Negara Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan sebuah lembaga yang bernama Pew Research Center’s on Religion and Public Life pada November 2010 menobatkan Indonesia sebagai negara yang
berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Meskipun demikian, Indonesia tidak lantas menjadikan Islam sebagai
satu-satunya agama resmi yang diakui oleh negara. Pemerintahan Indonesia
justru memberi kebebasan kepada rakyatnya untuk memilih suatu agama
yang diyakininya.
Dalam hal ini, pemerintah melalui UUD 1945 menyatakan
bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan
mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan
untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya.”
Jika diteliti secara seksama, UUD 1945 tersebut sejatinya
sudah sangat sesuai dengan ajaran yang sangat fundamental dalam Islam.
Yaitu “tidak ada paksaan dalam agama” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Latar belakang turunnya ayat ini adalah, sebagaimana keterangan Ibnu
Abbas, bahwa ada seorang Anshor yang bernama Hushain memaksa kedua
anaknya yang beragama Kristen supaya mereka masuk agama Islam. Akan
tetapi kedua anaknya menolak paksaan itu. Dari latar belakang ini dapat
dipahami bahwa seseorang tidak boleh memaksakan keyakinannya kepada
orang lain.
Oleh karenanya, untuk mengawal eksistensi UUD 1945 tersebut
dibutuhkan sikap toleransi antar umat beragama. Toleransi ini menjadi
sangat penting, sebab manusia secara fitrah merupakan makhluk sosial.
Dikatakan sebagai makhluk sosial, karena bagaimanapun juga manusia akan
selalu berinteraksi dan butuh terhadap orang lain. Nah, Dalam proses
interaksi itu tentunya antara satu individu—atau bahkan kelompok, baik
masyarakat atau agama—dengan yang lain akan meniscayakan terjadinya
perbedaan. Dari sinilah sikap toleran menemukan relevansinya.
Tulisan ini sengaja dihadirkan guna menyikapi isu-isu
ʻseksi’ seputar toleransi yang kini banyak dibicarakan baik dari
kalangan akademik maupun non-akademik. Target utama dari pembahasan
tulisan ini meliputi: (1) makna toleransi dan sejarah perkembangannya,
(2) menjawab stereotype bahwa Islam agama tidak toleran, dan
(3) menyikapi isu-isu kekinian: relevansi hukuman mati bagi orang murtad (qotl murtad/apostasi), pembangunan tempat ibadah non-Muslim, dan reinterpretasi konsep jihad.
Toleransi dan Sejarah Perkembangannya
Wacana tentang toleransi merupakan term baru dalam dunia studi pemikiran Islam. Dalam Al-Quran sendiri tidak pernah disebut kata toleransi atau tasamuh
(Arab). Meski demikian, bukan berarti toleransi ini haram untuk
digunakan. Sebab kata toleransi mempunyai padanan kata dalam Al-Quran,
yaitu: al-shofhu dan al-ihsan. Di mana kedua kata ini merupakan lawan kata al-taʻannut, al-taʻashshub, al-tathorruf, dan al-ghuluw. Kata al-Shofhu
misalnya dapat di jumpai pada QS Al-Baqarah [2]: 109; Al-Maidah [5]:
13; Al-Hijr [15]: 85; An-Nur [24]: 24; dan Az-Zukhruf [43]: 89. Kata al-ihsan
bisa ditemukan pada QS Al-Baqarah [2]: 83 dan 195; An-Nahl [16]: 125
dan 190; Al-Mukminun [23]: 96; Al-Qashas [28]: 77; Al-ʻAnkabut [29]: 46
dan Fushshilat [41]: 34. Sementara itu, Zuhairi Misrawi dalam
penelitiannya menemukan 300 ayat yang berbicara tentang toleransi di
dalam Al-Quran.
Toleransi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sikap atau sifat toleran. Kata ini merupakan serapan dari bahasa Inggris tolerance. Menurut Abdul Malik Salman, kata tolerance
sendiri berasal dari bahasa latin “tolerare” yang berarti berusaha
untuk tetap bertahan hidup, tinggal, atau berinteraksi dengan sesuatu
yang sebenarnya tidak disukai atau disenangi. Dengan demikian, pada
awalnya dalam makna tolerance terkandung sikap keterpaksaan.
Adapun dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi adalah samâhah atau tasâmuh. Kata ini pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan), atau saʻat al-shadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan). Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada/terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia. Dengan demikian, berbeda dengan kata tolerance yang mengandung nuansa keterpaksaan, maka kata tasâmuh memiliki keutamaan, karena melambangkan sikap yang bersumber pada kemuliaan diri (al-jûd wa al-karam) dan keikhlasan.
Sejarah toleransi di Barat muncul sebagai respon atas
tindakan penyelewengan dan penindasan dalam berbagai aspek kehidupan,
yang meliputi politik, sosial, dan budaya. Nah, berangkat dari banyaknya peristiwa penyelewengan dan
penindasan atas nama agama inilah gagasan tentang toleransi mulai
berkembang di Barat. Orang yang paling lantang menyuarakan gagasan ini
adalah John Locke. Ada tiga gagasan yang ia bawa. Pertama,
hukuman yang layak untuk individu yang keluar dari sekte tertentu
bukanlah hukuman fisik melainkan cukup ekskomunikasi (pengasingan). Kedua, tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran, sehingga satu sekte tidak boleh mengafirkan sekte yang lain. Ketiga, pemerintah tidak boleh memihak salah satu sekte, sebab masalah keagamaan adalah masalah privat.
Argumen Toleransi dalam Islam
Sejak awal diturunkannya di muka bumi ini, Islam membawa
semangat ajaran perdamaian dan kerukunan. Hal itu tercermin dari nama
“Islam” itu sendiri yang berarti bahwa ia adalah agama perdamaian.
Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia lahir dari
pandangan ajarannya tentang Allah Swt., Tuhan yang maha kuasa, alam, dan
manusia.
Lebih dari itu, misi yang sangat mulia ini dibawakan oleh Nabi Muhammad
Saw., yang mana beliau tidak diutus kecuali untuk menjadi rahmat bagi
seluruh alam semesta.
Selain membawa ajaran perdamaian, Islam juga terbangun di
atas prinsip toleransi. Spirit toleransi ini diberikan teladan langsung
oleh Nabi Muhammad Saw., para Sahabatnya, dan generasi setelahnya.
Keberhasilan Nabi Muhammad Saw. dalam mempersatukan berbagai suku agama
penduduk Madinah kala itu menjadi saksi nyata wujud toleransi dalam
Islam. Kehidupan yang harmonis dan toleran itu akhirnya diabadikan dalam
sebuah perjanjian yang dikenal dengan sebutan ʻPiagam Madinah’ (Mîtsâq al-Madinah/Madinah Charter). Secara garis besar, dasar-dasar toleransi dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Umat Islam meyakini kemuliaan semua manusia, apapun
agamanya, sukunya, dan warna kulitnya. Tentang hal ini, Allah Swt.
berfirman dalam QS Al-Isro’[17]: 70 yang berbunyi, “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.”
2. Umat Islam juga menyakini bahwa perbedaan manusia dalam beragama itu sudah menjadi sunnatullah. Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Kahfi [18]: 29 yang berbunyi: “Dan Katakanlah: “Kebenaran
itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir.” Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh memaksa orang
lain yang berbeda agama untuk masuk Islam. Karena hal itu jelas
bertentangan dengan QS Yunus [10]: 99 yang berbunyi: “Dan jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
- Umat Muslim tidak boleh untuk menghakimi kekufuran atau kesesatan seseorang, karena hal ini bukan merupakan wewenangnya. Yang berhak menjadi hakim atas kekufuran seseorang hanyalah Allah Swt. besok di hari pembalasan (yaumul hisab). Untuk menegaskan hal ini, Allah Swt. berfirman melalui QS Al-Hajj [22]: 68-69 yang berbunyi: “Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah: “Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan.” Allah akan mengadili di antara kamu pada hari kiamat tentang apa yang kamu dahulu selalu berselisih padanya.”
- Umat Islam percaya bahwa Allah Swt. memerintahkan keadilan dan beretika yang baik, walaupun itu kepada orang musyrik sekalipun. Dan juga Allah Swt. membenci kelaliman dan ketidak adilan, walaupun tindakan tersebut dilakukan oleh seorang Muslim. Perihal ini, Allah Swt. berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Maidah [5]: 8).[8]
Lalu apakah ayat-ayat di atas hanya sekedar aspirasi
atau ajaran yang melangit tanpa adanya aplikasi yang nyata dan tidak
menjadi inspirasi bagi umat Islam pada tataran realitas sosial?
Sejarah telah mencatat bahwa toleransi dalam Islam sudah
dimulai sejak era Rasulullah Saw. Toleransi terbangun atas dasar “tidak
ada paksaan dalam agama.” Tetapi dasar ini juga tidak menafikan unsur
dakwah secara bijaksana dan dengan tutur kata yang baik.
Toleransi tidak terhenti pada zaman Nabi saja, tetapi juga
diteladani oleh umat setelah-Nya. Sahabat Umar bin Khatab pernah
mewanti-wanti pasukannya ketika mau berangkat perang seraya berkata:
“Jangan menghancurkan pohon-pohon buah atau tanah pertanian di jalan
yang kalian lalui. Adillah dan jagalah perasaan orang-orang lemah.
Hormatilah pemuka-pemuka agama-agama yang tinggal di biara atau
pertapaan dan berilah tempat di gedung mereka” (church History by Andrew
Miller).
Untuk konteks ke-Indonesia-an sekarang, wujud toleransi
umat Islam bisa ditunjukkan, misalnya, dengan ikut berpartisipasi dalam
mengamankan perayaan hari besar umat non-Muslim. Hal ini dinilai sangat
penting, sebab pada saat-saat seperti itu biasanya sering digunakan
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, dengan meledakkan bom
misalnya, yang tujuannya adalah untuk mengadu domba antar umat beragama.
Rumusan kongritnya, hal seperti itu diperbolehkan bagi petugas keamanan
untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti ancaman para
teroris, misalnya, yang mengganggu keselamatan mereka. Dan juga hal itu
sebagai wujud jaminan keselamatan dari negara.
Sedangkan untuk para
relawan—selain petugas keamanan—tidak diperkenankan ikut berpartisipasi
mengamankan perayaan hari besar umat non-Muslim kecuali ketika sedang
terjadi kerusuhan yang mengancam nyawa orang-orang non-Muslim tersebut.
Hal ini semata-mata karena untuk menyelamatkan nyawa mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar