Selamat Datang

Kamis, 13 Desember 2012

Islam Agama Yang Toleran

Negara Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan sebuah lembaga yang bernama Pew Research Centers on Religion and Public Life pada November 2010 menobatkan Indonesia sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Meskipun demikian, Indonesia tidak lantas menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama resmi yang diakui oleh negara. Pemerintahan Indonesia justru memberi kebebasan kepada rakyatnya untuk memilih suatu agama yang diyakininya.


Dalam hal ini, pemerintah melalui UUD 1945 menyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya.”


Jika diteliti secara seksama, UUD 1945 tersebut sejatinya sudah sangat sesuai dengan ajaran yang sangat fundamental dalam Islam. Yaitu “tidak ada paksaan dalam agama” (QS Al-Baqarah [2]: 256). Latar belakang turunnya ayat ini adalah, sebagaimana keterangan Ibnu Abbas, bahwa ada seorang Anshor yang bernama Hushain memaksa kedua anaknya yang beragama Kristen supaya mereka masuk agama Islam. Akan tetapi kedua anaknya menolak paksaan itu. Dari latar belakang ini dapat dipahami bahwa seseorang tidak boleh memaksakan keyakinannya kepada orang lain.


Oleh karenanya, untuk mengawal eksistensi UUD 1945 tersebut dibutuhkan sikap toleransi antar umat beragama. Toleransi ini menjadi sangat penting, sebab manusia secara fitrah merupakan makhluk sosial. Dikatakan sebagai makhluk sosial, karena bagaimanapun juga manusia akan selalu berinteraksi dan butuh terhadap orang lain. Nah, Dalam proses interaksi itu tentunya antara satu individu—atau bahkan kelompok, baik masyarakat atau agama—dengan yang lain akan meniscayakan terjadinya perbedaan. Dari sinilah sikap toleran menemukan relevansinya.


Tulisan ini sengaja dihadirkan guna menyikapi isu-isu ʻseksi’ seputar toleransi yang kini banyak dibicarakan baik dari kalangan akademik maupun non-akademik. Target utama dari pembahasan tulisan ini meliputi: (1) makna toleransi dan sejarah perkembangannya, (2) menjawab stereotype bahwa Islam agama tidak toleran, dan
(3) menyikapi isu-isu kekinian: relevansi hukuman mati bagi orang murtad (qotl murtad/apostasi), pembangunan tempat ibadah non-Muslim, dan reinterpretasi konsep jihad.


Toleransi dan Sejarah Perkembangannya


Wacana tentang toleransi merupakan term baru dalam dunia studi pemikiran Islam. Dalam Al-Quran sendiri tidak pernah disebut kata toleransi atau tasamuh (Arab). Meski demikian, bukan berarti toleransi ini haram untuk digunakan. Sebab kata toleransi mempunyai padanan kata dalam Al-Quran, yaitu: al-shofhu dan al-ihsan. Di mana kedua kata ini merupakan lawan kata al-taʻannut, al-taʻashshub, al-tathorruf, dan al-ghuluw. Kata al-Shofhu misalnya dapat di jumpai pada QS Al-Baqarah [2]: 109; Al-Maidah [5]: 13; Al-Hijr [15]: 85; An-Nur [24]: 24; dan Az-Zukhruf [43]: 89. Kata al-ihsan bisa ditemukan pada QS Al-Baqarah [2]: 83 dan 195; An-Nahl [16]: 125 dan 190; Al-Mukminun [23]: 96; Al-Qashas [28]: 77; Al-ʻAnkabut [29]: 46 dan Fushshilat [41]: 34. Sementara itu, Zuhairi Misrawi dalam penelitiannya menemukan 300 ayat yang berbicara tentang toleransi di dalam Al-Quran.


Toleransi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sikap atau sifat toleran. Kata ini merupakan serapan dari bahasa Inggris tolerance. Menurut Abdul Malik Salman,  kata tolerance sendiri berasal dari bahasa latin “tolerare” yang berarti berusaha untuk tetap bertahan hidup, tinggal, atau berinteraksi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak disukai atau disenangi. Dengan demikian, pada awalnya dalam makna tolerance terkandung sikap keterpaksaan.


Adapun dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi adalah samâhah atau tasâmuh. Kata ini pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan), atau saʻat al-shadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan). Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada/terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia. Dengan demikian, berbeda dengan kata tolerance yang mengandung nuansa keterpaksaan, maka kata tasâmuh memiliki keutamaan, karena melambangkan sikap yang bersumber pada kemuliaan diri (al-jûd wa al-karam) dan keikhlasan.


Sejarah toleransi di Barat muncul sebagai respon atas  tindakan penyelewengan dan penindasan dalam berbagai aspek kehidupan, yang meliputi politik, sosial, dan budaya. Nah, berangkat dari banyaknya peristiwa penyelewengan dan penindasan atas nama agama inilah gagasan tentang toleransi mulai berkembang di Barat. Orang yang paling lantang menyuarakan gagasan ini adalah John Locke. Ada tiga gagasan yang ia bawa. Pertama, hukuman yang layak untuk individu yang keluar dari sekte tertentu bukanlah hukuman fisik melainkan cukup ekskomunikasi (pengasingan). Kedua, tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran, sehingga satu sekte tidak boleh mengafirkan sekte yang lain. Ketiga,  pemerintah tidak boleh memihak salah satu sekte, sebab masalah keagamaan adalah masalah privat.


Argumen Toleransi dalam Islam


Sejak awal diturunkannya di muka bumi ini, Islam membawa semangat ajaran perdamaian dan kerukunan. Hal itu tercermin dari nama “Islam” itu sendiri yang berarti bahwa ia adalah agama perdamaian. Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah Swt., Tuhan yang maha kuasa, alam, dan manusia. Lebih dari itu, misi yang sangat mulia ini dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw., yang mana beliau tidak diutus kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.


Selain membawa ajaran perdamaian, Islam juga terbangun di atas prinsip toleransi. Spirit toleransi ini diberikan teladan langsung oleh Nabi Muhammad Saw., para Sahabatnya, dan generasi setelahnya. Keberhasilan Nabi Muhammad Saw. dalam mempersatukan berbagai suku agama penduduk Madinah kala itu menjadi saksi nyata wujud toleransi dalam Islam. Kehidupan yang harmonis dan toleran itu akhirnya diabadikan dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan sebutan ʻPiagam Madinah’ (Mîtsâq al-Madinah/Madinah Charter). Secara garis besar, dasar-dasar toleransi dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Umat Islam meyakini kemuliaan semua manusia, apapun agamanya, sukunya, dan warna kulitnya. Tentang hal ini, Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Isro’[17]: 70 yang berbunyi, “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.”
2. Umat Islam juga menyakini bahwa perbedaan manusia dalam beragama itu sudah menjadi sunnatullah. Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Kahfi [18]: 29 yang berbunyi: “Dan Katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh memaksa orang lain yang berbeda agama untuk masuk Islam. Karena hal itu jelas bertentangan dengan QS Yunus [10]: 99 yang berbunyi: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?
  1. Umat Muslim tidak boleh untuk menghakimi kekufuran atau kesesatan seseorang, karena hal ini bukan merupakan wewenangnya. Yang berhak menjadi hakim atas kekufuran seseorang hanyalah Allah Swt. besok di hari pembalasan (yaumul hisab). Untuk menegaskan hal ini, Allah Swt. berfirman melalui QS Al-Hajj [22]: 68-69 yang berbunyi: “Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah: Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan. Allah akan mengadili di antara kamu pada hari kiamat tentang apa yang kamu dahulu selalu berselisih padanya.
  2. Umat Islam percaya bahwa Allah Swt. memerintahkan keadilan dan beretika yang baik, walaupun itu kepada orang musyrik sekalipun. Dan juga Allah Swt. membenci kelaliman dan ketidak adilan, walaupun tindakan tersebut dilakukan oleh seorang Muslim. Perihal ini, Allah Swt. berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Maidah [5]: 8).[8]
Lalu apakah ayat-ayat di atas hanya sekedar aspirasi atau ajaran yang melangit tanpa adanya aplikasi yang nyata dan tidak menjadi inspirasi bagi umat Islam pada tataran realitas sosial?


Sejarah telah mencatat bahwa toleransi dalam Islam sudah dimulai sejak era Rasulullah Saw. Toleransi terbangun atas dasar “tidak ada paksaan dalam agama.” Tetapi dasar ini juga tidak menafikan unsur dakwah secara bijaksana dan dengan tutur kata yang baik.


 Toleransi tidak terhenti pada zaman Nabi saja, tetapi juga diteladani oleh umat setelah-Nya. Sahabat Umar bin Khatab pernah mewanti-wanti pasukannya ketika mau berangkat perang seraya berkata: “Jangan menghancurkan pohon-pohon buah atau tanah pertanian di jalan yang kalian lalui. Adillah dan jagalah perasaan orang-orang lemah. Hormatilah pemuka-pemuka agama-agama yang tinggal di biara atau pertapaan dan berilah tempat di gedung mereka” (church History by Andrew Miller).


Untuk konteks ke-Indonesia-an sekarang, wujud toleransi umat Islam  bisa ditunjukkan, misalnya, dengan ikut berpartisipasi dalam mengamankan perayaan hari besar umat non-Muslim. Hal ini dinilai sangat penting, sebab pada saat-saat seperti itu biasanya sering digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, dengan meledakkan bom misalnya, yang tujuannya adalah untuk mengadu domba antar umat beragama. Rumusan kongritnya, hal seperti itu diperbolehkan bagi petugas keamanan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti ancaman para teroris, misalnya, yang mengganggu keselamatan mereka. Dan juga hal itu sebagai wujud jaminan keselamatan dari negara.


Sedangkan untuk para relawan—selain petugas keamanan—tidak diperkenankan ikut berpartisipasi mengamankan perayaan hari besar umat non-Muslim kecuali ketika sedang terjadi kerusuhan yang mengancam nyawa orang-orang non-Muslim tersebut. Hal ini semata-mata karena untuk menyelamatkan nyawa mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar