Selamat Datang

Senin, 05 Desember 2011

Menyiapkan Pendidikan Anti Terorisme

Pasca tragedi Bom Bali I, Indonesia menjadi pusat perhatian dunia. Label terorisme secara serta merta distigmakan kepada Indonesia , yang merupakan Negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Belakangan diketahui bahwa motif pengeboman adalah jihad melawan orang-orang kafir Amerika dan Australia .

Seakan mengamini apa yang pernah ditesiskan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya clash of civilization( benturan antar perdaban), bahwa pasca perang dingin antara Kapitalisme versus Sosialisme, konflik tidak lagi terjadi antar Negara, ideology, kepentingan, ekonomi dan politik. Namun konflik yang akan terjadi jauh lebih besar lingkupnya, yakni konflik antar peradaban. Secara tegas, Huntington menghadap-hadapkan antara 3 peradaban besar yang ada di dunia, yaitu peradaban Islam dan konfusianisme melawan peradban Barat WSAP (White Anglo Saxon Protestan). Dan fenomena terorisme yang akhir-akhir ini marak terjadi, ditengarai merupakan bagian dari benturan peradaban tersebut.

Terlepas dari kebenaran tesis Huntington tersebut, yang jelas terorisme yang dilakukan oleh sekolompok orang dengan dalih agama, tidak bisa dibenarkan. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kedamaian dan anti kekerasan. Tujuan diturunkannya Islam ke dunia ini, tidak lain adalah untuk misi perdamaian semesta alam (Q.S. al-anbiya’:107). Dan secara historis, interaksi sosial ummat Islam di bumi Nusantara ini sudah terjalin selama berabad-abad lamanya. Itu artinya bangsa Indonesia adalah bangsa multicultural, yang senantiasa hidup bersama dengan damai.

Terorisme dalam pespektif agama apapun tidak bisa dibenakan. Karena hakekat agama pada dasarnya adalah membimbing ummatnya menuju kedamaian. Kekerasan dan terorisme adalah musuh agama yang harus diperangi. Terorisme adalah manifestasi dari penistaan ajaran agama.

Dari sini, terorisme dan semua jenis kekerasan harus dijauhi dan dihindari. Generasi muda masa depan harus dipahamkan dengan bahaya-bahaya terorisme yang merusak tatanan kedamaian. Pendidikan merupakan upaya yang dirasa efektif untuk membekali generasi muda tersebut, sehingga mampu menghindarkan diri mereka dari perilaku terorisme. Melalui pendidikan, generasi muda disadarkan akan pentingnya semangat kebersamaan dan kedamaan. Kekerasan dalam bentuk apapun dan dengan dalih apapun harus dihindari dan diberantas. Sikap terorisme adalah musuh bersama ummat beragama dan masyarakat berbangsa.

Membangun Sikap Toleransi

Terorisme dengan kedok agama adalah bentuk dari pemahaman keagamaan yang picik dan dangkal. Menganggap orang lain sesat dan salah adalah sikap egois yang tidak berdasar. Agama pada dasarnya mengajarkan pada kebaikan dan membimbing umatnya menuju keselamatan. Dari sini, sangat tidak beralasan jika agama merintahkan ummatnya untuk saling menyerang ummat agama lain, apalagi jika sampai pada penghilangan nyawa manusia.

Sikap toreransi dalam hal ini menjadi prasyarat terwujudnya kedamaian antar umat manusia. Jika semua agama mengajarkan pada nilai kebaikan, maka kita harus menghargai penganut agama tersebut. Prilaku menyimpang yang dilakukan oleh ummat beragama bukan kemudian melegalkan tindakan kita untuk membenarkan secara paksa. Karena selain kebenaran itu bersifat rekatif, kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi hukum. Tindakan semena-mena dan main hakim sendiri dalam hal ini tidak bisa dibenarkan secara hukum.

Terorisme hanya akan menambah masalah, bukan menjadi solusi atas masalah tersebut. Perilaku terorisme oleh sekelompok orang adalah bukti kepongahan dan keegoan sepihak. Mereka tidak lain adalah orang-orang yang hanya akan membawa kehancuran bagi ummat manusia. Dan sampai derajat tertentu, mereka inilah sebenarnya yang merupakan musuh Islam, bukan pembela Islam.


Kurikulum Anti Terorisme

Mata pelajaran moral dan kewarganegaran yang ada, selama ini lebih bersifat normatif dan teoritis. Di dalamnya hanya mengisyaratkan nilai-nilai ideal yang jauh dari realitas sosial empiris. Sehingga kaitannya dengan hal ini, perlu disegarkan kembali, dalam rangka mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang bermoral tinggi, dan warga Negara yang beradab. Penyegaran tersebut dapat diartikan dengan memasukkan sebuah format mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan riil yang ada. Kaitannya dengan realitas terorisme dan dalam rangka mengantisipasinya, maka kurikulum anti terorisme dalam hal ini perlu mejadi wahana penyegaran tersebut. Artinya, kurikulum yang berorientasi anti terorisme dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Penerapan tersebut, dalam hal ini bisa dengan memasukkan dalam silabi mata pelajaran moral dan kewargaan. Atau jika memang diperlukan, bisa dijadikan mata pelajaran tersendiri yang integral. Sehingga peserta didik dalam hal ini mendapatkan bekal yang cukup dalam konteks pribadi yang anti terhadap terorisme dalam bentuk apapun.

Gagasan ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang melangit, mengingat pola Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang meniscayakan KTSP sebagai model kurikulumnya. Sehingga pendidikan anti terorisme dalam hal ini bisa dimasukkan dalam muatan lokal, disesuaikan dengan kubutuhan sekolah. Ke depan, masa depan bangsa berada di tangan generasa muda saat ini. Corak sikap dan perilaku para manusia masa depan, dibangun saat ini melalui pendidikan. Dengan memasukkan pendidikan anti terorisme ke dalam pendidikan mereka, diharapkan mampu membekali mereka dengan sikap toleransi, yang menolak keras segala bentuk terorisme. Hingga pada akhirnya, kita akan menjadi bangsa yang cinta damai, mampu hidup bersama dalam keragaman dengan kedamaian dan anti kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar