti-hentinya, dan terus mencari dan mendapatkan yang lebih baik. Terus berlangsung seumur hidup umat manusia.

Toleran dan Prinsip Hidup

Berinteraksi dengan jiwa toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus membuang prinsip hidup (beragama) yang kita yakini. Kehidupan yang toleran justru akan menguatkan prinsip hidup (keagamaan) yang kita yakini. Segalanya menjadi jelas dan tegas tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apapun yang nyata berbeda dengan prinsip yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita, sedangkan pihak yang berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap sikap dan keyakinannya.

Dialog disertai deklarasi tegas dan sikap toleran telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam Q.S. 109: “Wahai orang yang berbeda prinsip (yang menentang). Aku tidak akan mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianmu. Dan kamu juga tidak harus mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianku. Dan sekali-kali aku tidak akan menjadi pengabdi pengabdianmu. Juga kamu tidak mungkin mengabdi di pengabdianku. Agamamu untukmu. Dan agamaku untukku.”

Prinsip yang telah dibela oleh Rasulullah sangat jelas, dengan sentuhan deklarasi yang tegas. Sedangkan prinsip yang harus dipegang oleh mereka yang berbeda (penentangnya) juga dijelaskan dengan tegas. Namun diiringi dengan sikap toleransi yang sangat tinggi: Kamu pada prinsipmu dan aku pada prinsipku. Yakni sepakat untuk berbeda.

Sikap tegas penuh toleran, tanpa meninggalkan prinsip seperti itu dilaksanakan pada saat masyarakat lingkungannya tampil dengan budaya represif, yang sistem sosialnya dalam proses tidak menghendaki perubahan, bertahan dengan struktur yang ada (morfostatis). Sedangkan Nabi Muhammad saw sedang memulai pembentukan kelompok (formation group) menuju perubahan. Ternyata sikap toleran sangat menentukan proses terjadinya bentuk serta perubahan atau perkembangan suatu sistem maupun struktural atau penyederhanaannya (morfogenesis).

Sikap toleran membuahkan kemampuan yang sangat signifikan dalam menetapkan pilihan yang terbaik. Mampu mendengar berbagai ungkapan dan menyaring yang terbaik daripada semua itu.

Sikap toleran juga melahirkan kemampuan mengubah perilaku individu (self correction) terhadap pola yang selama itu dilakukan, yang tak berdaya mengubah masyarakat tradisional, tertutup dan represif, sehingga tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai. Toleran, tidak menciptakan individu yang wangkeng, yang tidak mau mengubah perilakunya, walau tujuannya tidak tercapai. Secara apologi bersikap dan mengatakan bahwa: Tujuan itu tidak tercapai karena belum waktunya, atau nasibnya memang demikian dan tidak mau mengubah diri.
Sikap toleran, mampu menemukan jalan keluar dan problem solving yang pantas dan mengangkat martabat dan harga diri dalam berbagai bidang kehidupan.

Dengan sikap toleran, Rasulullah bermigrasi (hijrah) meninggalkan kehidupan dan tatanan sosial tradisional represif yang belum mampu diubahnya menuju kepada tempat dan kelompok masyarakat yang telah dipersiapkannya untuk dapat menerima perubahan dan bahkan menjadikannya sebagai agen perubahan di zamannya serta zaman selanjutnya. Bersama kelompoknya kemudian berinteraksi membaur ke dalam berbagai kelompok dalam masyarakat yang majemuk baik ras maupun agama. Interaksi yang sedemikian itu mampu menciptakan kehidupan yang saling membutuhkan dan saling memerlukan, dalam bentuknya yang saling bertanggung jawab dalam membela masyarakatnya.

Para Rasul Allah sebagai Rujukan Bertoleransi

Para rasul Allah telah memberi teladan dan menunjukkan serta mengajarkan bersikap toleran. Darinya tumbuh berbagai norma yang mencerminkan sikap toleran. Nabi Muhammad saw mencontohkan, setibanya ke tempat tujuan migrasi (Yatsrib/Madinah), yang ditempuh pertama kali adalah terciptanya brotherhood dan penyatuan diri antara kelompok migran dengan berbagai kelompok penghuni asal (pribumi).

Kemudian menciptakan sistem sosial baru, sebagai wahana berbagai kegiatan dari berbagai orang dan kelompok yang saling berhubungan secara konstan. Sistem baru itu dilegalisir dalam bentuk norma timbal-balik untuk menciptakan keseimbangan yang memadai antara berbagai kelompok yang terlibat dalam hubungan sosial di tempat yang baru (Yatsrib). Norma itu terpatri dalam Sohifah al Madaniyyah (lebih kita kenal dengan Piagam Madinah).

Piagam Madinah di samping bersifat norma hubungan timbal balik yang memadai bagi masyarakat berbilang kaum, juga merupakan perjanjian, undang-undang politik, tatanan bernegara yang mengandung aturan-aturan kehidupan bersama dalam sistem sosial besar berbentuk negara, bagi segenap warganya yang berbilang kaum: Muslim, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain di sebuah negara yang bernama Madinah.

Di tengah kemajemukan masyarakat (negara Madinah), Nabi Muhammad SAW sebagai pimpinan negara, berusaha sedaya-upaya untuk meletakkan dan mendasarkan filosofi misi yang diembannya dalam membangun tatanan hidup bersama yang mencakup seluruh golongan, sehingga penduduk negara dapat hidup berdampingan secara damai dan sejahtera.
Prinsip-prinsip umum Piagam Madinah:
  1. Monoteisme, Ketuhanan Yang Maha Esa, Tauhid.
  2. Persatuan dan kesatuan; penegasan bahwa seluruh warga Madinah adalah satu umat, perlindungannya adalah satu, seluruh warga menanggung pembiayaan negara.
  3. Persamaan keadilan bagi seluruh warga negara, semua berstatus sama di hadapan hukum, penegakan keadilan bagi semua.
  4. Kebebasan beragama, semua pemeluk agama bebas menjalankan agamanya, sebagaimana Muslim menjalankan agamanya.
  5. Pembelaan negara, merupakan kewajiban bersama.
  6. Pengakuan dan pelestarian adat kebiasaan yang baik.
  7. Supremasi aturan dan ajaran Ilahi.
  8. Politik damai dan proteksi internal.

Piagam Madinah merupakan manifestasi sikap toleran, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, keadilan, dan kedamaian, yang permanen adanya. Masyarakat modern dan sehat manapun pasti mengakui hakikat maknawinya secara jujur. Toleransi dan perdamaian yang terkandung di dalamnya sangat kental, masyarakat kontemporer patut mengadopsinya, demi terciptanya dunia yang penuh toleransi dan perdamaian.

Berkaitan dengan Q.S. 42 ayat 13 yang telah disampaikan terdahulu, Allah menyebut nama-nama para utusannya yang bertugas membimbing umat dengan syariat agama-Nya, yaitu Nuh AS, Muhammad SAW, Ibrahim AS., Musa AS, dan Isa Almasih. Dari para utusan Allah inilah agama samawi berkembang sampai hari ini dan kelak kemudian. Mereka memiliki sifat-sifat toleran dan kesabaran yang prima yang perlu diteladani terus-menerus.