Selamat Datang

Rabu, 13 Maret 2013

STOP PREMANISME BERKEDOK AGAMA

 
Islam itu rahmat bagi seluruh alam
 
            Manusia selalu mengidamkan keamanan, keselamatan, dan ketenteraman. Islam diturunkan sebagai rahmat seluruh alam.
 
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء :107)
 
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’ [21]: 107)
 
Kerahmatan Islam menitikberatkan kepada perbaikan manusia dan pranatanya secara berkelanjutan. Ketika manusianya baik, maka akan baik pula alam ini. Kerahmatan itu dimungkinkan oleh hukum dan syariat yang diajarkannya (Tafsir Al-Wajiz, 1996: 332). Hukum dan syariat itu perlu diterjemahkan dalam capaian umat sehingga memajukan peradaban di negeri masing-masing.
 
  Premanisme itu mengingkari harkat manusia sebagai makhluk beradab. Premanisme adalah tindakan di luar hukum yang menggunakan kekerasan, baik fisik maupun nonfisik. Kekerasan fisik merusak benda, fasilitas dan properti, atau melukai jasmani makhluk hidup yang mengarahkan efeknya sebagai tekanan kepada manusia. Kekerasan nonfisik bisa hadir dalam beragam bentuk, misalnya kalimat hinaan, labelisasi,  diskriminasi dan bahkan juga bisa hadir dalam bentuk struktural.
 
Ada beberapa perspektif untuk melihat kekerasan. Salah satunya adalah perspektif resolusi konflik. Dalam perspekif resolusi konflik kekerasan dapat dilihat dalam 6 (enam) dimensi. Pertama, kekerasan adalah perilaku tidak wajar yang melanggar batas hak. Kedua, kekerasan merupakan ekspresi dari pergulatan di luar harmoni untuk memperjuangkan kepentingan atau kebutuhan para pihak. Ketiga, kekerasan merupakan bagian dari kontinuum konflik. Maksudnya, kekerasan terjadi pada fase ’terjebak’ (entrapment), yaitu ketika konflik tidak dapat dikelola pada fase latensi sehingga melampaui fase eskalasi.Fase-fase konflik dapat dilihat dari fase latensi (tersempunyi), fase eskalasi (mendekati terlanggarnya batas rasa keadilan), fase terjebak atau entrapment (konflik berubah menjadi kekerasan atau menjadi konflik berkekerasan), fase perbaikan atau improvement (ketika kekerasan dan kerusakan disesali dan kedamaian dirindukan), dan fase transformasi (fase yang ditandai oleh adanya kesepakatan perdamaian yang dipersoalkan kembali atau diperteguh). Keempat, kekerasan merupakan pertanda dari kelemahan para pihak dalam mengelola konflik secara damai. Kelima, kekerasan merupakan ujung dari gerakan protes sosial, yaitu ketika keresahan telah meluas dan energi konfliktual sudah bercampur dengan kekuatan-kekuatan destruktif yang kompleks. Dankeenam, kekerasan sengaja dipergunakan oleh pihak tertentu untuk menunjukkan kekuatan berupa nuisanceatau gangguan.
 
 
  Perilaku tidak wajar
 
Kekerasan adalah perilaku tidak wajar yang melanggar batas hak. Sidanius dan Pratto (1999) memaparkan bahwa semua manusia menghendaki kemapanan dalam hidup dengan capaian sosial yang memadai, taraf kesejahteraan yang tinggi, kepemilikan aset yang menopang kemakmuran, penguasaan keilmuan, penghayatan seni yang tinggi dan peran yang terhormat di masyarakat. Bagi warga yang berhasil mencapai standar seperti itu berbagi nilai-nilai positif merupakan konsekuensi yang wajar. Cara mereka berbagi terutama terlihat dalam bentuk perilaku yang selaras dengan tata nilai yang berlaku di masyarakat. Pada anggota masyarakat yang gagal mencapai standar-standar itu terdapat kecenderungan untuk berbagi nilai-nilai negatif (dalam Social Dominance, New York: Cambridge University Press, 1999: 32). Bentuknya adalah pengabaian atau pelanggaran batas hak orang atau kelompok lain.
 
Perilaku tidak wajar berupa kekerasan bisa dilihat sebagai perilaku individu dan kelompok. Sidanius dan Pratto menyebutkan bahwa sebagai perilaku individu kekerasan merupakan ekspresi dari pergulatan eksistensial seseorang untuk bertahan hidup. Sedangkan sebagai perilaku kelompok kekerasan merupakan ekspresi dari pergulatan struktural untuk mencapai atau mempertahankan kepentingan dominasi sosial suku, ras, kelompok agama, golongan, kelompok kepentingan dan kelas sosial. Studi Hefner tentang kekerasan yang terjadi di Tênggêr Jawa Timur menghasilkan kesimpulan yang sama, bahwa kekerasan merupakan perilaku kelompok (dalam Edisi Bahasa Indonesia The Political Economy of Mountain Java: An Interpretative History (Yogyakarta: LkiS, 1999: 335-357)Kesimpulan serupa dikonfirmasi oleh studi HariMulyadi, Sudarmono dan kawan-kawan tentang kasus kerusuhan Mei 1998 di Kota Surakarta (dalamRuntuhnya Kekuasaan ”Kraton Alit”: Studi Radikalisasi Sosial ”Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di SurakartaSurakarta: LPTP, 1999: 559-568.
 
Kegagalan dalam mengelola konflik
 
Sebagai kegagalan pengelolaan konflik pada fase latensi dan eskalasi, kekerasan merupakan bentuk kelanjutan dari konflik yang mencapai taraf tidak bisa dinegosiasikan oleh para pihak. Biasanya karena ketiadaan daya dukung yang memadai yang seharusnya ada pada mereka. Pelaku kekerasan terjebak ke dalam siklus tak berujung dari kebingungan dan ketegangan, menyalahkan orang lain, meratapi luka hati, konfrontasi dan penentuan sikap; kembali kepada kebingungan dan ketegangan; demikian seterusnya. Dalam pengamatan Schirch (2004) terhadap beberapa kekerasan massal, maka akarnya bisa dilacak dari sejarah kekerasan sejak setahun sampai 50 (lima puluh) tahun sebelum meledaknya dan dampaknya membutuhkan penanganan dalam waktu setahun dan bahkan 50 (lima puluh) tahun sesudahnya (Lisa Schirch, The Little Book of Strategic Peacebuilding: A Vision and Framework of Peace With Justice, Intercourse, PA: Good Books, 2004: 75.
 
Hasil amatan yang mengejutkan itu oleh Schirch didasarkan atas spektrum kekerasan pada dua level. Pertama, kekerasan struktural; yaitu yang dilahirkan oleh sistem, institusi, kebijakan atau kepercayaan budaya yang bertemu dengan mahalnya pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan hak-hak asasi manusia. Kedua, kekerasan sekunder, yaitu kekerasan yang lahir dari pola relasi yang terbentuk dari kekerasan struktural. Kekerasan sekunder terjadi pada 3 (tiga) lokus: (a) pengrusakan diri dalam bentuk penyalahgunaan alkohol (miras), penyalahgunaan narkotika dan zat-zat adiktif lainnya, tindakan nekat yang mengakibatkan depresi, bunuh diri, dan penindasan diri sendiri; (b) pengrusakan komunitas, seperti tindak kriminal, kekerasan antarwarga, kekerasan dalam rumah tangga, dan perkosaan; dan (c) pengrusakan nasional dan internasional, misalnya dalam bentuk gerakan pemberontakan, terorisme, perang sipil, revolusi, kudeta, dan perang.
  Kelemahan pihak-pihak dalam konflik
Kelemahan pihak-pihak di dalam mengelola konflik secara damai juga bisa mengakibatkan kekerasan. Kelemahan itu bisa terjadi sebagai akibat kebijakan koersif yang diterapkan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Kebijakan koersif hanya dapat ditoleransi ketika kekuatan pihak-pihak tidak seimbang, sehingga tindakan itu diambil sebagai bentuk jaminan negara atas hak keselamatan warga negara. Dalam banyak kasus kebijakan koersif berguna untuk jangka pendek, tetapi dalam jangka menengah dan panjang jarang berhasil memampukan pihak-pihak untuk mengambil keputusan secara jernih, padahal kemampuan itu penting di dalam penguatan individuasi. Individuasi menguat saat seseorang bisa menjadi dirinya sendiri, memilah dirinya sendiri dari kelompok, bisa bertindak sadar, sehingga pengendalian diri dan komitmennya terhadap moralitas dan etika terjaga. Sikap negatif berupa prasangka dan perilaku negatif berupa diskriminasi bisa diredam efektif saat manusia berada dalam tahap individuasi (yang menguat) ini(Stephen Worchel, “A Developmental View of The Search for Group Identity” dalam Stephen Worchel, et al., ed., Social Identity: International Perspectives,  London: SAGE Publication Ltd., 1998: 60). Sebaliknya, individuasi melemah saat seseorang berada dalam kesadaran yang rendah. Pengendalian diri dan komitmennya terhadap moralitas dan etika melemah pula. Dalam situasi kerumunan, individuasi cenderung melemah. Itulah sebabnya bentuk-bentuk kerumunan insidental, apalagi yang sudah menunjukkan gejala-gejala agresivitas atau yang dikenal sebagai gerudukan, selalu penting untuk diwaspadai.
 
Kebiasaan menghindar dari konflik
 
Kekerasan bisa juga terjadi sebagai akibat dari kebiasaan menghindar dari konflik. Penghindaran ini akan menimbun energi konfliktual di masyarakat sehingga meningkatkan tingkat frustrasi mereka. Dollard dan kawan-kawan (1939) mengisyaratkan bahwa frustrasi merupakan kesunyian yang berbahaya jika terjadi pada pihak yang memiliki pengaruh kuat (dalam Jim Sidanius dan Felicia Pratto, 1999: 5). Dari beberapa ragam yang dicatat oleh Mayer, terdapat tiga ragam penghindaran yang biasa terjadi di masyarakat.Pertama, penghindaran pasif, terjadi ketika seseorang atau sesuatu pihak menolak mengambil peran dalam pengelolaan konflik karena ketidakmampuan untuk bersikap jelasKedua, penghindaran aktif, terjadi karena konflik yang berlangsung ditempatkan bukan sebagai tanggung jawabnya dan menyerahkan penyelesaiannya semata-mata kepada para pihak yang terlibat. Ketiga, penghindaran agresif, terjadi saat seseorang atau sesuatu pihak sengaja membiarkan konflik menjadi berkepanjangan karena adanya kepentingan tertentu(dalam Bernard Mayer, The Dynamic of Conflict Resolution: A Practitioner’s Guide  (San Francisco: Jossey-Bass Inc., Publisher, 2000: 29-34),  misalnya melokalisasi orang-orang psikopat untuk melampiaskan kekerasan hanya di lingkungan mereka saja agar tidak menyebar ke kawasan lainnya. Tentu saja semua bentuk penghindaran ini merugikan resolusi konflik.
 
Ujung dari gerakan protes
 
Kekerasan juga hadir di ujung gerakan (sosial) protes. Para sosiolog dan psikolog sosial seperti Toch (1965), Gurr (1994) dan Tilly (1998) memperkenalkan teori collective behavior atau tindakan kolektif untuk menjelaskannya. Menurut teori itu faktor-faktor determinan bagi meledaknya gerakan (sosial) protes adalah structural conduciveness, yakni bahwa determinan mendukung secara positif terjadinya gerakan dan kepemimpinan yang mampu memobilisasi. Sebaliknya, structural strain berupa segala kesulitan dan hambatan dalam lingkungan sosial seperti yang dilihat oleh pelaku gerakan yang semakin mengristalkan energi perlawanan. Dalam situasi yang penuh strain (kesulitan dan hambatan) itu, catat Gurr, suatu golongan bisa mengalami relative deprivation atau penolakan relatif karena dirasakan adanya discrepancy atau kesenjangan antara yang senyatanya dengan yang diharapkan. Jika ”penderitaan” meluas, maka timbul social unrest yang ditandai oleh keresahan meluas yang mendorong menguatnya kewaspadaan rakyat pelaku gerakan ke arah gejolak (Sartono Kartodirdjo, Ideologi dan Teknologi dalam Pembangunan Bangsa: Eksplorasi Dimensi Historis dan Sosio-Kultural (Jakarta: PT Pabelan Jayakarta, 1999238. Pada tahap ini dibutuhkan penanganan serius untuk mencegah situasi semakin matang bagi meledaknya kekerasan komunal.
 
Para pihak di dalam konflik bergumul memperjuangkan kepentingannya dengan mengandalkan kekuatan yang dimilikinya. Jika kekuatannya besar maka posisinya di dalam konflik biasa dinyatakan jelas dan opsi penyelesaian yang ditawarkan berbobot kuat. Jika kekuatannya kecil, maka posisinya di dalam konflik kabur atau tidak dinyatakan dan opsi penyelesaiannya juga lemah atau bahkan mengambang. Kekuatan para pihak bermacam-macam baik struktural maupun personal. Mayer menyebutkan 13 (tiga belas) tipe kekuatan yang biasa dipergunakan para pihak di dalam konflik. Salah satunya adalah kemampuan menimbulkan nuisance atau gangguan. Kekuatan lainnya adalah otoritas formal, kekhususan legal, informasi, asosiasi, sumber daya, ganjaran dan hukuman, kekuatan prosedural, keberadaan (habitual power), kekuatan moral, karakteristik perorangan, citra, dan kekuatan mendefinisikan konflik itu sendiri (Bernard Mayer, 2000: 55-58).
 
Kekerasan berkedok agama
 
Kekerasan berkedok agama, kata Anthony Reid bukan hanya problem Indonesia atau Asia, melainkan juga Eropa. Barat mengalami kekerasan berkedok agama sampai menimbulkan perang berkepanjangan antara Katolik dan Protestan. Meskipun kekristenan lahir merdeka dari domestikasi negara, tetapi tidak lama kemudian pada tahun 312 Imperium Roma menjadi negara agama yang kejam. Ide tentang pluralisme dan demokrasi lahir sebagai ”penyelesaian” atas perang berkepanjangan yang melibatkan legitimasi negara itu (dalam Suhadi Cholil, ed., Resonansi Dialog Agama dan Budaya, Yogyakarta: CRCS UGM, 2008: 56). Bagaimanakah mereka mengatasi kekerasan berkedok agama? Mereka mengajukan pluralisme dan demokrasi sebagai jawaban untuk mencegah kekerasan berkedok agama. Itu di Eropa. Pluralisme dan demokrasi kemudian menyebar ke mana-mana. Bangsa-bangsa meniru dengan cara yang berbeda-beda.
 
Pluralisme dimajukan untuk memberikan atmosfer kehidupan yang toleran bagi para pemeluk kekristenan Katolik dan Protestan untuk hidup berdampingan secara damai sebagai sesama warga negara. Perjuangan ke arah itu membutuhkan waktu yang sangat panjang hingga Konsili Vatikan II tahun 1962-1965. Konsili itu menghasilkan dokumen-dokumen kongkrit untuk pegangan Umat Katolik seperti Kebebasan Agama (Dignitatis Humanae), Gereja dalam Dunia Modern (Gaudium et Spes), Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes), Kerasulan Awam (Apostolicam Actuosita-tem) dan sebagainya (dalam Suhadi Cholil, ed., Diskriminasi di Sekeliling Kita: Negara, Politik Diskriminasi dan MultikulturalismeYogyakarta; Interfidei, 2008157).
 
Demokrasi dimajukan untuk menyamakan derajat dan kedudukan semua warga negara di muka undang-undang dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan bahasa ibu (Abdurrahman Wahid, “Agama dan Demokrasi” dikutip Najib Kailani dan Muhammad Mustafied untuk Modul Belajar Bersama: Islam dan Politik Kewarganegaraan, Yogyakarta: Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial, 200728).
 
Agama erat kaitannya dengan persoalan makna. Demikian dinyatakan Huston Smith, Agama-agama Manusia, terjemahan Saafroedin Bahar, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999: 14)Makna itu ada di dalam diri penganut agama. Di dalam pemcarian makna itulah para penganut agama-agama melakukan berbagai ekspresi berupa pernyataan maupun tindakan yang membuatnya hidup di dalam corak kehidupan atau bentukan struktural tertentu. Oleh karena itu penganut agama yang sama dapat mengembangkan cara hidup yang berbeda-beda. Agama bisa saja bersifat universal, karena memang berkaitan dengan aturan Allah yang membimbing manusia secara keseluruhan. Untuk itu agama memiliki dogma atau ajaran dasar. Dalam hal itu agama dipahami sebagai ajaran di satu sisi dan sebagai realitas di sisi lain.
 
 Sebagai realitas, agama bisa hadir dalam beragam posisi seperti temuan Wertheim bahwa acapkali agama difungsikan sebagai taktik pengalihan perhatian dalam peristiwa-peristiwa revolusioner. Dalam posisi itu agama menahan arus pasang revolusi tidak bisa terus-menerus. Lama kelamaan agama dapat terseret oleh derasnya arus dan bisa berperan sebagai katalisator dalam perpaduan dengan ideologi-ideologi nonagama. Hal itu dinyatakan oleh W.F. Wertheim, Gelombang Pasang Emansipasi. Edisi Bahasa Indonesia dari De Lange Mars der Emantipatie: Herziene Druk van ‘Evolutie en Revolutie’Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, tt.: 489.
 
Kekerasan berkedok agama menempatkan agama sebagai realitas para pemeluknya. Para penganut agama adalah laki-laki dan perempuan yang hidup dalam ruang dan waktu yang relatif. Teks agama bersifat absolut, tetapi kehidupan riil para penganutnya selalu berubah, sehingga para penganut agama membutuhkan penafsiran teks agama sesuai dengan tantangan riil mereka sebagai pelaku kehidupan di dunia profan. Relevan dengan itu Mastuhu menyatakan bahwa:
”Agama selalu mengalami penafsiran sesuai dengan tantangan hidup yang ada, yang menyejarah. Meskipun demikian, agama memiliki nilai absolut, yaitu nilai mutlak yang tidak boleh dilanggar, yang dalam Islam disebut dengan akidah dan syari’ah.” (Prof. Mastuhu, Dinamika Sistem PesantrenJakarta: INIS, 1994: 16) 
 
Agama menjadi penentu peradaban. Huntington mengutip Tiryakin (1974), menyatakan bahwa sejumlah faktor objektif yang merumuskan pelbagai corak peradaban, bagaimanapun juga, yang terpenting, pada umumnya, adalah faktor agama  sebagaimana ditekankan oleh orang-orang Athena. Pada tataran yang luas, dalam sejarah manusia, peradaban-peradaban besar umumnya identik dengan agama-agama besar dunia; dan orang-orang yang memiliki kesamaan etnis dan bahasa namun berbeda agama bisa saja saling membunuh satu sama lain, sebagaimana terjadi di Libanon, Yugoslavia dan Anak Benua. Awal Abad Ke-21 Samuel H. Huntington menyatakan hal itu di dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indnesia berjudul Benturan Antarperadaban (The Clash of Ciilization), Yogyakarta: CV. Qalam, 2002: 41).
 
Penutup
 
Kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Demikian pula dengan premanisme. Ajaran Islam mengutuk setiap bentuk kekerasan. Oleh karena itu ajaran-ajaran Islam sarat akan panduan kebajikan, keluhuran, keadilan, dan kerukunan.

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (النساء :114)
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyeru (sesama manusia) memberi sedekah, berbuat kebajikan, dan mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS An-Nisa’ [4]: 114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar