“Dan Kami (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta” -Alquran, QS. Al-Anbiya’, 21:107-
Islam diturunkan sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, yakni
menebarkan rahmat dan perdamaian bagi alam semesta. Ide dasar perdamaian
ini merupakan satu di antara prinsip-prinsip utama ajaran Islam yang
membingkai seluruh aspek dan sendi tatanannya, termasuk yang berkaitan
dengan masalah akidah atau keyakinan.
Bertolak dari ide dasar tersebut Islam mengajarkan toleransi antar
umat beragama sebagaimana sabda Nabi: ”Agama yang paling disukai Allah
adalah yang lurus dan lapang (toleran)” [HR. Bukhari di al-Adab
al-Mufrad, dan Ahmad].
Islam juga menolak segala bentuk pemaksaan terhadap pihak lain untuk
mengimani keyakinan agama tertentu, termasuk Islam; apalagi sekedar
menyakini penafsiran atau paham-paham tertentu yang sama-sama diambil
rujukannya dari sumber agama yang sama. Hal ini ditegaskan dalam firman
Allah: “Tiada paksaan dalam (menganut) suatu agama” [QS. al-Baqarah, 2:
256].
Berbeda Itu Niscaya
Sikap Islam yang tegas melarang pemaksaan keyakinan ini didasarkan
juga pada landasan dan fakta teologis bahwa perbedaan dan keragaman
merupakan sunnah kauniyah atau keniscayaan penciptaan yang
dikehendaki-Nya [QS. Hud, 11: 118-119]. Lebih jauh, dalam QS. Yunus, 10:
19 dijelaskan, pada mulanya umat manusia itu bersatu, tiada
pertentangan di antara mereka, namun di kemudian hari mereka berselisih
pandangan dan kepentingan hingga akhirnya menjadi umat yang
berkelompok-kelompok dan saling bermusuhan.
Ini semua, sebagaimana dijelaskan dalam QS. an-Nahl, 16: 93, memang
sudah dikehendaki terjadi oleh Allah untuk menguji siapa di antara umat
manusia yang punya komitmen dan tanggungjawab dalam memegang teguh serta
memperjuangkan kebenaran dan siapa di antara mereka yang tersesat atau
menyimpang dari jalan kebenaran itu.
Di bagian ayat lain ditegaskan, jika saja Allah berkehendak niscaya
Dia akan menjadikan umat manusia sebagai umat yang satu, akan tetapi
justeru Dia berkehendak lain dengan menjadikan bagi masing-masing
kelompok suatu sistem keyakinan dan tatanan yang dianut. Inipun
dimaksudkan sebagai ujian bagi umat manusia sekaligus sebagai motivasi
teologis agar mereka saling berlomba mempersembahkan yang terbaik [QS.
al-Maidah, 5: 48].
Selain itu, dilihat dari perspektif teologis yang lebih mendalam,
adanya perbedaan dan keragaman ini sejatinya merupakan fakta penciptaan
yang pada gilirannya menjadi bukti keesaan Allah; bahwa hanya Dia-lah
yang Maha Esa, Tunggal dan Satu —di mana semua ciptaan-Nya adalah
bersifat beragam dan plural. Oleh karena itu, menerima keberagaman
sebagai keniscayaan dengan diikuti penyikapan yang arif dan positif
merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem aplikasi konsep tauhid.
Islam Anti Kekerasan
Oleh karena itu, Islam tidak membenarkan sama sekali terjadinya
tirani dan anarkisme atas nama agama. Allah berfirman: ”Kami maha
mengetahui apa yang mereka (musuh-musuh Islam) pergunjingkan
(perolok-olok), sedangkan engkau (Muhammad) tidak (kami utus) sebagai
tirani atas mereka, maka ingatkanlah dengan Alquran orang-orang yang
takut akan ancaman-Ku” [QS. Qaaf, 50: 45].
Secara jelas alquran telah memetakan mana yang merupakan wilayah
kerja dakwah yang menjadi tugas kaum muslimin yang harus dilakukan
secara damai dan persuasif (bukan anarkis), juga wilayah hak penimpaan
”sanksi-teologis” (penghukuman dan penyiksaan) yang hanya menjadi hak
prerogatif Tuhan.
Firman Allah: ”Maka, ingatkanlah. Karena sesungguhnya kamu (Muhammad)
hanyalah sebagai pengingat. Kamu bukanlah sebagai tirani. Kecuali mereka
yang berpaling dan kafir, maka Allah akan menyiksa mereka dengan
siksaan yang mahabesar. Sesungguhnya kepada Kami-lah mereka kembali. Dan
sesungguhnya kepada Kami pula pertanggungjawaban mereka” [QS.
al-Ghasyiah, 88: 21-26].
Pada tataran operasional, Islam juga melarang tindakan menghancurkan
dan merusak tempat-tempat ibadah umat non-muslim. Allah berfirman:
”Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian orang atas sebagian
yang lain (tidak mendorong kerja sama antar manusia), niscaya rubuhlah
biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan
masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah” [QS. al-Hajj,
22: 40].
Lebih jauh lagi Islam juga melarang perbuatan ”teror intelektual”
kepada pihak lain yang tidak sepaham atau sekeyakinan selama mereka
tidak mengusik atau mengganggu kita dengan teror yang sama. Dalam QS.
al-An’am, 6: 108 Allah berfirman, ”Janganlah kamu mencerca
(mengolok-olok) mereka yang tidak menyembah Allah (penganut agama
lain)”.
Kekerasan Demi Perdamaian
Memang, di dalam Islam terdapat ajaran untuk berperang, akan tetapi
hal itu pun adalah untuk membela diri saat diserang musuh, serta demi
muwujudkan perdamaian itu sendiri secara berimbang, yaitu agar tidak
ada pihak lain yang berbuat tirani kepada umat Islam sebagaimana Islam
tidak memperbolehkan umatnya berbuat tirani kepada pihak lain.
Tentang perintah berperang sebagai upaya membela diri tersebut, Allah
berfirman: ”Dan perangilah demi menegakkan jalan Allah mereka yang
memerangi kamu, dan janganlah kamu berbuat melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat melampaui
batas” [QS. al-Baqarah, 2: 190].
Karena itu, lebih lanjut Alquran mengajarkan apabila pihak musuh
telah kalah atau setuju untuk berdamai maka kita diwajibkan memilih
jalan damai. Allah berfirman: ”Kalau mereka cenderung kepada perdamaian,
maka sambutlah kecenderungan itu, dan berserah dirilah kepada Allah”
[QS. al-Anfal, 8: 61].
Arif Sikapi Perbedaan
Sebagai solusi Alquran mengajarkan dua cara untuk menghadapi kelompok
lain yang dianggap salah dan tidak sekeyakinan dengan kita, yaitu
dengan melakukan dialog dan penyikapan yang arif (pendekatan persuasif).
Allah berfirman: ”Ajaklah ke jalan Allah dengan hikmah (perilaku, sikap
dan tindakan bijaksana), nasehat yang baik, dan berdialoglah dengan
mereka dengan sebaik-baiknya dialog” [QS. al-Nahl, 16: 125].
Bahkan, secara teknis alquran telah mengajarkan prinsip dialog lintas
agama/keyakinan yang mesti dilandasi dengan semangat saling menghargai,
penuh keterbukaan, dilakukan dengan kepala dingin dan jauh dari aksi
klaim kebenaran secara sepihak. Allah berfirman: ”Katakanlah: Siapa yang
memberi kamu rezeki dari langit dan bumi? Maka, katakanlah: Allah (yang
memberi rezeki). Dan sesungguhnya kami ataukah kamu yang berada dalam
hidayah atau (sebaliknya) berada dalam kesesatan yang nyata?” [QS.
Saba’, 34: 24].
Semua ini menuntun kita, sebagai umat pembawa rahmat, untuk
senantiasa memilih cara-cara damai yang menyejukkan dalam menyikapi
pertentangan-pertentangan paham yang terjadi dewasa ini. Cara-cara yang
anarkis dan merusak harus kita hindarkan. Sebab, lazimnya kekerasan
hanya akan menimbulkan kekerasan lain yang ujungnya akan berakibat pada
munculnya kerusakan yang lebih besar lagi. Dalam sebuah adigum fikih
disebutkan, ”suatu kemunkaran tidak boleh diubah dengan cara yang bisa
menimbulkan kemunkaran yang lebih besar lagi”.**