Pada
edisi kali ini redaksi mengangkat tema tentang akhlak seorang muslim
terhadap pemerintah. Semoga sajian dalam dua kajian ini bisa memberikan manfaat bagi pembaca.
Kajian Pertama
Para ulama menyatakan bahwa manusia bila tidak menghormati dan memuliakan pemerintahnya maka akan rusak kehidupan dunia mereka. Sedangkan bila mereka tidak menghormati dan memuliakan para ulamanya maka akan rusak kehidupan agama mereka. Sehingga para penguasa (umara) dan ulama merupakan dua komponen yang harus kita hormati dan muliakan.
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mengingatkan dalam sabda-nya (artinya) :
“Wajib bagi kalian untuk bersama Al Jama’ah dan hati-hatilah kalian dari
perpecahan (diantara kaum muslimin). Sesungguhnya syaithan itu bersama
orang yang berpisah dari Al Jama’ah dan dia terhadap dua orang lebih
jauh…”.
Adapun makna Al Jama’ah sendiri ada dua macam :
1. Kebenaran yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadits/As Sunnah berserta orang-orang yang berpegang teguh dengan keduanya.
2. Kaum muslimin beserta para penguasanya/pemerintah.
Berkaitan dengan macam kedua maka kita diwajibkan untuk berjalan bersama
penguasa dan tetap mentaati peraturan dan hukum mereka selama dalam
kebaikan (ma’ruf). Dengan demikian akan terwujud persatuan dan kekuatan
kaum muslimin. Akan tetapi bila kita tidak mentaati mereka (para
penguasa) maka akan muncul perpecahan dan kerusakan. Lihatlah ketika
masing-masing kelompok menganggap pemimpin mereka sebagai penguasa!
Tentu akan timbul perpecahan. Demikian pula ketika muncul para Khawarij
(pemberontak) yang melawan penguasa, maka akan muncul perpecahan bahkan
pertumpahan darah sesama kaum muslimin dan kehancuran negeri-negeri kaum
muslimin.
Allah Ta’ala melarang kita untuk bercerai-berai dan berpecah-belah. Dia berfirman (artinya) :
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan
berselisih setelah datang keterangan-keterangan yang jelas kepada
mereka. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan adzab yang
besar.” (Ali Imran : 105).
Adapun makna perpecahan juga ada dua macam sebagaimana makna Al Jama’ah :
1. Kebatilan dan orang-orang yang mengikutinya.
2. Orang-orang yang memisahkan diri mereka dari kaum muslimin dan peng-uasanya.
1. Kebatilan dan orang-orang yang mengikutinya.
2. Orang-orang yang memisahkan diri mereka dari kaum muslimin dan peng-uasanya.
Kemunculan para penentang dan pemberontak yang melawan penguasa
merupakan sebab berkurangnya nikmat ukhuwwah (kebersamaan) kaum
muslimin. Allah Ta’ala berfirman (artinya) :
“Dan berpegang teguhlah kalian terhadap tali agama Allah dan janganlah
kalian berpecah belah. Dan ingatlah kalian terhadap nikmat Allah tatkala
kalian saling bermusuhan kemudian Allah persatukan hati kalian sehingga
kalian menjadi bersaudara.” (Ali Imran : 103).
Ketahuilah bahwasanya persatuan kaum muslimin dengan pemerintahnya akan
mendatangkan rahmat Allah. Sedangkan perpecahan akan menda-tangkan
adzab-Nya. Rasulullah bersabda (artinya) :
“Persatuan itu rahmat dan perpecahan itu adzab.” (Ahmad dan Ibnu Abi Ashin).
Perpecahan yang terjadi pada negeri kaum muslimin yang diakibatkan
munculnya para pemberontak walaupun dengan dalih mendirikan negara
Islam atau menegakkan syariat Islam, sebenarnya sangat dimanfaatkan
orang-orang kafir. Sehingga tidak mengherankan bila para pemberontak itu
justru didukung negara-negara kafir. Tentu saja orang-orang kafir sama
sekali tidak menginginkan dengan dukungan itu akan terwujud sebuah
negara Islam atau tegaknya syariat Islam. Akan tetapi yang mereka
inginkan adalah pertumpahan darah sesama kaum muslimin dan hancurnya
negeri-negeri Islam.
Perlu untuk diingat bahwa Rasulullah bersabda (artinya) :
“Barangsiapa keluar dari ketaatan terhadap penguasanya dan berpisah dari
mereka lalu mati dalam keadaan seperti itu maka dia mati jahiliyah.”
(Muslim).
Juga perlu diketahui bahwa kemunculan para pemberontak pada awalnya
dimulai dengan percikan-percikan api berupa su’udzhan (berprasangka
buruk) dan ghibah (menceritakan kejelekan-kejelekan) para penguasa di
berbagai media massa. Padahal Allah Ta’ala ber-firman (artinya) :
“Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka.
Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Janganlah kalian
mencari-cari kesalahan orang lain dan sebagian kalian menceritakan
kejelekan (ghibah) sebagian yang lain”. (Al Hujuraat : 12).
Maka
hendaknya semenjak dini para penguasa segera mencegah percikan-percikan
api tadi sebelum berkobarnya api-api pemberontakan dan kekacauan.
Kita perlu bertanya kepada para penentang dan pemberontak penguasa :
“Apa yang telah kalian hasilkan dari pemberontakan yang kalian lakukan?”. Ternyata hasilnya adalah tertumpahnya darah kaum muslimin dalam jumlah yang sangat besar sebagaimana yang pernah terjadi di Sudan. Atau hilangnya beberapa syiar Islam seperti di majelis-majelis taklim dan shalat berjama’ah di masjid-masjid sebagaimana yang sempat terjadi di Aljazair.
“Apa yang telah kalian hasilkan dari pemberontakan yang kalian lakukan?”. Ternyata hasilnya adalah tertumpahnya darah kaum muslimin dalam jumlah yang sangat besar sebagaimana yang pernah terjadi di Sudan. Atau hilangnya beberapa syiar Islam seperti di majelis-majelis taklim dan shalat berjama’ah di masjid-masjid sebagaimana yang sempat terjadi di Aljazair.
Kita juga perlu bertanya :
“Apakah bila pemberontakan yang kalian lakukan itu berhasil menggulingkan penguasa akan memunculkan seorang pemimpin yang lebih baik dari sebelumnya?”. Ternyata tidak berbeda jauh. Kapan akan ada pemimpin yang sempurna dan tidak memiliki kekurangan!? Akan adakah pemimpin yang bisa diridhai semua pihak!?
Sekalipun kita melihat adanya kenyataan bahwa para penguasa memiliki ke-kurangan bahkan kejahatan maka tetap dilarang untuk kita memberontak mereka selama mereka beragama Islam.
“Apakah bila pemberontakan yang kalian lakukan itu berhasil menggulingkan penguasa akan memunculkan seorang pemimpin yang lebih baik dari sebelumnya?”. Ternyata tidak berbeda jauh. Kapan akan ada pemimpin yang sempurna dan tidak memiliki kekurangan!? Akan adakah pemimpin yang bisa diridhai semua pihak!?
Sekalipun kita melihat adanya kenyataan bahwa para penguasa memiliki ke-kurangan bahkan kejahatan maka tetap dilarang untuk kita memberontak mereka selama mereka beragama Islam.
Rasulullah bersabda (artinya) :
“… Kemudian kelak akan muncul para penguasa yang hati kalian tidak tenang dan kulit kalian merinding (karena me-nyaksikan kejahatan mereka).” Lalu seseorang berdiri dan berkata : “Apakah kita tidak melawan mereka?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (beragama Islam).” (Ahmad dan Ibnu Abi Ashim).
“… Kemudian kelak akan muncul para penguasa yang hati kalian tidak tenang dan kulit kalian merinding (karena me-nyaksikan kejahatan mereka).” Lalu seseorang berdiri dan berkata : “Apakah kita tidak melawan mereka?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (beragama Islam).” (Ahmad dan Ibnu Abi Ashim).
Kita memang tidak ridha dan mem-benci kejahatan yang mereka lakukan.
Namun hal demikian tidak kemudian kita lampiaskan dengan perlawanan
kepada penguasa sekalipun “hanya” dengan demontrasi. Lebih-lebih
pemberontakan.
Kajian Kedua
Sekian
banyak sabda Rasulullah yang memerintahkan untuk tetap bersama
Al Jama’ah dan larangan untuk berpecah belah atau berpisah darinya.
Namun perlu untuk kita ketahui tentang ucapan para ulama khususnya para
sahabat radhiyallahu ‘anhum berkaitan sabda-sabda tadi. Diantaranya
ucapan Umar bin Al Khaththab kepada Suwaid bin Ghafa-lah:
“Bisa jadi engkau akan hidup panjang setelahku sehingga akan engkau
saksikan kejahatan para pnguasa. Maka dengar dan taatilah mereka
sekalipun mereka adalah bekas budak. Bila mereka mendzalimi dan memukul
punggungmu maka tetap bersabarlah. Namun bila mereka memerintahmu untuk
merusak agamamu maka katakanlah : “Dengar dan taat dalam urusan darahku
namun tidak dalam urusan agamaku”. Tetaplah engkau jangan memisahkan
diri dari Al Jama’ah.”
Abu Umamah Al Bahili pernah ber-kata kepada Abu Ghalib :
“… Wajib bagimu untuk mengikuti As Sawaadul A’dham (kaum muslimin dan penguasanya).” Lalu dikatakan kepada beliau: “Engkau tentunya telah tahu tentang kejelekan yang ada pada para penguasa.” Beliau menjawab : “Ya, aku tahu tentang itu. Namun kewajiban yang mestinya mereka emban merupakan tanggung jawab mereka di hadapan Allah. Sedangkan kewajiban yang mestinya kalian tunaikan merupakan tanggung jawab kalian di hadapan Allah”.
“… Wajib bagimu untuk mengikuti As Sawaadul A’dham (kaum muslimin dan penguasanya).” Lalu dikatakan kepada beliau: “Engkau tentunya telah tahu tentang kejelekan yang ada pada para penguasa.” Beliau menjawab : “Ya, aku tahu tentang itu. Namun kewajiban yang mestinya mereka emban merupakan tanggung jawab mereka di hadapan Allah. Sedangkan kewajiban yang mestinya kalian tunaikan merupakan tanggung jawab kalian di hadapan Allah”.
Kejahatan para penguasa mestinya jangan dibalas dengan kejahatan atau
dosa dari kita berupa menentang dan memberontak. Tetapi yang justru kita
lakukan adalah menasehati mereka dan mendoakan kebaikan/hidayah bagi
mereka.
Rasulullah bersabda (artinya) : “Barangsiapa memiliki nasehat
kepada penguasanya maka hendaknya dia pegang tangannya (artinya tidak
di depan umum-red). Bila penguasa itu menerima nasihat tersebut maka itu
yang diharapkan. Namun bila dia tidak menerima maka telah lepas sebuah
tanggung jawab.”
Al Imam Al Fudhail bin ‘Iyyadh rahi-mahullah berkata : “Kalau seandainya
aku memiliki satu doa yang dikabulkan Allah maka akan aku panjatkan
untuk kebaikan penguasa.” Kemudian ditanyakan kepada beliau : “Kenapa
demikian?” Beliau menja-wab : “Kalau aku memanjatkan doa terse-but untuk
diriku maka aku saja yang men-jadi bailk. Namun bila aku memanjatkan
doa tersebut untuk penguasaku maka seluruh rakyat (termasuk aku) akan
menjadi baik.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar