Selamat Datang

Rabu, 26 September 2012

Perdamaian dan Islam

“Dan Kami (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta” -Alquran, QS. Al-Anbiya’, 21:107-


Islam diturunkan sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, yakni menebarkan rahmat dan perdamaian bagi alam semesta. Ide dasar perdamaian ini merupakan satu di antara prinsip-prinsip utama ajaran Islam yang membingkai seluruh aspek dan sendi tatanannya, termasuk yang berkaitan dengan masalah akidah atau keyakinan.


Bertolak dari ide dasar tersebut Islam mengajarkan toleransi antar umat beragama sebagaimana sabda Nabi: ”Agama yang paling disukai Allah adalah yang lurus dan lapang (toleran)” [HR. Bukhari di al-Adab al-Mufrad, dan Ahmad].


Islam juga menolak segala bentuk pemaksaan terhadap pihak lain untuk mengimani keyakinan agama tertentu, termasuk Islam; apalagi sekedar menyakini penafsiran atau paham-paham tertentu yang sama-sama diambil rujukannya dari sumber agama yang sama. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah: “Tiada paksaan dalam (menganut) suatu agama” [QS. al-Baqarah, 2: 256].


Berbeda Itu Niscaya


Sikap Islam yang tegas melarang pemaksaan keyakinan ini didasarkan juga pada landasan dan fakta teologis bahwa perbedaan dan keragaman merupakan sunnah kauniyah atau keniscayaan penciptaan yang dikehendaki-Nya [QS. Hud, 11: 118-119]. Lebih jauh, dalam QS. Yunus, 10: 19 dijelaskan, pada mulanya umat manusia itu bersatu, tiada pertentangan di antara mereka, namun di kemudian hari mereka berselisih pandangan dan kepentingan hingga akhirnya menjadi umat yang berkelompok-kelompok dan saling bermusuhan.


Ini semua, sebagaimana dijelaskan dalam QS. an-Nahl, 16: 93, memang sudah dikehendaki terjadi oleh Allah untuk menguji siapa di antara umat manusia yang punya komitmen dan tanggungjawab dalam memegang teguh serta memperjuangkan kebenaran dan siapa di antara mereka yang tersesat atau menyimpang dari jalan kebenaran itu.


Di bagian ayat lain ditegaskan, jika saja Allah berkehendak niscaya Dia akan menjadikan umat manusia sebagai umat yang satu, akan tetapi justeru Dia berkehendak lain dengan menjadikan bagi masing-masing kelompok suatu sistem keyakinan dan tatanan yang dianut. Inipun dimaksudkan sebagai ujian bagi umat manusia sekaligus sebagai motivasi teologis agar mereka saling berlomba mempersembahkan yang terbaik [QS. al-Maidah, 5: 48].


Selain itu, dilihat dari perspektif teologis yang lebih mendalam, adanya perbedaan dan keragaman ini sejatinya merupakan fakta penciptaan yang pada gilirannya menjadi bukti keesaan Allah; bahwa hanya Dia-lah yang Maha Esa, Tunggal dan Satu —di mana semua ciptaan-Nya adalah bersifat beragam dan plural. Oleh karena itu, menerima keberagaman sebagai keniscayaan dengan diikuti penyikapan yang arif dan positif merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem aplikasi konsep tauhid.


Islam Anti Kekerasan


Oleh karena itu, Islam tidak membenarkan sama sekali terjadinya tirani dan anarkisme atas nama agama. Allah berfirman: ”Kami maha mengetahui apa yang mereka (musuh-musuh Islam) pergunjingkan (perolok-olok), sedangkan engkau (Muhammad) tidak (kami utus) sebagai tirani atas mereka, maka ingatkanlah dengan Alquran orang-orang yang takut akan ancaman-Ku” [QS. Qaaf, 50: 45].


Secara jelas alquran telah memetakan mana yang merupakan wilayah kerja dakwah yang menjadi tugas kaum muslimin yang harus dilakukan secara damai dan persuasif (bukan anarkis), juga wilayah hak penimpaan ”sanksi-teologis” (penghukuman dan penyiksaan) yang hanya menjadi hak prerogatif Tuhan.


Firman Allah: ”Maka, ingatkanlah. Karena sesungguhnya kamu (Muhammad) hanyalah sebagai pengingat. Kamu bukanlah sebagai tirani. Kecuali mereka yang berpaling dan kafir, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang mahabesar. Sesungguhnya kepada Kami-lah mereka kembali. Dan sesungguhnya kepada Kami pula pertanggungjawaban mereka” [QS. al-Ghasyiah, 88: 21-26].


Pada tataran operasional, Islam juga melarang tindakan menghancurkan dan merusak tempat-tempat ibadah umat non-muslim. Allah berfirman: ”Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian orang atas sebagian yang lain (tidak mendorong kerja sama antar manusia), niscaya rubuhlah biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah” [QS. al-Hajj, 22: 40].


Lebih jauh lagi Islam juga melarang perbuatan ”teror intelektual” kepada pihak lain yang tidak sepaham atau sekeyakinan selama mereka tidak mengusik atau mengganggu kita dengan teror yang sama. Dalam QS. al-An’am, 6: 108 Allah berfirman, ”Janganlah kamu mencerca (mengolok-olok) mereka yang tidak menyembah Allah (penganut agama lain)”.


Kekerasan Demi Perdamaian


Memang, di dalam Islam terdapat ajaran untuk berperang, akan tetapi hal itu pun adalah untuk membela diri saat diserang musuh, serta demi muwujudkan perdamaian itu sendiri secara berimbang, yaitu agar tidak ada pihak lain yang berbuat tirani kepada umat Islam sebagaimana Islam tidak memperbolehkan umatnya berbuat tirani kepada pihak lain.


Tentang perintah berperang sebagai upaya membela diri tersebut, Allah berfirman: ”Dan perangilah demi menegakkan jalan Allah mereka yang memerangi kamu, dan janganlah kamu berbuat melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat melampaui batas” [QS. al-Baqarah, 2: 190].
Karena itu, lebih lanjut Alquran mengajarkan apabila pihak musuh telah kalah atau setuju untuk berdamai maka kita diwajibkan memilih jalan damai. Allah berfirman: ”Kalau mereka cenderung kepada perdamaian, maka sambutlah kecenderungan itu, dan berserah dirilah kepada Allah” [QS. al-Anfal, 8: 61].


Arif Sikapi Perbedaan


Sebagai solusi Alquran mengajarkan dua cara untuk menghadapi kelompok lain yang dianggap salah dan tidak sekeyakinan dengan kita, yaitu dengan melakukan dialog dan penyikapan yang arif (pendekatan persuasif). Allah berfirman: ”Ajaklah ke jalan Allah dengan hikmah (perilaku, sikap dan tindakan bijaksana), nasehat yang baik, dan berdialoglah dengan mereka dengan sebaik-baiknya dialog” [QS. al-Nahl, 16: 125].


Bahkan, secara teknis alquran telah mengajarkan prinsip dialog lintas agama/keyakinan yang mesti dilandasi dengan semangat saling menghargai, penuh keterbukaan, dilakukan dengan kepala dingin dan jauh dari aksi klaim kebenaran secara sepihak. Allah berfirman: ”Katakanlah: Siapa yang memberi kamu rezeki dari langit dan bumi? Maka, katakanlah: Allah (yang memberi rezeki). Dan sesungguhnya kami ataukah kamu yang berada dalam hidayah atau (sebaliknya) berada dalam kesesatan yang nyata?” [QS. Saba’, 34: 24].


Semua ini menuntun kita, sebagai umat pembawa rahmat, untuk senantiasa memilih cara-cara damai yang menyejukkan dalam menyikapi pertentangan-pertentangan paham yang terjadi dewasa ini. Cara-cara yang anarkis dan merusak harus kita hindarkan. Sebab, lazimnya kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan lain yang ujungnya akan berakibat pada munculnya kerusakan yang lebih besar lagi. Dalam sebuah adigum fikih disebutkan, ”suatu kemunkaran tidak boleh diubah dengan cara yang bisa menimbulkan kemunkaran yang lebih besar lagi”.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar