Selamat Datang

Rabu, 26 September 2012

Perdamaian dan Islam

“Dan Kami (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta” -Alquran, QS. Al-Anbiya’, 21:107-


Islam diturunkan sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, yakni menebarkan rahmat dan perdamaian bagi alam semesta. Ide dasar perdamaian ini merupakan satu di antara prinsip-prinsip utama ajaran Islam yang membingkai seluruh aspek dan sendi tatanannya, termasuk yang berkaitan dengan masalah akidah atau keyakinan.


Bertolak dari ide dasar tersebut Islam mengajarkan toleransi antar umat beragama sebagaimana sabda Nabi: ”Agama yang paling disukai Allah adalah yang lurus dan lapang (toleran)” [HR. Bukhari di al-Adab al-Mufrad, dan Ahmad].


Islam juga menolak segala bentuk pemaksaan terhadap pihak lain untuk mengimani keyakinan agama tertentu, termasuk Islam; apalagi sekedar menyakini penafsiran atau paham-paham tertentu yang sama-sama diambil rujukannya dari sumber agama yang sama. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah: “Tiada paksaan dalam (menganut) suatu agama” [QS. al-Baqarah, 2: 256].


Berbeda Itu Niscaya


Sikap Islam yang tegas melarang pemaksaan keyakinan ini didasarkan juga pada landasan dan fakta teologis bahwa perbedaan dan keragaman merupakan sunnah kauniyah atau keniscayaan penciptaan yang dikehendaki-Nya [QS. Hud, 11: 118-119]. Lebih jauh, dalam QS. Yunus, 10: 19 dijelaskan, pada mulanya umat manusia itu bersatu, tiada pertentangan di antara mereka, namun di kemudian hari mereka berselisih pandangan dan kepentingan hingga akhirnya menjadi umat yang berkelompok-kelompok dan saling bermusuhan.


Ini semua, sebagaimana dijelaskan dalam QS. an-Nahl, 16: 93, memang sudah dikehendaki terjadi oleh Allah untuk menguji siapa di antara umat manusia yang punya komitmen dan tanggungjawab dalam memegang teguh serta memperjuangkan kebenaran dan siapa di antara mereka yang tersesat atau menyimpang dari jalan kebenaran itu.


Di bagian ayat lain ditegaskan, jika saja Allah berkehendak niscaya Dia akan menjadikan umat manusia sebagai umat yang satu, akan tetapi justeru Dia berkehendak lain dengan menjadikan bagi masing-masing kelompok suatu sistem keyakinan dan tatanan yang dianut. Inipun dimaksudkan sebagai ujian bagi umat manusia sekaligus sebagai motivasi teologis agar mereka saling berlomba mempersembahkan yang terbaik [QS. al-Maidah, 5: 48].


Selain itu, dilihat dari perspektif teologis yang lebih mendalam, adanya perbedaan dan keragaman ini sejatinya merupakan fakta penciptaan yang pada gilirannya menjadi bukti keesaan Allah; bahwa hanya Dia-lah yang Maha Esa, Tunggal dan Satu —di mana semua ciptaan-Nya adalah bersifat beragam dan plural. Oleh karena itu, menerima keberagaman sebagai keniscayaan dengan diikuti penyikapan yang arif dan positif merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem aplikasi konsep tauhid.


Islam Anti Kekerasan


Oleh karena itu, Islam tidak membenarkan sama sekali terjadinya tirani dan anarkisme atas nama agama. Allah berfirman: ”Kami maha mengetahui apa yang mereka (musuh-musuh Islam) pergunjingkan (perolok-olok), sedangkan engkau (Muhammad) tidak (kami utus) sebagai tirani atas mereka, maka ingatkanlah dengan Alquran orang-orang yang takut akan ancaman-Ku” [QS. Qaaf, 50: 45].


Secara jelas alquran telah memetakan mana yang merupakan wilayah kerja dakwah yang menjadi tugas kaum muslimin yang harus dilakukan secara damai dan persuasif (bukan anarkis), juga wilayah hak penimpaan ”sanksi-teologis” (penghukuman dan penyiksaan) yang hanya menjadi hak prerogatif Tuhan.


Firman Allah: ”Maka, ingatkanlah. Karena sesungguhnya kamu (Muhammad) hanyalah sebagai pengingat. Kamu bukanlah sebagai tirani. Kecuali mereka yang berpaling dan kafir, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang mahabesar. Sesungguhnya kepada Kami-lah mereka kembali. Dan sesungguhnya kepada Kami pula pertanggungjawaban mereka” [QS. al-Ghasyiah, 88: 21-26].


Pada tataran operasional, Islam juga melarang tindakan menghancurkan dan merusak tempat-tempat ibadah umat non-muslim. Allah berfirman: ”Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian orang atas sebagian yang lain (tidak mendorong kerja sama antar manusia), niscaya rubuhlah biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah” [QS. al-Hajj, 22: 40].


Lebih jauh lagi Islam juga melarang perbuatan ”teror intelektual” kepada pihak lain yang tidak sepaham atau sekeyakinan selama mereka tidak mengusik atau mengganggu kita dengan teror yang sama. Dalam QS. al-An’am, 6: 108 Allah berfirman, ”Janganlah kamu mencerca (mengolok-olok) mereka yang tidak menyembah Allah (penganut agama lain)”.


Kekerasan Demi Perdamaian


Memang, di dalam Islam terdapat ajaran untuk berperang, akan tetapi hal itu pun adalah untuk membela diri saat diserang musuh, serta demi muwujudkan perdamaian itu sendiri secara berimbang, yaitu agar tidak ada pihak lain yang berbuat tirani kepada umat Islam sebagaimana Islam tidak memperbolehkan umatnya berbuat tirani kepada pihak lain.


Tentang perintah berperang sebagai upaya membela diri tersebut, Allah berfirman: ”Dan perangilah demi menegakkan jalan Allah mereka yang memerangi kamu, dan janganlah kamu berbuat melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat melampaui batas” [QS. al-Baqarah, 2: 190].
Karena itu, lebih lanjut Alquran mengajarkan apabila pihak musuh telah kalah atau setuju untuk berdamai maka kita diwajibkan memilih jalan damai. Allah berfirman: ”Kalau mereka cenderung kepada perdamaian, maka sambutlah kecenderungan itu, dan berserah dirilah kepada Allah” [QS. al-Anfal, 8: 61].


Arif Sikapi Perbedaan


Sebagai solusi Alquran mengajarkan dua cara untuk menghadapi kelompok lain yang dianggap salah dan tidak sekeyakinan dengan kita, yaitu dengan melakukan dialog dan penyikapan yang arif (pendekatan persuasif). Allah berfirman: ”Ajaklah ke jalan Allah dengan hikmah (perilaku, sikap dan tindakan bijaksana), nasehat yang baik, dan berdialoglah dengan mereka dengan sebaik-baiknya dialog” [QS. al-Nahl, 16: 125].


Bahkan, secara teknis alquran telah mengajarkan prinsip dialog lintas agama/keyakinan yang mesti dilandasi dengan semangat saling menghargai, penuh keterbukaan, dilakukan dengan kepala dingin dan jauh dari aksi klaim kebenaran secara sepihak. Allah berfirman: ”Katakanlah: Siapa yang memberi kamu rezeki dari langit dan bumi? Maka, katakanlah: Allah (yang memberi rezeki). Dan sesungguhnya kami ataukah kamu yang berada dalam hidayah atau (sebaliknya) berada dalam kesesatan yang nyata?” [QS. Saba’, 34: 24].


Semua ini menuntun kita, sebagai umat pembawa rahmat, untuk senantiasa memilih cara-cara damai yang menyejukkan dalam menyikapi pertentangan-pertentangan paham yang terjadi dewasa ini. Cara-cara yang anarkis dan merusak harus kita hindarkan. Sebab, lazimnya kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan lain yang ujungnya akan berakibat pada munculnya kerusakan yang lebih besar lagi. Dalam sebuah adigum fikih disebutkan, ”suatu kemunkaran tidak boleh diubah dengan cara yang bisa menimbulkan kemunkaran yang lebih besar lagi”.**

Rabu, 19 September 2012

SAY NO!!! To Terrorism

Film My name is Khan karya Karan Johar yang dibintangi artis papan atas India,  Shahrukh Khan (Rizwan Khan) dan Kajol (Mandira Khan), mengangkat tema kehidupan seorang Muslim yang tinggal di Amerika pasca-runtuhnya menara kembar WTC pada 9 September 2001. Setidaknya ada tiga hal yang diangkat dalam film ini. Pertama, perang melawan terorisme atas nama jihad. Kedua, dampak terorisme bagi kaum Muslim. Ketiga, upaya melawan stigma negatif Islam di mata Barat.


Dalam film ini, diceritakan getirnya kehidupan sang tokoh utama, seorang Muslim yang merantau di negara Barat, yang tak pernah ia alami sebelumnya di negara asalnya. Segala cacian, hinaan, diskriminasi dan stigma buruk sebagai teroris dilemparkan kepadanya. Muslim yang berpeci, Muslimah yang berjilbab, orang dengan nama atau nama keluarga yang berbau Islam, serta hal-hal yang menyimbolkan Islam lainnya dicurigai dan dijadikan sasaran penghujatan. Untuk bisa hidup wajar dan dapat berinteraksi dengan warga lain, dengan segenap keterpaksaan mereka harus menyembunyikan identitas keagamaannya.


Pesan yang ingin disampaikan film tersebut adalah bahwa Islam tidaklah mengajarkan terorisme dan terorisme bukanlah jihad. Film yang dibintangi Shahrukh Khan ini menggambarkan realitas sesungguhnya umat Islam di dunia Barat yang terpukul atas sejumlah aksi terorisme oleh segelintir kelompok berpaham radikal yang mengklaim sebagai representasi Islam serta menyelewengkan makna jihad. Aksi terorisme yang membajak agama jelas bukanlah termasuk ajaran jihad yang dianjurkan Islam, sebab karakteristiknya sangat bertentangan dengan prinsip kemanusiaan.


Meluruskan Makna Jihad


Dari segi bahasa, jihad memiliki akar kata dari kata kerja jahada, yang artinya berusaha, berupaya atau bersungguh-sungguh. Dari akar kata ini, terbentuk beberapa istilah populer dalam Islam, yakni jihad, ijtihad, dan mujahadah.


Rumusan makna jihad tergambar dalam paparan kitab I’natu Thalibin: Syarah Fathul Muin karya Al-Imam Abu Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyati. Menurut beliau, bentuk jihad itu ada empat macam. Pertama, menegaskan eksistensi Allah SWT (itsbatu wujudillah). Kedua, menegakkan syariat atau agama Allah (iqamatu syari’atillah). Ketiga, berperang di jalan Allah (qital fi sabilillah). Keempat, mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang harus ditanggung (oleh pemerintah) baik itu yang Muslim maupun kafir dzimmi (daf’u dlararil ma’shumin, Musliman kana au dzimmiyyan).


Kata jihad berkali-kali disebut dalam Alquran, baik yang berupa ajakan untuk berjihad, pujian dan keutamaannya, kedudukan orang yang berjihad, serta celaan bagi yang enggan untuk berjihad. Berperang di jalan Allah merupakan amalan terpuji dan pelakunya dijanjikan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya: “Dan janganlah kamu mengatakan orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak mengetahui (hakikat)-nya” (QS. Al-Baqarah: 154). Begitu terpujinya amalan jihad sehingga orang yang mati dalam peperangan (syahid) tidak wajib dimandikan, tetapi cukup dikuburkan dengan pakainnya yang berlumuran darah.


Meskipun demikian, ada yang perlu diperhatikan dalam masalah jihad, yaitu sejumlah syarat yang digariskan oleh agama bagi diperbolehkannya berperang. Syarat yang dimaksud tidak lain yaitu bila suatu negara diserang oleh musuh dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama. Jika hal itu terjadi, maka dibenarkan untuk berperang atau melawan dengan aturan dan rambu yang telah ditetapkan agama. Selama syarat yang menyebabkan hukum perang berlaku tidak memenuhi, maka wajib hukumnya bagi seluruh umat untuk memakmurkan negara berdasarkan syariat Allah SWT. Sedangkan berbuat kerusakan apapun situasinya selalu diharamkan.


Dalam berperang juga ada etika yang tidak boleh diabaikan. Etika tersebut ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam salah satu riwayat hadisnya yang pada intinya melarang peserta perang untuk tidak melakukan tiga hal. Tiga hal yang dimaksud adalah tidak membunuh anak-anak dan perempuan, tidak merusak tanaman dan satwa, dan tidak menghancurkan rumah-rumah ibadah musuh.


Sejak masa Nabi hingga era modern sekarang ini, berperang di jalan Allah adalah wewenang dan seruan negara, bukan individu atau kelompok tertentu. Negara berkewajiban melindungi rakyatnya dari serangan musuh dengan kekuatan angkatan bersenjata yang dimilikinya. Jika individu atau kelompok tertentu diberi kewenangan untuk memproklamirkan jihad, maka yang terjadi adalah perang sesama umat manusia.


Jihad Tidak Identik dengan Perang


Dalam berbagai riwayat hadis, sering ditemukan makna jihad yang tidak diartikan dengan berperang mengangkat senjata melawan musuh. Jihad yang dimaksud dalam hadis-hadis tersebut lebih cenderung bermakna amal saleh yang dilakukan berdasarkan kesungguhan dan tidak bertujuan lain kecuali ridha Allah SWT untuk mengalahkan dorongan nafsu yang selalu menggiring manusia ke jurang keburukan. Wujud nyata jihad dalam arti non-perang ini di antaranya perbuatan berbakti kepada orang tua, menuntut ilmu dan mempertahankan harta.


Dalam sebuah riwayat hadis, dikisahkan seorang sahabat muda pernah menghadap Rasulullah SAW untuk meminta izin ikut berjihad, tetapi Rasulullah SAW melarangnya dan menyuruhnya pulang karena orangtuanya masih hidup dan sahabat muda tersebut lebih layak untuk merawat orangtuanya daripada pergi berperang. Sabda Rasulullah SAW: “Berjihadlah pada keduanya (fafihima fajahid)” (HR. Bukhari dan Muslim).


Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa sahabat Abdullah bin Mas’ud RA berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Amalan apakah yang paling dicintai Allah SWT?” Beliau menjawab: “Shalat.” Kemudian saya bertanya lagi: “Apa lagi setelah itu?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Apa lagi setelah itu?” Beliau menjawab: “Jihad.” (HR.Muslim).


Menuntut ilmu juga disebut amalan jihad. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam hadisnya. Beliau bersabda: “Barangsiapa keluar (meninggalkan rumah) untuk menuntut ilmu, maka ia dianggap sebagai orang yang berjihad di jalan Allah hingga ia kembali” (HR. Tirmidzi).


Amalan jihad juga terwujud dalam aktivitas kita menjaga diri serta mempertahankan apa yang kita miliki. Seorang sahabat mendatangi Rasulullah SAW dan menanyakan perihal hartanya jika ada yang merampas. Nabi menasihatinya untuk melawan dengan sekuat tenaga menjaga hartanya supaya tidak berpindah tangan. “Bagaimana jika ia berhasil membunuhku?” tanya sahabat itu. Nabi menjawab: “Engkau mati syahid (fa anta syahidun)” (HR. Muslim).


Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dijelaskan bahwa orang yang mati sahid tidak dibatasi hanya mereka yang mati karena berperang secara fisik melawan musuh Allah. Pada suatu hari, Rasululullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat tentang makna mati syahid. Para sahabat menjawab, seseorang yang gugur di jalan Allah (fi sabilillah). Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Kalau begitu sungguh sedikit dari umatku yang mati sahid.” “Lantas siapa saja wahai Rasulullah?” tanya sahabat lagi. Beliau bersabda: “Orang yang mati karena terserang penyakit kolera (al-mat’unu), sakit perut (al-mabthunu), orang yang tenggelam atau karam (al-ghoriqo), ditimpa tanah longsor (shohibul hadmi), dan berperang di jalan Allah (al-syahidu fi sabilillah) (HR. Bukhari-Muslim).


Ternyata, kesyahidan tidak sesempit yang dipahami banyak umat Muslim saat ini. Menjadi seorang yang syahid, apalagi dalam konteks masa kini, tidak menuntut setiap Muslim untuk mengangkat senjata membunuh nyawa-nyawa orang lain. Islam tidak menganjurkan umatnya mengejar kesyahidan dengan melakukan aktivitas kekerasan terhadap umat lain, terlebih lagi Islam tidak sedikit pun mengajarkan paham terorisme kepada umatnya. Sebaliknya, mengenai terorisme, Islam sangat mengutuk tindakan jahat yang berupa kekerasan tidak manusiawi yang dibungkus atau diklaim ajaran jihad tersebut. Tidak pernah sedikit pun tersirat dalam sumber-sumber ajaran Islam, baik Alquran, hadis, ijtihad ulama, ijma ulama, maupun sumber lainnya yang menyatakan bahwa terorisme adalah terkategorikan ajaran jihad. Terorisme adalah aksi brutal yang melawan kodrat kemanusiaan dan musuh semua agama. Selain itu, terorisme tidak bisa disebut atau dipersamakan dengan jihad dalam arti perang atau jihad dalam arti amalan lainnya. Semua agama menutuk aksi terorisme, apalagi Islam.


Penafsiran ayat-ayat jihad yang menghasilkan doktrin perang melawan umat beragama lain yang saat ini meracuni sebagian orang yang tersesat memahami Islam harus direkonstruksi dan diperbaiki. Pasalnya, penafsiran model itu mengabaikan perbedaan konteks sosial antara masa lalu dan masa kini. Semestinya, penafsiran yang dilakukan harus konsisten yaitu tanpa menghilangkan elemen vital atau semangat moral dari makna jihad fi sabilillah. Hal itu guna menghindari pembajakan segelintir orang yang merusak makna jihad yang suci.


Rizwan Khan adalah tokoh fiktif dalam film My name is Khan. Tetapi, ia mewakili umat Islam di dunia. Akibat terorisme, umat Islam dan dunia sangat dirugikan. Dalam berbagai kesempatan ia mencoba untuk meyakinkan orang lain dan seluruh dunia bahwa meskipun dia memeluk agama Islam, sementara para pelaku terorisme juga mengaku memeluk agama yang sama dengannya, dia sama sekali bukan teroris, dia sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk menyakiti umat agama lain. Umat Islam di belahan dunia mana pun, termasuk di negeri kita tercinta, Indonesia, semestinya mengambil hikmah dari kisah inspiratif Khan ini. Bersama Khan mari kita perangi terorisme! Bersama Khan pula mari kita tunjukkan bahwa simbol-simbol keagamaan seperti jenggot, peci, jilbab, dan nama-nama yang beraroma Islami tidak ada hubungannya sama sekali dengan terorisme.

Rabu, 12 September 2012

Perdamaian dalam Perspektif Islam

Manusia yang telah “dianugrahi” aqal dan nafsu dipercaya oleh Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya dengan misi menjaga bumi dari kerusakan. Tentu untuk menjadi balance antara ke dua kekuatan yang dimiliki manusia tersebut Agama adalah jawabannya. Oleh karennya Allah mengutus rasul-rasul-Nya guna menyebarkan ajaran-ajaran yang dapat menjadi pelita manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Islam merupakan penyempurna dari ajaran-ajaran sebelumnya. Dan ia adalah agama samawi terakhir yang dibawa oleh rasul terakhir dan untuk umat terakhir yang hidup di zaman akhir. Dengan berpedoman pada Al- Qur’an dan Assunnah maka Islam mempu menjawab tantangan zaman semenjak kemunculannya, zaman ini hingga yang akan datang.[1]

Islam muncul untuk menjadi “penyelamat” dunia sebagai Rahmatan Lil Alamien oleh karenanya setiap ajaran Islam memiliki nilai kebenaran yang tidak diragukan lagi. Ia berusaha menciptakan perdamaian di bumi sehingga umat manusia dan seluruh makhluk Allah dapat hidup sejahtera.

Islam dengan pengertian epistimologi memiliki makna penyerahan diri, pasrah, patuh dan tunduk kepada kehendak Allah, ia adalah agama yang membawa kemaslahatan bagi pemeluknya baik di dunia maupun di akherat. Merupakan suatu kenikmatan besar dapat menjadi Muslim yang kafah. Firmannya : Barang siapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.[2]

Dalam ajaran Islam bahwa perdamaian merupakan kunci pokok menjalin hubungan antar umat manusia, sedangkan perang dan pertikaian adalah sumber mala petaka yang berdampak pada kerusakan sosial. Agama mulia ini sangat memperhatikan keselamatan dan perdamaian, juga menyeru kepada umat manusia agar selalu hidup rukun dan damai dengan tidak mengikuti hawa nafsu dan godaan Syaitan, firman Allah : Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu. [3]


Paling tidak ada beberapa ajaran Islam yang berorientasi kepada pembentukan perdamaian di tengah umat manusia, sehingga mereka dapat hidup sejahtera dan harmonis, diantaranya :
  1. Larangan Melakukan Kedzaliman.
Islam sebagai agama yang membawa misi perdamaian dengan tegas mengharamkan kepada umat manusia melakukan kedzaliman, kapan dan di mana saja. Firman Allah : Dan barangsiapa di antara kamu yang berbuat zalim, niscaya Kami rasakan kepadanya azab yang besar.[4] (QS. 25:19) Di samping itu rasulullah bersabda : “Wahai umatku sesungguhnya telah aku haramkan bagi diriku perbuatan dzalim dan aku juga mengharamkannya diantara kalian maka janganlah berbuat dzalim”[5]


Kedzaliman adalah sumber petaka yang dapat merusak stabilitas perdamaian dunia. Penindasan, penyiksaan, pengerusakan, pengusiran, imperialisme modern yang kerap terjadi pada negara-negara Muslim saat ini membuahkan reaksi global melawan tindakan bejat itu dengan berbagai macam cara, hingga perdamaian semakin sulit terwujud. Maka selayaknya setiap insan sadar bahwa kedzaliman adalah biang kemunduran. Dengan demikian jika menghendaki kehidupan yang damai maka tindakan kedzaliman harus dijauhi.
  1. Adanya Persamaan Derajat
Persamaan derajat di antara manusia merupakan salah satu hal yang ditekankan dalam Islam. Tidak ada perbedaan antara satu gologan dengan golongan lain, semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kaya, miskin, pejabat, pegawai, perbedaan kulit, etnis dan bahasa bukanlah alasan untuk mengistimewakan kelompok atas kelompok lainnya. Allah berfirman : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal[6] Raulullah bersabda : Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk kalian ataupun kepada harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian”[7] Jadi yang membedakan derajat seseorang atas yang lainnya hanyalah ketakwaan. Yang paling bertakwa dialah yang paling mulia.

Dengan adanya persamaan derajat itu, maka semakin meminimalisir timbulnya benih-benih kebencian dan permusuhan di antara manusia, sehingga semuanya dapat hidup rukun dan damai.
  1. Menjunjung Tinggi Keadilan
Islam sangat menekankan perdamaian dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat, keadilan harus diterapkan bagi siapa saja walau dengan musuh sekalipun. Karena dengan ditegakkannya keadilan, maka tidak ada seorang pun yang merasa dikecewakan dan didiskriminasikan sehingga dapat meredam rasa permusuhan, dengan demikian konflik tidak akan terjadi.

Allah berfirman dalam Al- Qur’an : Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [8] Ayat ini adalah indikasi kuat bahwa risalah nabi Muhammad Saw sangat mulia karena ajarannya itu dapat menyelamatkan manusia dari kebinasaan yang disebabkan oleh hawa nafsu dan bisikan syetan.
  1. Memberikan Kebebasan
Islam menjunjung tinggi kebebasan, terbukti dengan tidak adanya paksaan bagi siapa saja dalam beragama, setiap orang bebas menentukan pilihannya. Firman-Nya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah.[9] Dalam ayat lain Allah berfirman : Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya [10]

Dengan adanya kebebasaan itu maka setiap orang puas untuk menentukan pilihannya, tidak ada yang merasa terkekang hingga berujung pada munculnya kebencian. Dengan kebebasan ini, jalan menuju kehidupan damai semakin terbuka lebar.
  1. Menyeru Hidup Rukun dan Saling Tolong Menolong.
Islam juga menyeru kepada umat manusia untuk hidup rukun saling tolong menolong dalam melakukan perbuatan mulia dan mengajak mereka untuk saling bahu membahu menumpas kedzaliman di muka bumi ini, dengan harapan kehidupan yang damai dan sejahtera dapat terwujud. Allah berfirman : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. [11]
  1. Menganjurkan Toleransi
Islam menganjurkan kepada umatnya saling toleransi atas segala perbedaan yang ada, dalam rangka mencegah terjadinya pertikaian yang dapat merugikan semua pihak. Dalam firman-Nya : Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. [12]
  1. Meningkatkan Solidaritas Sosial.
Solidaritas sosial juga ditekankan oleh agama mulia ini untuk ditanamkan kepada setiap individu dalam masyarakat, agar dapat memposisikan manusia pada tempatnya serta dapat mengentaskan kefakiran, kebodohan dan kehidupan yang tidak menentu. Maka Islam mewajibkan kepada orang yang mampu untuk menyisihkan hartanya guna diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Allah berfirman : Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)[13] Dalam surat lain Allah berfirman : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketemtraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[14]

Maha Suci Allah yang telah mewajibkan zakat bagi hambanya yang mampu guna meringankan beban orang-orang miskin. Firman-Nya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu’allaf yang dibujuk hatinya untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Biajaksana.[15] Dengan adanya kewajiban membayar zakat tersebut, maka menunjukkan bahwa ajaran Islam membentuk kehidupan sejahtera bagi masyarakat. Dengan adanya kehidupan sejahtera itu mencerminkan bahwa perdamaian sudah terwujud.


Aksi terorisme yang kerap terjadi di belahan dunia telah menciptakan ketakutan yang menghantui setiap orang, semuanya hidup dalam kecemasan, saling mencurigai bahkan menuduh dan menuding atas aksi tersebut. Islam sebagai agama cinta kasih yang menjunjung tinggi perdamaian sangat mengutuk aksi terorisme itu. Oleh karenanya sangat naïf sekali jika Islam “didakwa” sebagai sumber tindakan biadab tersebut yang telah banyak menelan korban jiwa. Perlu diingat bahwa perdamaian adalah suatu anugerah yang harus dipertahankan oleh setiap muslim, Rasulullah bersabda : Sesengguhnya Allah menjadikan perdamaian sebagai tanda penghormatan bagi umat kami dan keamanan bagi ahli Dzimmah kami.[16]

Kutipan

[1] lihat Muhammad Abdulbasir Khadiri, Muqaddimah fi An Nudzum Al Islamiyah, 2003, hlm. 91
[2] QS âli-‘Imrân [3]: 85
[3] Al-Baqarah [2]: 208
[4] Al-Furqân [25]: 19
[5] Diriwayatkan oleh Ahmad Fî Al Musnad: Jilid 5 hal 190
[6] Al-Hujurât [49]: 13
[7] Musnad Imâm Ahmad Jilid 2 hal 285 dan 539
[8] Al-Mâidah [5]: 8
[9] QS Al-Baqarah [2]: 256
[10] QS Yûnus [10]: 99
[11] Al-Mâidah [5]: 2
[12] QS Fushshilat [41]: 34-35
[13] QS Al-Ma’ârij [70]: 24-25
[14] QS Al-Taubah [9]: 103
[15] QS Al-Taubah [9]: 60
[16] Lihat Fiqih Sunnah Jilid 3 hal 340

Selasa, 04 September 2012

Rasa Aman Untuk Seluruh Umat

Rasa aman adalah dambaan semua orang. Dalam Islam, keamanan bukan cuma untuk kaum Muslimin, tapi bagi seluruh warga negara yang hidup di bawah naungan Islam meskipun ia nonMuslim. Wuih, keren banget ya?
Tetapi, kalo ngeliat kondisi sekarang, beeeuhhh rasa aman kian mahal aja. Beberapa waktu saya pernah datang ke sebuah sekolah. Ketika saya hendak menemui seorang guru dalam rangka ikut mendistribusikan edisi cetak buletin gaulislam, beliau sedang menerima tamu dua orang pria berambut cepak, berbadan tegap, dan dilihat dari rambut serta warna kulitnya saya menduga kedua orang itu berasal dari wilayah Indonesia bagian timur. Sambil menunggu saya sempat ngobrol dengan guru lain sebentar. Setelah itu, baru deh ngobrol dengan guru yang barusan nerima tamu. Tanpa diminta, beliau malah cerita bahwa kedua orang tadi menawarkan jasa keamanan buat sekolah namun ditolak. Ckckck.. kalo gitu ngapain ada aparat keamanan kalo tugas keamanan malah direcoki juga sama ‘preman’—yang tentu saja bayaran.


Bro en Sis rahimakumullah, siapa sih yang nggak pengen aman dalam hidupnya? Semua orang pasti mendambakan ketenangan, keamanan, dan kenyamanan dalam hidup. Berapa banyak rumah dibuat, lengkap dengan sistem keamanan antimaling, alarm dipasang di mana-mana. Masih nggak puas, ada satpam ‘ngejogrok’ di dekat pintu gerbang. Kalo di jalan, kita pun seneng banget kalo nggak ada yang malak or ngompas. Pernah lho, temen saya pas jalan di sebuah kawasan di Padang, ditodong dua orang preman. Karena teman saya memilih menyelamatkan nyawanya, akhirnya ia menyerahkan (sambil gondok tentunya), dompet beserta isinya berupa sejumlah duit dan kartu ATM. Duh, kasihan banget kan?
Kamu juga kayaknya dulu pernah denger deh kalo lagi jalan di Jakarta, terus berhenti di lampu merah, maka bagi kamu yang udah dapetin info tentang komplotan Kapak Merah, langsung ketar-ketir, khawatir kalo sampe jadi korban mereka. Kalo punya ponsel juga nggak bisa sembarangan menggunakan, bisa-bisa tuh ponsel melayang. Seorang teman punya cerita, ia melihat ada orang yang lagi nelpon pake ponsel di halte sebuah kawasan di Jakarta. Nggak lama, ada orang yang langsung ngerebut tuh ponsel, lalu diikuti beberapa orang yang langsung cabut naik bis kota. Aduh, nggak aman banget kan? Sori lho buat yang berasal dari Jakarta. Ini sekadar contoh aja.

Sebab di Padang pun ada, bahkan sekarang ini lagi marak-maraknya terutama Jambret. Jangankan orang biasa, keluarga aparat, istri pengacara, istri wartawan bahkan sampai turis bule pun sempat menjadi korban keganasan jambret ini.


Sobat, itu sebabnya, kita kepengen banget dalam hidup tuh aman, baik di lingkungan tempat tinggal kita, maupun pas di jalan dalam perjalanan. Nah, Islam juga punya solusinya nih. Diatur juga gitu, lho. Ini sebagai bukti bahwa Islam memelihara rasa aman bagi warga negaranya.

 
Para perampok, waspadalah!


Hehehe.. bukan nantangin lho. Tetapi mau ngingetin. So, buat para perampok alias pembegal akan dihukum dalam Islam. Kedua istilah ini bermakna sama setidaknya kalo dilihat dalam kamus. Merampok artinya mencuri dengan paksa (biasanya dilakukan lebih dari satu orang); juga berarti merampas dengan kekerasan. Membegal bermakna merampas (barang orang lain) di jalan (silakan buka deh Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, cetakan III, 2003, hlm. 926 dan halaman 121).


Untuk melindungi harta dari kejahatan seperti ini, Islam udah memberikan aturan dan sanksi yang tegas. Imam Syâfi’iy meriwayatkan dalam musnad-nya dari Ibnu Abbas tentang pembegal or perampok (qutha’ ath-thariq), “Jika mereka membunuh dan merampas harta benda, mereka akan dibunuh dan disalib, dan jika mereka membunuh tetapi tidak merampas harta benda, mereka dibunuh saja namun tidak disalib, jika mereka mengambil harta benda tepi tidak membunuh, tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang, dan jika mereka menteror di jalan dan tidak merampas harta benda, usirlah mereka.” (silakan baca tulisannya Abdurrahman al-Maliki, dalam buku Sistem Sanksi dalam Islam, hlm. 117)


Oya, kayaknya kamu perlu tahu deh bahwa ada tiga syarat berupa fakta yang menyebutkan sebuah kasus bisa disebut sebagai pembegalan atau perampokan. Pertama, terjadi di luar kota. Yakni di desa, gunung, dataran luas, tanah luas, dan lain-lain. Serta terjadi di dalam kereta api, pesawat terbang, dan mobil di luar kota. Nah, kalo terjadi di kota, itu nggak termasuk qutha’ ath-thariq, namun hanyalah perampas. Akan tetapi jika mereka menyerang kota, membunuh, merampas harta benda atau menteror di jalan pada saat penyerangan mereka terhadap kota, maka mereka dianggap sebagai qutha’ ath-thariq.


Kedua, mereka membawa persenjataan untuk membunuh; seperti pedang, senapan, senapan otomatis, golok, atau pisau yang bisa membunuh, atau alat-alat lain yang bisa dipakai untuk membunuh. Jika mereka tidak membawa senjata, atau bersenjata namun tidak mematikan secara langsung; seperti tongkat, cemeti, dan lain-lain, maka mereka tidak dianggap sebagai qutha’ ath-thariq.


Ketiga, mereka datang secara terang-terangan, mengambil harta benda dengan cara paksa, dan menetap di tempat-tempat mereka. Iya, soalnya kalo mereka mengambil harta benda dengan cara sembunyi-sembunyi mereka disebut pencuri. Kalo mereka merampas harta benda kemudian melarikan diri, mereka disebut perampas.


Oya, kalo para pembegal or perampok ini bertobat sebelum ketangkep sama aparat keamanan negara Islam, maka gugurlah hudud Allah bagi mereka, namun mereka harus mengembalikan hak-hak manusia; baik jiwa, pelukaan, atau harta benda. Akan tetapi bila mereka dimaafkan, otomatis itupun had-nya gugur bagi mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt.:“kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Maidah [5]: 34)


Nah, kalo mereka bertaubat setelah penangkapan atas mereka maka tidak ada satupun hudûd yang gugur bagi mereka. Jadi tetep akan dihukum. Hal ini karena mengamalkan mafhum dari firman Allah Swt: “sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka” (QS al-Maidah [5]: 34)


Sobat muda muslim, kayaknya kalo diterapkan aturan dan sanksi seberat ini, para perampok atau yang berniat merampok mikir ulang sebelum menjalankan aksinya. Ngeri banget kan kalo sampe ketahuan?

 
Steril maksiat


Tempat-tempat maksiat seperti komplek pelacuran, perjudian (termasuk togel), diskotik, dan pusat penjualan miras adalah tempat-tempat yang bakalan diberangus oleh negara jika tetap nekat beroperasi. Karena, sangat boleh jadi nih tempat berpotensi jadi biang keonaran. Bisa aja kan? Bagi yang kalah judi misalnya, padahal ia udah abis-abisan duit, maka bukan mustahil kalo kemudian terjadi keributan dan bisa mengganggu warga sekitar. Akibatnya, masyarakat umumlah yang bakalan nggak merasa aman dan nyaman dengan kondisi seperti ini.


Sobat Suluah, pernah lho di kampung saya (nun jauh dari kota, namanya juga kampung hehehe..) banyak warga yang merasa resah karena di lingkungannya ada seorang warga yang jualan miras alias minuman keras. Merasa nggak aman? Pertama, karena tempatnya berada di lingkungan warga. Jadi pasti merasa terganggu dong kalo para pemabuk itu beraksi. Iya, soalnya nggak jarang mereka yang mabuk ngoceh da ganggu orang sekitar, udah gitu suka muntah sembarangan (di pekarangan rumah warga lain), penjualnya nyetel musik kenceng-kenceng (termasuk malam hari). Waduh, kalo kayak gini, gimana mo nyaman hidup ya? Gimana mo memiliki rasa aman karena khawatir diganggu para pemabuk.
Meski para tokoh agama udah memperingatkan aksi kacaunya itu, yang bersangkutan pake prinsip: “Anjing menggonggong kafilah berlalu”. Waaaah… nggak sopan banget tuh tokoh agama dikacangin kayak gitu. Apa pasal dia berani melawan yang ngingetin? Ehm, karena dia udah ada kerjasama dengan salah seorang oknum polisi. Walah, nih aparat keamanan yang harusnya memberi rasa aman bagi seluruh warga, ternyata cuma memberi rasa aman kepada seorang warga, dan sudah berbuat salah pula. Karena apa? Karena mengamankan kesalahan. Bukan membela kebenaran. Kalo aparat keamanan kayak gini semua, ancur dah. Gimana mo aman dong hidup kita?


Jadi, selain karena tempat pelacuran, perjudian dan pusat penjualan miras (plus narkoba) adalah tempat maksiat, juga tempat itu bisa berpotensi memunculkan keonaran. Maka, negara akan menindak dengan tegas pengelolanya. Termasuk kalo miras dan narkoba yang akan dilakukan adalah dengan menutup pabriknya. Ini bagian dari upaya negara dalam memelihara rasa aman bagi warganya.
Coba deh kamu bandingin sekarang. Dalam naungan demokrasi sebagai mesin politik Kapitalisme yang berakidah sekularisme ini, kebebasan menjadi panglima. Orang bebas berbuat apa aja asalkan bukan kriminal. Ini teorinya, lho. Karena prakteknya, yang berbuat kriminal pun bisa tetep adem ayem aja karena aparat penegak hukumnya udah disumpal duluan ama duit jutaan rupiah. Sekadar fakta aja nih, para oknum aparat dan pejabat yang seharusnya menjebloskan para bandar judi ke bui, malah rela mengais rejeki haram dengan mengamankan usaha mereka. Untuk “jasanya” itu, bapak-bapak oknum aparat dan oknum pejabat bakal menerima uang setoran dari para raja judi. Bagi yang setorannya ‘kenceng’, dijamin aman usahanya. Kalo nggak nyetor, itu sih alamat bakal dikarungin! Meski akhirnya dilepas juga kalo udah ngasih sogokan. Ambil contoh, seorang bandar togel di Cimanggis, berinisial PA, ditangkap oleh Polda Metro karena bandar ini terkenal ‘bandel’, menolak memberikan setoran ke institusi keamanan Ibu Kota ini. Kecuali kepada keamanan setempat, seperti koramil, polsek, dan Babinsa. Namun, setelah membayar tebusan Rp 40 juta, bandar ini akhirnya dilepas.(Media Indonesia, 7 Maret 2002).


Ini memang data lama yang saya kutip, kemungkinan praktik itu masih ada sampe sekarang. Soalnya pernah juga tuh disindir di film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” yang dirilis 2010. Belum lama–tahun ini, ada cerita dari teman saya yang pernah jualan pulsa, di sebelah kiosnya ternyata ada orang jualan togel. Hadeuuh.. Terus temen saya bilang juga, bahwa ada oknum polisi yang suka masang togel di situ. *Tepok jidat!
Coba, gimana nggak mengkhawatirkan kondisi ini. Tapi anehnya, meski udah banyak yang jadi korban togel, pemerintah milih adem-ayem aja. Sebagian masyarakat yang teriak protes keras supaya pemerintah menutup bisnis haram ini, tapi rupanya protes itu dikacangin alias didiemin ama bapak-bapak pejabat dan aparat kita. Walah? Inilah demokrasi: Kejarlah Demokrasi, Kau Ketipu!


Kalo diberlakukan syariat Islam, insya Allah akan aman deh. Sekadar contoh aja, di NAD meski syariat cuma diberlakukan parsial, tapi cukup bikin jera. Ketua Forum Masyarakat Berantas Judi Buntut-Togel di NAD, Tarmizi HA Hamid H, menuturkan bahwa sebelum hukum cambuk diberlakukan, Bireuen adalah satu daerah di Aceh yang perjudiannya cukup marak. Omzet judi buntut-togel, setiap harinya rata-rata mencapai Rp 110 juta. Setelah diberlakukan syariat Islam, perjudian berkurang antara 70 sampai 80 persen.(Eramuslim, 28/07/2005)
Harap dicatet tuh Bro en Sis pembaca setia Suluah, bahwa dengan penerapan yang parsial aja, bisa mengurangi bahkan sangat boleh jadi menghilangkan maksiat sama sekali. Ini baru parsial lho alias lokalan gitu, apalagi kalo diterapkan dalam bingkai Khilafah Islamiyyah yang besar. Mendunia. Dan seharusnya memang bukan parsial. Insya Allah lebih oke lagi.

 
Islam memberi rasa aman


Sebagaimana semboyan polisi di kita: “Melindungi, Melayani”, maka seharusnya memang ditujukan untuk melindungi rakyat dan melayani rakyat yang memerlukan keadilan. Bukan melindungi dan melayani mereka yang punya usaha haram. Tul nggak sih?
Rasulullah saw. sebagai Rasul dan sekaligus kepala negara, memperhatikan betul rasa aman bagi warganya. Itu sebabnya, untuk menjaga keamanan masyarakat beliau membentuk semacam polisi kota (Syurthah). Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Anas yang mengatakan: “Bahwa Qais bin Sa’ad, ketika itu sedang berada di dekat Nabi saw. dalam posisinya sebagai anggota kesatuan polisi”


Kesatuan polisi diberi tugas untuk menjaga sistem dan mengatur keamanan dalam negeri, serta melaksanakan semua kegiatan yang bersifat operasional. Kesatuan inilah yang setiap malam berkeliling untuk mengawasi pencuri, orang-orang jahat serta mereka yang dicurigai melakukan tindak kejahatan.


Oya, sekadar tahu aja bahwa Abdullah bin Mas’ud adalah komandan patroli pada masa Khalifah Abu Bakar. Bahkan Umar bin Khaththab melakukan patroli sendiri dan kadang-kadang minta ditemani oleh pembantunya, beliau juga kadang minta ditemani Abdurrahman bin ‘Auf. Dan, tentu saja ini adalah tugas negara, bukan tugas rakyat.(Lebih lengkap silakan baca Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, Penerbit al-Izzah, 2002, hlm. 188-190)


Kesiagaan polisi dalam mengamankan juga berlaku bagi seluruh warga negara Daulah Islamiyah. Jadi, bukan cuma yang muslim aja, tapi nonmuslim juga dijaga. Tuh, gimana nggak hebatnya Islam. Karena manusia tuh butuh rasa aman. Inilah salah satu bentuk kepedulian Islam dalam menghargai manusia.


Bandingkan dengan sistem hukum pada negara-negara demokrasi dan penganut sistem hukum Barat yang tidak tegas terhadap para pengganggu keamanan masyarakat. Akibatnya, para residivis bisa menjadi raja preman di luar penjara. Bahkan, udah sangat masyhur bahwa mafia dan kelompok gangster justru memiliki hubungan “persahabatan” dengan polisi sehingga keberadaan perampok, penjahat, preman jalanan, dan berbagai mafia kejahatan tetap eksis di seluruh dunia. Oya, di negeri kita juga udah sering terjadi sehingga menjadi rahasia umum. Ada oknum hakim or oknum jaksa yang bisa jual-beli hukum. Membebaskan yang seharusnya dihukum, dan membui yang tak bersalah karena bayarannya kurang. Iya kan? Rasa-rasanya kamu udah pada tahu juga kasus-kasus korupsi kan? Pelaku bisa negosiasi dengan okunum hakim, oknum jaksa, or oknum polisi, yang penting: “Wani Piro?” Iya kan? Jleb!