Selamat Datang

Rabu, 18 September 2013

HIDUP TANPA KEKERASAN

Kearifan lokal yang dimiliki dan menjadi keunggulan bangsa Indonesia agaknya terus mendapat ujian. Kearifan lokal yang tercermin dalam beragam wujud seperti kekayaan budaya, adat, etika, sikap santun dan ramah kepada sesama dan orang lain cenderung tergerus. Sejumlah peristiwa di dalam negeri menjadi fakta tentang kearifan lokal yang dibanggakan itu mulai rapuh. Emosional orang gampang terusik karena hal-hal sepele dan berujung kepada aksi anarkis yang menelan korban harta dan nyawa. Kearifan lokal yang dibalut oleh pemahaman agama dan keyakinan cenderung lemah. Saat emosi menggelegak, orang tidak segan menembak, merampok dan menganiaya orang lain.

Kekerasan dan tindak anarkis seperti berjalan spontan dan menjadi pelengkap dari setiap aksi. Ironisnya, setiap aksi berpeluang diikuti oleh banyak kalangan dan segala usia. Lihat, pada sejumlah aksi tawuran antar warga, pelajar, demo mahasiswa, pertikaian antar kelompok pemuda dan organisasi hingga aksi teror yang merusak infrastruktur dalam bentuk fasilitas sosial dan fasilitas umum. Reaksi emosional orang semakin mudah disulut, marak dan kemudian mengabaikan rasional. Sejumlah isu yang ditiupkan oleh entah siapa, cepat diserap tanpa memikirkan akurasi kebenarannya.

Dalam bentuk lain, praktik ketidakadilan dari sejumlah kalangan yang memiliki kekuasaan, uang dan popularitas, semakin banyak terjadi. Sebaliknya sejumlah orang menjadi tidak berdaya, teraniaya dan tidak memiliki akses kepada kekuasaan, uang dan popularitas akan semakin terpuruk. Dalam keadaan itulah intuisi individu tidak bekerja. Keinginan komunitas yang lemah membela diri dari ketidakadilan, semakin kuat.

Sementara komunitas yang memiliki kekuatan dari berbagai sisi, justru tidak menunjukkan rasa belas kasihan. Maka saat itulah citra kearifan lokal yang menjadi keunggulan bangsa Indonesia dipertanyakan orang. Mengapa sejumlah warga negara Indonesia melakukan tindakan tidak produktif? Padahal tindakan produktiflah yang sepatutnya ditunjukkan oleh bangsa Indonesia agar mampu bersaing menjadi negara maju. Akumulasi tindakan produktif dari bangsa Indonesia menjadi kekuatan berharga untuk bangkit dari banyak hal ; kemiskinan, pengangguran dan hutang dari negara lain.

Dilematik

Tindakan tidak produktif menjadi dilematik sebab kepedulian untuk menjadi bangsa yang kuat justru tergerus dengan beragam perbuatan tidak etis seperti korupsi merajalela, penggunaan kewenangan untuk memperkaya diri dan praktik ketidakadilan. Dalam situasi lain, perhatian orang terhadap karakter bangsa cenderung berkurang. Lingkungan keluarga, sekolah dan kampus dinilai banyak orang sebagai wadah efektif untuk pendidikan karakter. Hasil dari proses pendidikan itu akan menghasilkan moral individu yang berguna sebagai benteng terhadap perbuatan tidak baik. Namun, berbagai praktik yang cenderung menyimpang dari etika dan regulasi berlaku, semakin marak terjadi di masyarakat. Akibatnya, penyimpangan etika dan regulasi berlaku dianggap sebagai hal ”biasa, lumrah dan manusiawi”.

Sebagai bangsa yang memiliki kearifan lokal, terbentuknya komunitas kekerasan yang mudah tersulut oleh perbuatan ketidakadilan, isu tidak akurat dan hal-hal sepele lainnya, tentu saja membuat kita prihatin. Pasalnya, kekerasan yang terjadi di masyarakat memberi efek buruk seperti trauma ketakutan dan rasa tidak aman. Dalam skala besar, efek seperti itu akan mempengaruhi citra bangsa Indonesia di mata dunia, mengganggu aktivitas masyarakat untuk bekerja dan berbisnis. Di lain pihak, praktik ketidakadilan, berpihak (personal), dan informasi tersumbat dari para elit politik, pemerintah dan aparatnya, semakin membuat suasana menjadi keruh. Jika situasi ini bertemu, peluang ketidak-puasan dan kekecewaan akan terbentuk secara cepat.

Wujudnya dapat dilihat dalam reaksi spontan yang akhirnya berujung pada tindakan anarkis. Jika mau dihitung, pemerintah dan masyarakat akan mengalami kerugian besar dari kerusakan infrastruktur akibat perbuatan ”mubazir, kontra produktif” dari segelintir orang. Kerugian itu belum termasuk kerugian trauma psikis yang cenderung membuat lemahnya rasa percaya diri. Padahal rasa percaya diri menjadi penting bagi satu bangsa untuk melakukan berbagai inovasi.

Tanggungjawab bersama

Deteksi dini terhadap tindakan kekerasan dalam berbagai bentuk aksi, dimulai dari komunitas kecil yakni keluarga inti (orangtua dan anak). Harmonisasi keluarga berpeluang terwujudnya komunikasi keluarga yang kuat. Sebaliknya, jika harmonisasi dalam keluarga tidak terwujud, maka anggota keluarga akan mencarinya dari komunitas di luar rumah.

Dalam skala lebih luas, keluarga inti berkembang dengan tambahan anggota keluarga seperti kakek, nenek dan saudara orangtua dan kerabat lain. Komunitas ini kemudian menjadi lebih besar dalam bentuk rukun tetangga dan rukun warga. Peran setiap anggota komunitas menjadi penting agar rencana aksi kekerasan dan kerugian harta benda serta nyawa dapat diminimalisasi. Semua peran ini sangat membantu tugas dari aparat keamanan seperti bintara pembina desa (babinsa) dan polisi kelurahan. Sinerji antara babinsa, polisi kelurahan dan masyarakat menjadi semakin kuat dan mampu mencegah aksi kekerasan spontan atau terencana. Upaya pencegahan tindak kekerasan yang cenderung marak di masyarakat sepatutnya harus dilakukan secara sistematik, berkesinambungan dan melibatkan semua unsur masyarakat. Sasarannya antara alain dari terwujudnya rasa aman di dalam komunitas kecil dan akhirnya di dalam masyarakat Indonesia.

Rasa aman selanjutnya akan membentuk rasa percaya diri warga. Banyak contoh yang dapat dipelajari dari pentingnya membentuk rasa percaya diri dan rasa aman. Di kawasan Asia Timur, bangsa Jepang, Korea dan kini China memulai keberhasilan negaranya menjadi negara maju justru diawali oleh rasa percaya diri warganya. Bangsa Jepang misalnya mengalami traumatik saat Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 8 Agustus 1945. Namun, peristiwa yang traumatik itu justru membangkitkan bangsa dan negara Jepang untuk menjadi negara maju. Mengambil analogi peristiwa traumatik (penjajahan, tindak kekerasan di dalam negeri) yang pernah terjadi di Indonesia, bangsa Indonesia sepatutnya bangkit dan mengejar ketinggalan sehingga segera beralih dari negara berkembang menjadi negara maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar