Selamat Datang

Kamis, 25 April 2013

Perlakuan Terhadap Buruh, Bagaimana Seharusnya ?



Fenomena buruh sedikit banyak telah menyedot perhatian masa sejak terjadinya revolusi industri di Eropa pada abad XV yang memaksa manusia untuk bekerja di pabrik-pabrik , lahan tambang, perkebunan dan lain-lain. Revolusi industri yang diklaim sejarawan sebagai tonggak kebangkitan Eropa setelah sejak berabad-abad lamanya tenggelam dalam kegelapan kekuasaan para Kaisar dengan doktrin-doktrin gerejanya ( sejak saat itu dimulai babak baru setelah adanya kompromi antara Kaisar dengan kaum ilmuan untuk memisahkan agama dari kehidupan, sebagai cikal bakal sekularisasi ), melahirkan fenomena-fenomena baru di tengah masyarakat. Di antaranya, muncul kelas pemodal ( kaum borjuis ) yang ' mengorganisasi' dan 'mengeksploitir' buruh untuk bekerja pada pabrik-pabrik mereka. Pada sisi lain, sistim feodalistik ini melahirkan kelompok masyarakat miskin, kelas pekerja ( kaum proletar ), yang menjadi 'budak' bagi para pemodal. Mereka diperas tenaganya secara paksa, tidak hanya orang laki-laki dewasa tapi juga anak-anak dan pekerja-pekerja wanita. Mereka diperlakukan layaknya seperti binatang.


Ide liberalisme ( kebebasan ) dengan landasan utama sekularisme, yang menjadi acuan para 'pembangkit' Eropa telah melahirkan keserakahan demi keserakahan delam menggapai 'kemuliaan' dunia. Maka bangsa-bangsa Eropa ramai-ramai melancarkan imperialisme ( penjajahan ) kepada bangsa-bangsa lain yang menguntungkan secara geografis ( adanya kekayaan alam ). Tercatatlah seperti Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol dan Portugis menjadi kolonialis-kolonialis pada era itu hingga diusirnya mereka dari daerah jajahannya.


Jan Bremen , sosiolog Belanda , mengobservasi nasib para buruh ( baca : kuli ) pada masa kolonialisme Belanda dalam bukunya Menjinakkan Sang Kuli ( Pustaka Grafiti, 1977, terjemah ). Lewat penelitian dengan memanfaatkan dokumen-dokumen resmi pemerintah kolonial yang selama ini tersembunyi, ia memaparkan praktek keji politik kolonial terhadap ribuan kuli asal Cina, India, Jawa dan daerah-daerah lain di Sumatra yang dipekerjakan di perkebunan Sumatra Timur pada awal abad 19 hingga awal abad 20.
Para kuli kontrak tersebut , tulis Jan Bremen--yang karena keberaniannya ia harus menanggung reksiko dituduh tidak menghargai perstasi bangsanya sendiri--jika dianggap bersalah diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Mereka diseret kuda dengan tangan terikat, dicambuk dengan daun jelantang kemudian disiram air, digantung, ditusuk bagian bawah kukunya dengan serpihan bambu, dan untuk kuli perempuan--maaf--digosok kemaluannya dengan merica halus. Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang memilukan akibat imperialisme yang sudah menjadi bagian dari paradaban kapitalisme.


Kapitalisme sebagai sebuah ideologi--diambil dari pengertian capital ( modal ) --memiliki aktivitas yang paling menonjol yakni mencari harta sebanyak-banyaknya dengan sebebas-bebasnya. ( hurriyah at tamaluk ). Dengan demikian sampai saat ini pun aktivitas imperialisme dari ideologi kapitalisme belum berakhir. Bahkan semakin merajalela, dikarenakan ideologi kapitalisme menjadi ideologi tunggal setelah Islam ( mabda Islam ) dihancurkan Barat pada tahun 1924 , dan ideologi komunisme runtuh dengan sendirinya di tahun 1990.


Demi menyelesaikan problem perburuhan, para buruh di beberapa negara banyak yang membentuk partai politik . Partai politik ini mereka maksudkan untuk perjuangan kelas ( class strunggle ) agar tercapai kesamaan ( equality ) diantara para buruh dan majikan. Teori ini dipengaruhi analisis Karl Marx ( Bapak Komunisme ) yang bercita-cita menghilangkan sama sekali kelas dalam masyarakat ( masyarakat tampa kelas ). Padahal dengan tergantinya pihak yang menzolimi ( kaum Borjuis ) oleh kaum proletar ( yang terzolimi ) , maka orang yang terzholimi itu kemudian ganti menjelma menjadi kelas orang zolim baru, sebagai tindakan konservatif . ( Lihat, An Nabhaniy, Nizdam Iqthishad fil Islam ).


Di Indonesia sendiri mulai nampak kesadaran kaum buruh akibat ulah kesewenang-wenangan pengusaha yang tidak memberikan upah yang layak sebagai imbalan atas kerja mereka, PHK secara sepihak, dan lain-lain Maka berbagai demonstrasi pun digelar ( tidak jarang yang disertai pengrusakan ) mogok kerja dan aksi-aksi lainnya dalam memperjuangkan nasibnya. Harga mahal yang harus dibayar akibat berbagai aksi tersebut , baik bagi buruh sendiri, pihak pengusaha dan stabilitas nasional pun terganggu. Buruh terancam PHK tanpa pesangon, buruh diintimidasi bahkan terancam jiwanya. Sementara pihak perusahaan menanggung resiko kehilangan produktivitas, selain ancaman kerugian fisik akibat amuk buruh. Dan secara politis, persoalan ini menjadi lahan subur untuk menyusupkan ideologi komunisme, dengan senjata ampuhnya-pembelaan dan janji-janji indah kepada kaum lemah ini ( para buruh ). Juga pemecahan dengan metode sekuler yang berakibat pada disfungsionalisasi ajaran agama. Bagaimanakah dengan Islam ? apakah perlakuan ( aturan-aturan ) Islam terhadap buruh dapat menyelesaikan dan menuntaskan problem perburuhan ?


KONTRAK KERJA DALAM ISLAM


Di dalam Islam , problem perburuhan diatur oleh hukum-hukum "kontrak kerja " ( Ijaroh ). Secara definisi, Ijaroh adalah ' transaksi ( aqad ) atas jasa/manfaat tertentu dengan suatu konpensasi atau upah'. ( lihat An Nabhaniy dalam Nidzham Iqthishad fil Islam ). Syarat tercapainya transaksi ijaroh tersebut adalah kelayakan dari orang-orang yang melakukan aqad, yaitu , si penyewa tenaga atau majikan ( disebut dengan Musta'jir ) dengan orang yang dikontrak atau pemberi jasa/tenaga ( disebut dengan Ajiir ). Kelayakan tersebut meliputi :
1. Kerelaan ( ke-ridhlo-an ) dua orang yang bertransaksi
2. Berakal dan Mumayyis ( mampu membedakan dan memilih )
3. Jelas upah dan manfaat yang akan di dapat



MANFAAT
Dengan Pengertian di atas, maka ' kontrak kerja ' dalam Islam meliputi 3 jenis, yaitu :
1. Manfaat yang di dapat seseorang dari benda ( Manafi'ul A'yan ). Semisal seseorang menyewa rumah, kendaraan, komputer dan sejenisnya.
2. Manfaatyang di dapat seseorang atas kerja /amal seseorang ( Manfa'atul Amal ), semisal arsitek, tukang kebun, buruh pabrik dan sejenisnya.
3. Manfaat yang di dapat seseorang atas pribadi atau diri seseorang ( Manfa'atul Syakhs ), semisal mengontark kerja atau menyewa seorang pembantu, satpam dan sejenisnya.


Kebolehan " Kontrak Kerja " dalam Islam

Islam memperbolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga para pekerja atau buruh, agar mereka bekerja untuk orang tersebut. Allah SWT berfirman :
" Apakah mereka membagi-bagi rahmat Tuhanmu ? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka mempergunakan sebagian yang lain".
( QS.Az-Zukhruf : 32 )

Ibnu Shihab meriwayakan dengan mengatakan : Aku diberitahu oleh Urwah bin Zubeir bahwa Aisyah r.a berkata : " Rosulullah SAW dan Abu Bakar pernah mengontrak (tenaga )orang dari Bani Dail sebagai penunjuk jalan, sedangkan orang tersebut beragama seperti agamanya orang kafir Quraisy. Beliau kemudian memberikan kedua kendaraan beliau kepada orang tersebut. Beliau lalu mengambil janji dari orang tersebut ( agar berada ) di gua Tsur setelah tiga malam, dengan membawa kedua kendaraan beliau pada waktu subuh di hari yang ketiga".

Allah SWT juga berfirman :
" Apabila mereka ( wanita-wanita ) menyusui ( anak ) kalian,maka berikanlah kepada mereka upah-upahnya". ( QS. At-Thalaq : 6 )


Ketentuan Kerja
Karena sewa menyewa atau kontrak kerja adalah memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak dengan imbalan upah, maka seorang yang dikontrak ( Ajiir ) haruslah dijelaskan bentuk kerjanya ( job description ), batas waktunya ( timing ) , besar gaji / upah nya ( take home pay ) serta berapa besar tenaga / keterampilannya harus dikeluarkan ( skill ). Bila keempat hal pokok dalam kontrak kerja ini tidak dijelaskan sebelumnya , maka transaksinya menjadi fasid ( rusak ).

Dari Ibnu Mas'ud berkata : Nabi SAW bersabda : " Apabila salah seorang diantara kalian, mengontrak ( tenaga ) seseorang ajiir maka hendaknya diberitahu upahnya ".

Termasuk yang harus ditentukan adalah tenaga yang harus dicurahkan oleh pekerja, sehingga para pekerja tersebut tidak dibebani dengan pekerjaan yang di luar kapasitasnya. Allah SWT berfirman :
" Allah tidak akan membebani seseorang , selain dengan kemampuannya ". ( QS. Al Baqarah : 286 )

Nabi SAW juga bersabda : 
" Apabila aku telah memerintahkan kepada kalian suatu perintah, maka tunaikanlah perintah itu semampu kalian ". ( HR.Imam Bukhari dan Muslim )


Maka tidak diperbolehkan untuk menuntut seorang pekerja agar mencurahkan tenaga , kecuali sesuai dengan kapasitasnya yang wajar. Karena tenaga tidak mungkin dibatasi dengan takaran yang baku, maka membatasi jam kerja dalam sehari adalah takaran yang lebih ideal. Sehingga pembatasan jam kerja bisa mencangkup pembatasan tenaga yang harus dikeluarkan. Misalnya buruh harian, mingguan atau bulanan. Disamping itu bentuk pekerjaannya juga harus ditentukan, semisal menggali tanah, menopang atau melunakkan benda, memalu besi, mengemudikan mobil atau bekerja di penambangan.
Dengan begitu , pekerjaan tersebut benar-benar telah ditentukan bentuknya, waktunya, upah dan tenaga yang dicurahkan dalam melaksanakannya. Atas dasar inilah, maka ketika syara' memperbolehkan menggunakan pekerja, maka syara' ikut menentukan pekerjaannya, jenis , waktu upah serta tenaganya. Sedangkan upah yang diperoleh oleh seorang pekerja sebagai konpensasi dari kerja yang dia lakukan itu merupakan hak milik ( yang halal ) dari orang tersebut, sebagai konsekuensi tenaga yang telah dia curahkakn.


Bentuk Kerja 

Tiap pekerjaan yang halal, maka hukum kontrak kerja bagi pekerjaan tersebut juga halal. Sehingga kontrak kerja tersebut boleh dilakukan dalam perdagangan, pertanian, industri, pelayanan ( jasa ) , perwakilan, dan lain sebagainya. Pekerjaan-pekerjaan di bawah ini termasuk dalam kategori kontrak kerja ( ijaroh ) : menggali sumber dan pondasi bangunan,, mengemudikan mobil dan pesawat, mencetak buku, menerbitkan koran dan majalah dan sejenisnya. Mengontrak suatu pekerjaan, kadang-kadang bisa dilakukan terhadap jenis pekerjaan tertentu, ( misalnya mengontrak tukang gali sumur ) atau pekerjaan yang di deskripsikan dalam suatu perjanjian, semisal menyewa arsitek untuk membangun suatu bangunan dengan bentuk tertentu.

Apabila transaksi kerja tersebut dilakukan terhadap pekerjaan tertentu, atau terhadap pekerja tertentu, misalnya Khalid mengontrak Mahmud untuk menjahitkan bajunya, maka hukumnya wajib bagi si Mahmud itu sendiri yang melakukan pekerjaan tersebut, dan secara mutlak posisinya tidak boleh digantikan oleh orang lain. Karena dia telah diangkat, dengan sebuah kesepakatan bersama. Apabila baju yang telah ditentukan untuk dijahit itu hilang, atau rusak, maka dia bertanggung jawab penuh terhadapnya.

Sedangkan , apabila kontrak kerja tersebut terjadi pada zat yang dideskripsikan dalam suatu perjanjian, atau terjadi pada pekerjaan yang telah dideskripsikan untuk melakukan kerja tertentu, maka dalam keadaan seperti ini si pekerja boleh saja mengerjakan pekerjaan itu sendiri atau boleh juga orang lain menggantikan posisinya, apabila dia sakit atau tidak mampu, selama pekerjaannya sesuai dengan deskripsinya.

Menentukan bentuk pekerjaan itu sekaligus menentukan siapa pekerja yang akan mengerjakannya., agar kadar pengorbanan si pekerja bisa dijelaskan. Misalnya harus seorang insinyur atau seorang kondektur. Apabila seseorang telah menerima suatu pekerjaan, kemudian pekerjaan tersebut dilemparkan kepada orang lain--dengan ongkos lebih murah dari sebelumnya--lalu sisanya merupakan keuntungan bagi dirinya--maka hal semacam itu dibolehkan.

Sedangkan apabila seseorang telah bersepakat dengan orang lain untuk mendatangkan 100 orang pekerja dengan upah tiap orang pekerja adalah 1 dollar, maka apabila si orang tersebut apabila kurang memberikan upah dari 1 dollar terhadap para buruhnya , maka yang demikian diharamkan. Imam Abu Dawud telah meriwayatkan dari Abi Sa'id Al Khudry , bahwa Nabi SAW bersabda :
" Hati-hatilah kalian terhadap Qasamah ? " Kemudian kami bertanya : " Qasamah itu apa ? Beliau menjawab : " Adalah sesuatu ( yang disepakati sebagai bagian ) diantara manusia, kemudain bagian tadi dikurang."


Waktu Kerja 

Transaksi kontrak kerja dalam Islam, sangat memperhatikan sekali masalah waktu. Ini dikarenakan ada aqad -aqad kerja yang menggunakan waktu dan ada pula yang tidak. Pekerjaan menjahit atau mengemudikan mobil ke suatu tempat bisa tampa disebutkan atau ditentukan waktunya. Tetapi ada yang harus disebutkan waktunya, misalnya kontrak kerja di perusahaan atau pabrik-pabrik tertentu. Maka harus jelas lama kontrak tersebut, apakah dikontrak selama 1 tahun, 1 bulan atau hanya 1 minggu. Apabila pekerjaan yang memang harus disebutkan waktunya -tetapi tidak terpenuhi-maka pekerjaan tersebut menjadi tidak jelas dan tentu saja hukumnya menjadi tidak sah.
Apabila waktu kontrak sudah ditentukan misalnya dalam jangka waktu 1 tahun atau 1 bulan, maka tidak boleh salah seorang diantara kedua belah pihak membubarkannya, kecuali apabila waktunya telah habis. Begitu pula tidak boleh seseorang bekerja untuk selamanya ( tampa waktu yang jelas ) dengan perkiraan gaji yang juga tidak jelas. Hal ini semisal yang terjadi pada pegawai-pegawai pemerintahan ( PNS ) yang standart gajinya sudah ditentukan ( bukan berdasarkan hiyar/ pilihan ) berdasarkan lama bekerja dan golongannya ( bukan berdasarkan manfaat dari pegawai tersebut ). Maka praktek-praktek semacam ini jelas bertentangan dengan hukum syara'


Upah Kerja 

Disyaratkan dalam setiap transaksi kerja, upah atau honor yang jelas, dengan bukti dan ciri yang bisa menghilangkan ketidakjelasan. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda :
" Apabila salah seorang diantara kalian, mengontrak seorang ' Ajiir' ( buruh ) maka hendaknya dia memberitahu upah ( honor )-nya kepada yang bersangkutan." ( HR. Imam Ad-Daruquthni, dari Ibnu Mas'ud )

Konpensasi--yang berupa honor--boleh saja dibayarkan tunai, boleh juga tidak. Honor tersebut juga bisa dalam bentuk harta ( uang ) atau pun jasa. Sebab apa saja yang bisa dinilai dengan harga , maka boleh juga dijadikan sebagai konpensasi, baik berupa materi maupun jasa, dengan syarat harus jelas. Apabila tidak jelas, maka tidak akan sah transaksi tersebut. Pendek kata, gaji ( honor ) haruslah jelas sejelas-jelasnya, sehingga bisa menafikan kekaburan, dus bisa dipenuhi tampa ada permusuhan.

Penentuan upah/gaji dalam Islam adalah berdasarkan jasa kerja atau kegunaan /manfaat tenaga seseorang. Berbeda dengan pandangan kapitalis dalam menentukan upah, mereka memberikan upah kepada seseorang pekerja dengan menyesuaikannya dengan biaya hidup dalam batas minimum. Mereka akan menambah upah tersebut, apabila beban hidupnya bertambah pada batas yang paling minimum. Sebaliknya mereka akan menguranginya, apabila beban hidupnya berkurang. Oleh karena itu, upah seseorang pekerja ditentukan berdasarkan beban hidupnya, tampa memperhatikan jasa yang diberikan oleh tenaga seseorang dan masyarakat.

Dalam kondisi apapun, selama perkiraan tersebut tetap mengacu pada sarana-sarana kehidupan paling minim yang dibutuhkan oleh seorang pekerja, maka itu akan mengakibatkan kepemilikan para pekerja tersebut tetap terbatas, sesuai dengan standar paling minimum yang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, sebagaimana yang dialami oleh pekerja yang terdapat di negara-negara yang terbelakang pemikirannya, seperti negri-negri Islam, ataupun cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer serta sekunder dan tersier mereka, sebagaimana yang dialami pekerja di negara-negara yang sudah maju pemikirannya, seperti Eropa dan Amerika. Maka, pekerja yang ada di sana--baik yang maju ataupun belum--tetap saja sama nasibnya. Kepemilikan para pekerja dibatasi sesuai dengan batas taraf hidup mereka yang paling minim, menurut ukuran komunitas mereka. Padahal tinggi rendahnya masyarakat berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun perkiraan tersebut tetap mengikuti biaya hidup minimum yang dibutuhkan oleh pekerja tersebut. Itulah kapitalisme ! ( Lihat An Nabhany dalam Nidzam Al Iqthishad fil Islam ).

Pandangan kapitalis di atas jelas tidak menghargai sama sekali jasa seseorang dan juga profesionalitas pekerja. Hal ini pun bertentangan dengan tingkat kebutuhan manusia yang berbeda-beda yang ingin dipenuhi, akhirnya pekerja itu yang harus mampu menekan tingkat kebutuhan tersebut. Di dalam Islam jelas akan berbeda penanganannya. Profesionalisme kerja sangatlah dihargai oleh Islam. Sehingga upah seorang pekerja benar-benar didasari pada keahlian dan manfaat yang bisa diberikan oleh si pekerja itu ! Bukan yang lainnya.


Hukum Kontrak Kerja Yang Haram

Tidak dibolehkan, mengontrak seseorang buruh atau pekerja untuk mengerjakan sesuatu yang haram. Atau menyewakan dan memberikan suatu jasa yang juga telah diharamkan oleh syara'. Hal ini misalnya seseorang mengontrak pekerja untuk mengirimkan ' heroin ' atau kamar ( minuman kerasa ) kepada seorang pelanggan. Atau mengontrak kerja untuk berternak babi dan menjual bangkai. 
Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bin Malik yang mengatakan : 
" Rosulullah SAW melaknat dalam masalah Khamar ( minuman keras ) sepuluh orang, yaitu : pemerasnya, orang yang diperaskan, peminumnya, pembawanya, orang yang dibawakan, orang yang mengalirkannya, penjualnya, pemakan keuntungannya, pembelinya termasuk orang yang dibelikan " 

Begitu pula tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi ijaroh dalam masalah riba, karena transaksi tersebut merupakan transaksi terhadap jasa yang diharamkan. Riwayat dari Ibnu Majah dari jalan Ibnu Mas'ud dari Nabi SAW :
" Bahwa beliau ( Nabi SAW ) melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya, para saksi serta pencatatnya."

Begitu pula dengan beberapa pekerjaan haram lainnya, seperti ' Pelacur ' , atau menjadi pembunuh bayaran, menjadi dukun santet dan sejenisnya. Semua itu telah diharamkan oleh syariat Islam, yang berarti haram pula mempekerjakan seseraonag untuk melakukan semua itu.


Kontrak Kerja bagi Non Muslim

Islam memperbolehkan kontrak kerja dengan orang non Islam, berdasarkan perbuatan Rosulullah SAW serta Ijma' Sahabat tentang bolehnya mengontrak kerja orang non muslim. Rosulullah SAW pernah mengontrak seorang yahudi untuk menjadi penulis, dan mengontrak seorang yahudi lain untuk tenaga penterjemah. Abu Bakar dan Umar pun pernah mengontrak orang Nashrani untuk menghitung harta kekayaan. Sebagaimana seorang muslim boleh mempekerjakan npn muslim , maka seorang muslim pun boleh secara syar'i bekerja pada non muslim sepanjang tidak bekerja untuk yang haram. Apabila perbuatan yang diinginkan oleh si non muslim itu adalah perbuatan haram, maka bagi si muslim tidak boleh mengerjakannya. Dalam hal ini Ali radliyaallhu 'anhu pernah mengontakkan dirinya ( bekerja ) pada seorang Yahudi, untuk menyirami kebunnya dengan upah setiap satu timba berarti sebutir kurma. Hal ini sampai kepada Rosulullah SAW, dan beliau pun tidak malarangnya. Kesimpulannya transaksi tersebut berstatus boleh dan bukan perkara yang menghinakan seorang muslim.

Kontrak Kerja dalam Ibadah dan Jasa Umum


Karena setiap sesuatu yang menghasilkan manfaat ( yang halal ) bisa dikonpensasikan dengan upah , maka setiap jasa umum dari seseorang boleh diambil upah darinya. Ini sebagaimana diperbolehkannya seorang tukang timbang mengambil upah dari hasil timbangannya :
" Timbanglah dan mantabkan ( timbangannya )." ( HR. Abu Dawud )
Hal ini bererti berlaku pula untuk setiap jasa umum, sepanjang tidak mangandung unsur haram dan praktek haram.


Sedangkan dalam masalah ibadah, baik yang fardhu maupun yang sunnah , maka harusdilihat terlebih dahulu ; apabila ibadah tersebut termasuk ibadah yang manfaatnya tidak bisa dirasakan oleh si Pelakunya, seperti menghajikan dirinya sendiri, membayarkan zakatnya sendiri, maka tidak boleh mengambil upah atas ibadahnya, sebab upah merupakan konpensasi suatu pemerolehan jasa, sementara orang lain faktanya tidak mendapatkan jasanya sama sekali ( dalam kasus ini ). Sehingga mengontrak dirinya sendiri--untuk melakukan ibadah haji-- lalu meminta upah atas ibadah tersebut, maka tidak diperbolehkan dengan alasan tadi, disamping kewajiban itu sebenarnya merupakan kewajiban pribadinya.


Namun apabila ibadah tersebut merupkan ibadah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh pelakunya, maka kontrak kerja dalam ibadah seperti itu dibolehkan, semisal adzan utuk orang lain, menjadi imam untuk orang lain dan sejenisnya. Maka semua ini telah dibolehkan oleh syara'.
Sedangkan dalam masalah mengajar, seseorang diperbolehkan untuk mengontrak seorang guru yang mengajar anak-anaknya atau mengajarnya, ataupun mengajar siapa saja yang dia inginkan. Karena mengajar adalah jasa yang mubah, dimana untuk mendapatkan kompensasi dari jasa tersebut adalah mubah / boleh. Syara juga telah membolehkan untuk mendapatkan kompensasi dari mengajarkan Al-Qur'an. Maka tentu mendapatkan kompensasi di luar mengajarkan Al-Qur'an ( semisal mengajarkan fiqh Islam ) adalah lebih layak mendapatkan upahnya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda :
" Yang paling layak untuk kalian ambil upahnya adalah ( mengajarkan ) Kitabullah ( Al -Qur'an )."


Semuanya itu membuktikan , bahwa mendapatkan upah karena mengajar adalah boleh. Sedagkan adanya riwayat hadist yang mengatakan tentang adanya larangan mengambil upah dalam mengajarkan Al-Qur'an itu tidak secara otomatis merupakan larangan mengontrak orang untuk mengajarkannya. ( hal ini memang telah menjadi ikhtilaf para ulama ). Maka semua itu menunjukkan, bahwa mendapatkan upah karena mengajarkan Al-Qur'an itu hukumnya makruh, dan bukan haram ( lihat An Nabhany dalamNidzamul Iqthishadi fil Islam). Begitulah beberapa aturan hukum dari Islam guna kejelasan sebuah kontrak kerja.


PERLINDUNGAN BAGI PEKERJA

Selain memberikan aturan yang jelas dalam hal transaksi kontrak kerja, syariat Islam pun telah memberikan hukum-hukum yang harus diperhatikan bagi para majikan untuk memberikan perlindungan bagi si pekerja. Hal - hal tersebut menyangkut :
1. Perlindungan terhadap pekerja dan waktu istirahat yang layak.
Dalam hal ini Rosulullah SAW bersabda : " Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak atas dirimu".
Sabdanya yang lain : " Istirahatkanlah hati barang sejenak, karena sesungguhnya jika hati sampai jenuh
dia akan buta". ( HR. Baihaqi )

2. Jaminan penghidupan bagi pekerja
Rosulullah SAW bersabda : " Barang siapa bekerja pada kami dan dia tidak memiliki rumah, maka hendaklah
dia mau mengambil rumah, jika dia tidak mempunyai istri, maka hendaklah dia dipermudah menikah atau jika dia tidak mempunyai kendaraan maka hendaklah dia mengambil kendaraannya".( HR. An Nasa'i )

3. Menyegerakan gaji / upah
Dalam Islam hendaknya gaji dibayarkan secepat mungkin dan sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai. Dalam hal ini Rosulullah SAW bersabda : " Berikanlah gaji pekerja sebelum kering keringatnya ". ( HR. Ibnu Majah )

Dalam hadist yang lain Rosulullah bersabda : " Sikap menunda-nunda pembayaran bagi orang kaya adalah suatu kedzaliman". ( HR. Abu Dawud )
Begitu pula dalam Islam para majikan dilarang memotong gaji mereka dengan alasan
apapun, sebagaimana hadist yang sudah dijelaskan di atas ( tentang qasamah ). 


KESEJAHTERAAN PEKERJA

Siapakah yang menanggung kesejahteraan para pekerja ? Hal ini sering menjadi sumber problema perburuhan. Saat ini terdapat kecenderungan pemahaman bahwa kesejahteraan pekerja adalah tanggung jawab pengusaha Yaitu mencukupi KHM ( kebutuhan hidup minimum ) seorang pekerja --yang biasanya mencangkup kontrakan rumah, kebutuhan akan gula, beras, piring, kemeja, sabun sampai potong rambut dan rekreasi. Negara dalam hal ini seolah-olah lepas tangan sama sekali dari kewajiban di atas. Tindakan seperti ini sudah tentu bertentangan dengan tata cara Islam. Dalam Islam, negara lah yang mengatur dan mengurus kepentingan rakyanya. Dalam hal ini Rosulullah SAW bersabda :
" Imam ( kepala Negara ) itu bagaikan pengembala alias pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia pimpin". ( HR.Ahmad.Syaikhan dan Abu Dawud )

Syekh Abdul Azis Al Badri dalam kitab Al Islam Dlaaminun lil Haajat al Asaasiyah likuli Fardin wa Ya'malu lirafaahiyatih menyatakan , menurut Islam, sektor kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan dasar masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara. Sebab kedua sektor tersebut termasuk dalam katagori pemeliharaan kemaslahatan umum. Negaralah yang harus menjamin seluruh fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai sehingga dapat dinikmati oleh seluruh warga negara, tidak terkecuali para buruh. Dengan demikian tidak akan terjadi lagi tarik ulur antara pengusaha dengan buruhnya mengenai masalah ini. Para buruh bisa bekerja dengan tenang--karena kebutuhan primernya telah terpenuhi--sambil menunggu upahnya untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya. Dan para majikan pun akan senang dengan lancarnya pekerjaan para buruh mereka, yang berarti produksi berjalan baik-dan keuntungan tinggal ditangguk. Negara pun akan memperoleh bahagian dengan lancarnya roda perekonomian ini, yaitu melalui zakat perniagaan para pengusaha yang memang telah sampai nisonya. Uang pemasukan negara itu pun toh akan kembali lagi ke rakyat, karena memang sudah menjadi tanggung jawab negara--mencukupi--kebutuhan rakyatnya. Sungguh betapa indahnya sistem kehidupan masyarakat seperti ini. Adakah yang lebih baik dari nya ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar