Selamat Datang

Rabu, 19 September 2012

SAY NO!!! To Terrorism

Film My name is Khan karya Karan Johar yang dibintangi artis papan atas India,  Shahrukh Khan (Rizwan Khan) dan Kajol (Mandira Khan), mengangkat tema kehidupan seorang Muslim yang tinggal di Amerika pasca-runtuhnya menara kembar WTC pada 9 September 2001. Setidaknya ada tiga hal yang diangkat dalam film ini. Pertama, perang melawan terorisme atas nama jihad. Kedua, dampak terorisme bagi kaum Muslim. Ketiga, upaya melawan stigma negatif Islam di mata Barat.


Dalam film ini, diceritakan getirnya kehidupan sang tokoh utama, seorang Muslim yang merantau di negara Barat, yang tak pernah ia alami sebelumnya di negara asalnya. Segala cacian, hinaan, diskriminasi dan stigma buruk sebagai teroris dilemparkan kepadanya. Muslim yang berpeci, Muslimah yang berjilbab, orang dengan nama atau nama keluarga yang berbau Islam, serta hal-hal yang menyimbolkan Islam lainnya dicurigai dan dijadikan sasaran penghujatan. Untuk bisa hidup wajar dan dapat berinteraksi dengan warga lain, dengan segenap keterpaksaan mereka harus menyembunyikan identitas keagamaannya.


Pesan yang ingin disampaikan film tersebut adalah bahwa Islam tidaklah mengajarkan terorisme dan terorisme bukanlah jihad. Film yang dibintangi Shahrukh Khan ini menggambarkan realitas sesungguhnya umat Islam di dunia Barat yang terpukul atas sejumlah aksi terorisme oleh segelintir kelompok berpaham radikal yang mengklaim sebagai representasi Islam serta menyelewengkan makna jihad. Aksi terorisme yang membajak agama jelas bukanlah termasuk ajaran jihad yang dianjurkan Islam, sebab karakteristiknya sangat bertentangan dengan prinsip kemanusiaan.


Meluruskan Makna Jihad


Dari segi bahasa, jihad memiliki akar kata dari kata kerja jahada, yang artinya berusaha, berupaya atau bersungguh-sungguh. Dari akar kata ini, terbentuk beberapa istilah populer dalam Islam, yakni jihad, ijtihad, dan mujahadah.


Rumusan makna jihad tergambar dalam paparan kitab I’natu Thalibin: Syarah Fathul Muin karya Al-Imam Abu Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyati. Menurut beliau, bentuk jihad itu ada empat macam. Pertama, menegaskan eksistensi Allah SWT (itsbatu wujudillah). Kedua, menegakkan syariat atau agama Allah (iqamatu syari’atillah). Ketiga, berperang di jalan Allah (qital fi sabilillah). Keempat, mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang harus ditanggung (oleh pemerintah) baik itu yang Muslim maupun kafir dzimmi (daf’u dlararil ma’shumin, Musliman kana au dzimmiyyan).


Kata jihad berkali-kali disebut dalam Alquran, baik yang berupa ajakan untuk berjihad, pujian dan keutamaannya, kedudukan orang yang berjihad, serta celaan bagi yang enggan untuk berjihad. Berperang di jalan Allah merupakan amalan terpuji dan pelakunya dijanjikan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya: “Dan janganlah kamu mengatakan orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak mengetahui (hakikat)-nya” (QS. Al-Baqarah: 154). Begitu terpujinya amalan jihad sehingga orang yang mati dalam peperangan (syahid) tidak wajib dimandikan, tetapi cukup dikuburkan dengan pakainnya yang berlumuran darah.


Meskipun demikian, ada yang perlu diperhatikan dalam masalah jihad, yaitu sejumlah syarat yang digariskan oleh agama bagi diperbolehkannya berperang. Syarat yang dimaksud tidak lain yaitu bila suatu negara diserang oleh musuh dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama. Jika hal itu terjadi, maka dibenarkan untuk berperang atau melawan dengan aturan dan rambu yang telah ditetapkan agama. Selama syarat yang menyebabkan hukum perang berlaku tidak memenuhi, maka wajib hukumnya bagi seluruh umat untuk memakmurkan negara berdasarkan syariat Allah SWT. Sedangkan berbuat kerusakan apapun situasinya selalu diharamkan.


Dalam berperang juga ada etika yang tidak boleh diabaikan. Etika tersebut ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam salah satu riwayat hadisnya yang pada intinya melarang peserta perang untuk tidak melakukan tiga hal. Tiga hal yang dimaksud adalah tidak membunuh anak-anak dan perempuan, tidak merusak tanaman dan satwa, dan tidak menghancurkan rumah-rumah ibadah musuh.


Sejak masa Nabi hingga era modern sekarang ini, berperang di jalan Allah adalah wewenang dan seruan negara, bukan individu atau kelompok tertentu. Negara berkewajiban melindungi rakyatnya dari serangan musuh dengan kekuatan angkatan bersenjata yang dimilikinya. Jika individu atau kelompok tertentu diberi kewenangan untuk memproklamirkan jihad, maka yang terjadi adalah perang sesama umat manusia.


Jihad Tidak Identik dengan Perang


Dalam berbagai riwayat hadis, sering ditemukan makna jihad yang tidak diartikan dengan berperang mengangkat senjata melawan musuh. Jihad yang dimaksud dalam hadis-hadis tersebut lebih cenderung bermakna amal saleh yang dilakukan berdasarkan kesungguhan dan tidak bertujuan lain kecuali ridha Allah SWT untuk mengalahkan dorongan nafsu yang selalu menggiring manusia ke jurang keburukan. Wujud nyata jihad dalam arti non-perang ini di antaranya perbuatan berbakti kepada orang tua, menuntut ilmu dan mempertahankan harta.


Dalam sebuah riwayat hadis, dikisahkan seorang sahabat muda pernah menghadap Rasulullah SAW untuk meminta izin ikut berjihad, tetapi Rasulullah SAW melarangnya dan menyuruhnya pulang karena orangtuanya masih hidup dan sahabat muda tersebut lebih layak untuk merawat orangtuanya daripada pergi berperang. Sabda Rasulullah SAW: “Berjihadlah pada keduanya (fafihima fajahid)” (HR. Bukhari dan Muslim).


Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa sahabat Abdullah bin Mas’ud RA berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Amalan apakah yang paling dicintai Allah SWT?” Beliau menjawab: “Shalat.” Kemudian saya bertanya lagi: “Apa lagi setelah itu?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Apa lagi setelah itu?” Beliau menjawab: “Jihad.” (HR.Muslim).


Menuntut ilmu juga disebut amalan jihad. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam hadisnya. Beliau bersabda: “Barangsiapa keluar (meninggalkan rumah) untuk menuntut ilmu, maka ia dianggap sebagai orang yang berjihad di jalan Allah hingga ia kembali” (HR. Tirmidzi).


Amalan jihad juga terwujud dalam aktivitas kita menjaga diri serta mempertahankan apa yang kita miliki. Seorang sahabat mendatangi Rasulullah SAW dan menanyakan perihal hartanya jika ada yang merampas. Nabi menasihatinya untuk melawan dengan sekuat tenaga menjaga hartanya supaya tidak berpindah tangan. “Bagaimana jika ia berhasil membunuhku?” tanya sahabat itu. Nabi menjawab: “Engkau mati syahid (fa anta syahidun)” (HR. Muslim).


Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dijelaskan bahwa orang yang mati sahid tidak dibatasi hanya mereka yang mati karena berperang secara fisik melawan musuh Allah. Pada suatu hari, Rasululullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat tentang makna mati syahid. Para sahabat menjawab, seseorang yang gugur di jalan Allah (fi sabilillah). Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Kalau begitu sungguh sedikit dari umatku yang mati sahid.” “Lantas siapa saja wahai Rasulullah?” tanya sahabat lagi. Beliau bersabda: “Orang yang mati karena terserang penyakit kolera (al-mat’unu), sakit perut (al-mabthunu), orang yang tenggelam atau karam (al-ghoriqo), ditimpa tanah longsor (shohibul hadmi), dan berperang di jalan Allah (al-syahidu fi sabilillah) (HR. Bukhari-Muslim).


Ternyata, kesyahidan tidak sesempit yang dipahami banyak umat Muslim saat ini. Menjadi seorang yang syahid, apalagi dalam konteks masa kini, tidak menuntut setiap Muslim untuk mengangkat senjata membunuh nyawa-nyawa orang lain. Islam tidak menganjurkan umatnya mengejar kesyahidan dengan melakukan aktivitas kekerasan terhadap umat lain, terlebih lagi Islam tidak sedikit pun mengajarkan paham terorisme kepada umatnya. Sebaliknya, mengenai terorisme, Islam sangat mengutuk tindakan jahat yang berupa kekerasan tidak manusiawi yang dibungkus atau diklaim ajaran jihad tersebut. Tidak pernah sedikit pun tersirat dalam sumber-sumber ajaran Islam, baik Alquran, hadis, ijtihad ulama, ijma ulama, maupun sumber lainnya yang menyatakan bahwa terorisme adalah terkategorikan ajaran jihad. Terorisme adalah aksi brutal yang melawan kodrat kemanusiaan dan musuh semua agama. Selain itu, terorisme tidak bisa disebut atau dipersamakan dengan jihad dalam arti perang atau jihad dalam arti amalan lainnya. Semua agama menutuk aksi terorisme, apalagi Islam.


Penafsiran ayat-ayat jihad yang menghasilkan doktrin perang melawan umat beragama lain yang saat ini meracuni sebagian orang yang tersesat memahami Islam harus direkonstruksi dan diperbaiki. Pasalnya, penafsiran model itu mengabaikan perbedaan konteks sosial antara masa lalu dan masa kini. Semestinya, penafsiran yang dilakukan harus konsisten yaitu tanpa menghilangkan elemen vital atau semangat moral dari makna jihad fi sabilillah. Hal itu guna menghindari pembajakan segelintir orang yang merusak makna jihad yang suci.


Rizwan Khan adalah tokoh fiktif dalam film My name is Khan. Tetapi, ia mewakili umat Islam di dunia. Akibat terorisme, umat Islam dan dunia sangat dirugikan. Dalam berbagai kesempatan ia mencoba untuk meyakinkan orang lain dan seluruh dunia bahwa meskipun dia memeluk agama Islam, sementara para pelaku terorisme juga mengaku memeluk agama yang sama dengannya, dia sama sekali bukan teroris, dia sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk menyakiti umat agama lain. Umat Islam di belahan dunia mana pun, termasuk di negeri kita tercinta, Indonesia, semestinya mengambil hikmah dari kisah inspiratif Khan ini. Bersama Khan mari kita perangi terorisme! Bersama Khan pula mari kita tunjukkan bahwa simbol-simbol keagamaan seperti jenggot, peci, jilbab, dan nama-nama yang beraroma Islami tidak ada hubungannya sama sekali dengan terorisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar