Film My name is Khan karya
Karan Johar yang dibintangi artis papan atas India, Shahrukh Khan
(Rizwan Khan) dan Kajol (Mandira Khan), mengangkat tema kehidupan
seorang Muslim yang tinggal di Amerika pasca-runtuhnya menara kembar WTC
pada 9 September 2001. Setidaknya ada tiga hal yang diangkat dalam film
ini. Pertama, perang melawan terorisme atas nama jihad. Kedua, dampak
terorisme bagi kaum Muslim. Ketiga, upaya melawan stigma negatif Islam
di mata Barat.
Dalam film ini, diceritakan getirnya
kehidupan sang tokoh utama, seorang Muslim yang merantau di negara
Barat, yang tak pernah ia alami sebelumnya di negara asalnya. Segala
cacian, hinaan, diskriminasi dan stigma buruk sebagai teroris
dilemparkan kepadanya. Muslim yang berpeci, Muslimah yang berjilbab,
orang dengan nama atau nama keluarga yang berbau Islam, serta hal-hal
yang menyimbolkan Islam lainnya dicurigai dan dijadikan sasaran
penghujatan. Untuk bisa hidup wajar dan dapat berinteraksi dengan warga
lain, dengan segenap keterpaksaan mereka harus menyembunyikan identitas
keagamaannya.
Pesan yang ingin disampaikan film
tersebut adalah bahwa Islam tidaklah mengajarkan terorisme dan terorisme
bukanlah jihad. Film yang dibintangi Shahrukh Khan ini menggambarkan
realitas sesungguhnya umat Islam di dunia Barat yang terpukul atas
sejumlah aksi terorisme oleh segelintir kelompok berpaham radikal yang
mengklaim sebagai representasi Islam serta menyelewengkan makna jihad.
Aksi terorisme yang membajak agama jelas bukanlah termasuk ajaran jihad
yang dianjurkan Islam, sebab karakteristiknya sangat bertentangan dengan
prinsip kemanusiaan.
Meluruskan Makna Jihad
Dari segi bahasa, jihad memiliki akar kata dari kata kerja jahada,
yang artinya berusaha, berupaya atau bersungguh-sungguh. Dari akar kata
ini, terbentuk beberapa istilah populer dalam Islam, yakni jihad, ijtihad, dan mujahadah.
Rumusan makna jihad tergambar dalam paparan kitab I’natu Thalibin: Syarah Fathul Muin
karya Al-Imam Abu Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyati.
Menurut beliau, bentuk jihad itu ada empat macam. Pertama, menegaskan
eksistensi Allah SWT (itsbatu wujudillah). Kedua, menegakkan syariat atau agama Allah (iqamatu syari’atillah). Ketiga, berperang di jalan Allah (qital fi sabilillah).
Keempat, mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang harus
ditanggung (oleh pemerintah) baik itu yang Muslim maupun kafir dzimmi (daf’u dlararil ma’shumin, Musliman kana au dzimmiyyan).
Kata jihad berkali-kali disebut dalam
Alquran, baik yang berupa ajakan untuk berjihad, pujian dan
keutamaannya, kedudukan orang yang berjihad, serta celaan bagi yang
enggan untuk berjihad. Berperang di jalan Allah merupakan amalan terpuji
dan pelakunya dijanjikan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi
Allah, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya: “Dan janganlah kamu mengatakan orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak mengetahui (hakikat)-nya”
(QS. Al-Baqarah: 154). Begitu terpujinya amalan jihad sehingga orang
yang mati dalam peperangan (syahid) tidak wajib dimandikan, tetapi cukup
dikuburkan dengan pakainnya yang berlumuran darah.
Meskipun demikian, ada yang perlu
diperhatikan dalam masalah jihad, yaitu sejumlah syarat yang digariskan
oleh agama bagi diperbolehkannya berperang. Syarat yang dimaksud tidak
lain yaitu bila suatu negara diserang oleh musuh dengan segala
argumentasi yang dibenarkan agama. Jika hal itu terjadi, maka dibenarkan
untuk berperang atau melawan dengan aturan dan rambu yang telah
ditetapkan agama. Selama syarat yang menyebabkan hukum perang berlaku
tidak memenuhi, maka wajib hukumnya bagi seluruh umat untuk memakmurkan
negara berdasarkan syariat Allah SWT. Sedangkan berbuat kerusakan apapun
situasinya selalu diharamkan.
Dalam berperang juga ada etika yang
tidak boleh diabaikan. Etika tersebut ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam salah satu riwayat hadisnya yang pada intinya melarang peserta
perang untuk tidak melakukan tiga hal. Tiga hal yang dimaksud adalah
tidak membunuh anak-anak dan perempuan, tidak merusak tanaman dan satwa,
dan tidak menghancurkan rumah-rumah ibadah musuh.
Sejak masa Nabi hingga era modern
sekarang ini, berperang di jalan Allah adalah wewenang dan seruan
negara, bukan individu atau kelompok tertentu. Negara berkewajiban
melindungi rakyatnya dari serangan musuh dengan kekuatan angkatan
bersenjata yang dimilikinya. Jika individu atau kelompok tertentu diberi
kewenangan untuk memproklamirkan jihad, maka yang terjadi adalah perang
sesama umat manusia.
Jihad Tidak Identik dengan Perang
Dalam berbagai riwayat hadis, sering
ditemukan makna jihad yang tidak diartikan dengan berperang mengangkat
senjata melawan musuh. Jihad yang dimaksud dalam hadis-hadis tersebut
lebih cenderung bermakna amal saleh yang dilakukan berdasarkan
kesungguhan dan tidak bertujuan lain kecuali ridha Allah SWT untuk
mengalahkan dorongan nafsu yang selalu menggiring manusia ke jurang
keburukan. Wujud nyata jihad dalam arti non-perang ini di antaranya
perbuatan berbakti kepada orang tua, menuntut ilmu dan mempertahankan
harta.
Dalam sebuah riwayat hadis, dikisahkan
seorang sahabat muda pernah menghadap Rasulullah SAW untuk meminta izin
ikut berjihad, tetapi Rasulullah SAW melarangnya dan menyuruhnya pulang
karena orangtuanya masih hidup dan sahabat muda tersebut lebih layak
untuk merawat orangtuanya daripada pergi berperang. Sabda Rasulullah
SAW: “Berjihadlah pada keduanya (fafihima fajahid)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat yang lain, disebutkan
bahwa sahabat Abdullah bin Mas’ud RA berkata, “Saya pernah bertanya
kepada Rasulullah SAW: “Amalan apakah yang paling dicintai Allah SWT?”
Beliau menjawab: “Shalat.” Kemudian saya bertanya lagi: “Apa lagi setelah itu?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Apa lagi setelah itu?” Beliau menjawab: “Jihad.” (HR.Muslim).
Menuntut ilmu juga disebut amalan jihad. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam hadisnya. Beliau bersabda: “Barangsiapa
keluar (meninggalkan rumah) untuk menuntut ilmu, maka ia dianggap
sebagai orang yang berjihad di jalan Allah hingga ia kembali” (HR. Tirmidzi).
Amalan jihad juga terwujud dalam
aktivitas kita menjaga diri serta mempertahankan apa yang kita miliki.
Seorang sahabat mendatangi Rasulullah SAW dan menanyakan perihal
hartanya jika ada yang merampas. Nabi menasihatinya untuk melawan dengan
sekuat tenaga menjaga hartanya supaya tidak berpindah tangan.
“Bagaimana jika ia berhasil membunuhku?” tanya sahabat itu. Nabi
menjawab: “Engkau mati syahid (fa anta syahidun)” (HR. Muslim).
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Al-Bukhari dan Imam Muslim dijelaskan bahwa orang yang mati sahid tidak
dibatasi hanya mereka yang mati karena berperang secara fisik melawan
musuh Allah. Pada suatu hari, Rasululullah SAW pernah bertanya kepada
para sahabat tentang makna mati syahid. Para sahabat menjawab, seseorang
yang gugur di jalan Allah (fi sabilillah).
Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Kalau begitu sungguh sedikit dari umatku
yang mati sahid.” “Lantas siapa saja wahai Rasulullah?” tanya sahabat
lagi. Beliau bersabda: “Orang yang mati karena terserang penyakit kolera
(al-mat’unu), sakit perut (al-mabthunu), orang yang tenggelam atau karam (al-ghoriqo), ditimpa tanah longsor (shohibul hadmi), dan berperang di jalan Allah (al-syahidu fi sabilillah) (HR. Bukhari-Muslim).
Ternyata, kesyahidan tidak sesempit yang
dipahami banyak umat Muslim saat ini. Menjadi seorang yang syahid,
apalagi dalam konteks masa kini, tidak menuntut setiap Muslim untuk
mengangkat senjata membunuh nyawa-nyawa orang lain. Islam tidak
menganjurkan umatnya mengejar kesyahidan dengan melakukan aktivitas
kekerasan terhadap umat lain, terlebih lagi Islam tidak sedikit pun
mengajarkan paham terorisme kepada umatnya. Sebaliknya, mengenai
terorisme, Islam sangat mengutuk tindakan jahat yang berupa kekerasan
tidak manusiawi yang dibungkus atau diklaim ajaran jihad tersebut. Tidak
pernah sedikit pun tersirat dalam sumber-sumber ajaran Islam, baik
Alquran, hadis, ijtihad ulama, ijma ulama, maupun sumber lainnya yang
menyatakan bahwa terorisme adalah terkategorikan ajaran jihad. Terorisme
adalah aksi brutal yang melawan kodrat kemanusiaan dan musuh semua
agama. Selain itu, terorisme tidak bisa disebut atau dipersamakan dengan
jihad dalam arti perang atau jihad dalam arti amalan lainnya. Semua
agama menutuk aksi terorisme, apalagi Islam.
Penafsiran ayat-ayat jihad yang
menghasilkan doktrin perang melawan umat beragama lain yang saat ini
meracuni sebagian orang yang tersesat memahami Islam harus
direkonstruksi dan diperbaiki. Pasalnya, penafsiran model itu
mengabaikan perbedaan konteks sosial antara masa lalu dan masa kini.
Semestinya, penafsiran yang dilakukan harus konsisten yaitu tanpa
menghilangkan elemen vital atau semangat moral dari makna jihad fi sabilillah. Hal itu guna menghindari pembajakan segelintir orang yang merusak makna jihad yang suci.
Rizwan Khan adalah tokoh fiktif dalam film My name is Khan.
Tetapi, ia mewakili umat Islam di dunia. Akibat terorisme, umat Islam
dan dunia sangat dirugikan. Dalam berbagai kesempatan ia mencoba untuk
meyakinkan orang lain dan seluruh dunia bahwa meskipun dia memeluk agama
Islam, sementara para pelaku terorisme juga mengaku memeluk agama yang
sama dengannya, dia sama sekali bukan teroris, dia sama sekali tidak
mempunyai pikiran untuk menyakiti umat agama lain. Umat Islam di belahan
dunia mana pun, termasuk di negeri kita tercinta, Indonesia, semestinya
mengambil hikmah dari kisah inspiratif Khan ini. Bersama Khan mari kita
perangi terorisme! Bersama Khan pula mari kita tunjukkan bahwa
simbol-simbol keagamaan seperti jenggot, peci, jilbab, dan nama-nama
yang beraroma Islami tidak ada hubungannya sama sekali dengan terorisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar