Selamat Datang

Sabtu, 17 Agustus 2013

Merah Putih dan Islam 3

Memasuki bulan Agustus, bendera merah putih semarak menghiasi langit nusantara menghormati proklamasi Soekarno-Hatta. Hal demikian sudah rutin selama puluhan tahun, sehingga tidak ada kebanggaan yang lebih. Lain misalnya jika merah putih berkibar di ajang piala dunia FIFA World Cup. Dijamin langit nusantara akan semarak dengan merah putih, tanpa harus menunggu bulan Agustus. Tidak ada yang perlu disesali, zaman telah berubah.


Yang patut disesali adalah bahwa merah-putih oleh sebagian masyarakat masih ditafsirkan sebagai “reinkarnasi” simbol-simbol Jawa. Memang Muhammad Yamin menuliskan merah putih (gula kelapa) merupakan bendera kerajaan Majapahit yang beribu kota di Trowulan Jawa Timur, dan pernah pula dipakai oleh Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.

Kombinasi merah putih dipelihara oleh tradisi Jawa, misalnya dalam upacara selamatan yang menggunakan jenang abang putih (bubur merah putih). Atau dalam pembuatan rumah di kampung-kampung di Jawa masih mensyaratkan adanya kain merah putih yang dibalutkan pada blandar, kayu yang digunakan untuk penyangga kuda kuda atap rumah. Stigma Jawa masih bisa diperpanjang jika kita lihat misalnya pada Candi Borobudur (dibangun tahun 824 Masehi) yang pada dindingnya menampilkan tiga orang perwira yang mengibarkan “pataka” atau bendera. Gambar “pataka” tersebut menurut seorang pelukis berkebangsaan Jerman dilukiskan dengan warna merah putih.

Agama Hindu yang mendominasi Nusantara lama (dan Bali saat ini) juga memberi penghormatan yang tinggi pada merah putih dan burung garuda. Dalam alam pikiran masa Hindu, bangsa Indonesia berpegang pada nilai filosofis atau makna garuda sebagai salah satu aspek kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai burung merah putih (sveta-rakta-khagah) yang mempunyai misi untuk membebaskan umat manusia dari belenggu perbudakan atau penjajahan, baik penjajahan jasmani maupun belenggu dunia material yang menyesatkan.

Muhammad Yamin tentu saja tidak setuju jika merah putih merupakan warna tipikal Jawa atau mewakili agama tertentu. Yamin menegaskan bahwa Kerajaan Sriwijaya di Sumatera yang Budhis juga menggunakan warna ini. Tradisi orang Papua juga menghormati merah putih, misalnya dengan “pepeda” (campuran sagu putih dengan buah soradi berwarna merah). Dalam bukunya yang terkenal,6000 Tahun Sang Merah Putih (terbit tahun 1951), Yamin menegaskan bahwa usia sang merah putih telah mencapai 6000 tahun, jauh sebelum kebudayaan Jawa terdefinisikan dan sebelum Hindu mendominasi Nusantara.

Menurut Yamin, sekitar 6000 tahun yang lalu terjadi perpindahan orang-orang Austronesia ke Nusantara Indonesia melalui semenanjung Malaya dan Philipina. Pada zaman itu manusia memiliki cara penghormatan atau pemujaan terhadap matahari dan bulan. Matahari dianggap sebagai lambang warna merah dan bulan sebagai lambang warna putih. Sehingga zaman itu disebut pula zaman aditya candra. Aditya berarti matahari, candra berarti bulan. Penghormatan terhadap merah putih seusia migrasi orang-orang yang kelak di sebut bangsa Indonesia 6000 tahun yang lalu. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan suku atau agama tertentu.

Bendera Islam dan Bendera Rasulullah SAW

Kombinasi bulan sabit dan bintang telah identik dengan dunia Islam, sejajar dengan salib di dunia Kristen, bintang David pada Yahudi, mandala Budhisme. Tercatat ada sepuluh negara yang mayoritas berpenduduk muslim menggunakan bendera bulan sabit dan bintang (atau bulan sabit saja) antara lain Turki, Komoro, Tunisia, Aljazair, Mauritania, Maladewa, Pakistan, Malaysia, Turkmenistan dan Uzbekistan.

Cukup unik bendera Singapura, merah putih yang berhiaskan bulan bintang. Padahal kita tahu Singapura bukan negara berpenduduk mayoritas Islam apalagi negara Islam. Penggunaan merah putih kemungkinan merupakan kesadaran orang Singapura yang dahulu bernama Tumasik, salah satu vasal imperium Majapahit. Tokoh Melayu Malaysia Ibrahim Yacob pernah bercita-cita mendirikan Indonesia Raya (gabungan Indonesia dan Malaysia, termasuk Singapura) dengan bendera kebangsaan merah putih. Presiden Sukarno sangat mendukung ide tersebut. Tetapi penyatuan tersebut gagal karena Kesultanan di Malaysia lebih suka Malaysia menjadi negara persemakmuran Inggris dari pada bergabung dengan Indonesia. Kini, Malaysia masih menggunakan bulan dan bintang tetapi melepas merah putih.

Yang mengejutkan justru negara negara di jazirah Arab tidak menggunakan bulan sabit dan bintang sebagai bendera atau lambang negara. Sebut saja Saudi Arabia, berbendera warna dasar hijau dengan tulisan arab dua kalimah syahadat dengan kombinasi pedang zulfikar di bawah. Penggunaan warna dasar hijau juga mengejutkan karena menurut beberapa hadits, Rasulullah SAW mengibarkan panji berwarna hitam dengan bendera berwarna putih. Warna hijau ini tidak lepas dari paham wahabisme yang menjadi ideologi Dinasti Al-Saud yang mendirikan Kerajaan Saudi Arabia setelah berakhirnya perang dunia kedua. Sejak itu warna hijau juga diasosiasikan dengan islam bersama-sama dengan bulan bintang. Di Indonesia partai politik dan organisasi massa yang berazaskan atau bernafaskan islam juga ikut-ikutan menggunakan warna dasar hijau. Karpet masjid juga sering berwarna hijau.

Bendera atau simbol “bulan sabit dan bintang” berkembang pesat sebagai ciri khas dunia Islam saat Turki Ustmaniyah sebagai Khilafah Islam terakhir menggunakannya sebagai bendera Kekhalifahan. Kesultanan Aceh merupakan entitas politik yang mempunyai hubungan khusus dengan Turki Ustmaniyah. Pada abad ke-16 Sultan Aceh Alauddin Riayat Syah mengirim Duta Besar Husain Effendi ke Istanbul meminta bantuan pasukan untuk memerangi Portugis yang hendak menyerang Aceh, dengan imbalan Aceh mengakui Turki sebagai khilafah dunia islam. Sultan Turki, Selim II mengabulkan permintaan tersebut dengan mengirimkan Armada Suez yang dipimpin Laksamana Kurtoglu Hizir Reis.
Dengan bantuan Turki Aceh terlepas dari penjajahan Portugis. Saat rekonstruksi Aceh pasca Tsunami, Turki memberi bantuan yang besar, salah satunya gedung ACC (Aceh Comunity Center) Sultan Selim II dengan prasasti yang mengingatkan peristiwa abad ke-16 itu. Karena hubungan yang istimewa ini Kesultanan Aceh mendapat “hadiah” bendera merah bulan bintang dari Ustmaniyah. Bendera ini dipelihara selama berabad-abad oleh bangsa Aceh. Bendera warisan Turki tersebut lalu dimodifikasi oleh Hasan Tiro menjadi bendera GAM (Gerakan Aceh Merdeka), berwarna dasar merah dengan dua strip hitam/putih horisontal dengan lambang bulan sabit dan bintang. Lambang yang mirip pernah juga digunakan oleh DI/TII. Apakah memang bulan bintang merupakan simbol otentik islam?

Bukti-bukti menunjukkan bahwa lambang bulan sabit dan bintang telah lama digunakan sebelum masa Islam. Masyarakat Yunani yang mendirikan kota Byzantium sejak 670 SM menggunakan lambang tersebut dalam kaitannya dengan penyembahan Artemis, Dewi Bulan dan perburuan. Byzantium jatuh ke tangan Romawi pada abad ke-2 SM. Ketika Kaisar Konstantine I berkuasa (306-337 M) ia mengadakan perubahan penting, Byzantium menjadi Konstatinople, lambang bulan sabit ditambah dengan bintang yang melambangkan Bunda Maria, Ibunda Yesus. Sejak itu bulan sabit dan bintang menjadi simbol Konstantinople, ibukota Romawi Timur. Konstantinople jatuh ke tangan Turki Ustmaniyah pada tahun 1453 M. Turki begitu bangga dengan penaklukan itu, sehingga simbol bulan sabit dan bintang digunakan oleh berbagai laskar Ustmaniyah. Selanjutnya, bulan sabit dan bintang bahkan menjadi bendera Turki Ustmaniyah.

Imperium Persia juga menggunakan bulan sabit dan bintang. Bahkan lambang tersebut tercantum pada mata uang yang dikeluarkan oleh Khosrau II. Dialah Kisra yang merobek-robek surat Rasulullah SAW. Dengan kenyataan sejarah seperti itu masihkah kita menganggap bulan bintang sebagai simbol otentik islam?

Akhir akhir ini muncul organisasi yang mengusung ide khilafah, seperti Hizbut Tahrir, yang menggunakan panji warna hitam dengan tulisan dua kalimah syahadat dan bendera warna putih dengan tulisan sama. Hizbut Tahrir menegaskan itulah panji dan bendera Rasulullah sesuai riwayat beberapa hadits. Walau telah ada pendapat yang menyatakan bahwa panji berwarna dasar hitam sesungguhnya merupakan panji Bani Abasiyah yang sudah ada sebelum islam. Sedangkan warna putih boleh jadi merupakan warna universal yang bermakna kesucian atau perdamaian. Perlu diingat bahwa saat Rasulullah menaklukan Mekah dengan damai (futuh Mekah), bendera putih itulah yang dikibarkan oleh kaum muslimin pengikut Rasulullah.

Lain lagi pendapat sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara. Menurutnya Sang Saka Merah Putih merupakan sumbangan dari ulama Indonesia. Para ulama berjuang untuk mengenalkan Sang Saka Merah Putih adalah bendera Rasulullah SAW dengan mengajarkannya kembali sejak abad ke-7 M atau abad ke-1 H, bersamaan dengan masuknya agama islam ke Nusantara. Kemudian, Sang Saka Merah Putih dibudayakan dengan berbagai sarana : pertama, pada setiap pembicaraan atau pengantar buku diucapkan atau dituliskan “sekapur sirih” dan “seulas pinang”. Tidakkah kapur dengan sirih akan melahirkan warna merah dan apabila buang pinang diiris akan terlihat di dalamnya berwarna putih? Kedua, budaya menyambut kelahiran dan pemberian nama bayi, serta tahun baru islam dirayakan dengan menyajikan bubur merah putih. Ketiga, pada saat membangun rumah, di suhunan atas dikibarkan Sang Merah Putih. Keempat, setiap hari Jumat, mimbar di Masjid Agung atau Masjid Raya dihiasi dengan bendera merah putih. Warna ini sengaja dibaurkan dengan adat kebiasaan agar lestari dan dapat diterima oleh semua golongan.

Tentang merah putih merupakan bendera Rasulullah SAW, Ahmad Mansur Suryanegara menukilkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Kitab Al Fitan, Jilid X, halaman 340, dari Qasthalani (pengalih bahasa Drs.Muhammad Zuhri tahun 1982), sebagai berikut : Rasulullah SAW bersabda Innallaha zawaliyal ardha, masyaariqaha wa maghariba ha wa a’thanil kanzaini ‘Al-Ahmar wal Abjadh’ (artinya Allah menunjukkan kepadaku dunia, menunjukkan pula timur dan barat, menganugerahkan dua kazanah kepadaku “Merah-Putih.”

Lebih jauh Ahmad Mansur Suryanegara menerangkan bahwa warna merah digunakan untuk memanggil nama-nama istri para Nabi. Adam as memanggil istrinya Siti Hawa ra yang artinya hautun atau merah. Rasulullah SAW memanggil Siti Aisyah ra dengan humairah yang artinya merah. Demikian pula dalam penulisan Al-Quran, huruf Alloh dan kata gantinya dituliskan atau dicetak dengan warna merah. Busana Rasulullah SAW yang indah juga berwarna merah. Busana warna putih juga dikenakan beliau. Sarung pedang Rasulullah SAW dan Sayidina Ali pun berwarna merah. Sementara sarung pedang Khalid bin Walid berwarna merah putih. Warna merah putih adalah lambang kehidupan. Merah merepresentasikan darah, putih merepresentasikan air susu ibu. Oleh karena itu kelahiran bayi disertai dengan pembuatan bubur merah putih.

Tidak jelas teori siapa yang lebih unggul, Yamin atau Mansur Suryanegara. Kalau kita perhatikan genre tulisan Yamin memang ada kesan bahwa beliau alergi dengan nasionalisme Islam, sehingga ide-ide yang terkait dengan Islam dikesampingkan. Sebaliknya Mansur Suryanegara menuduh bahwa sejarawan Indonesia, termasuk Yamin, justru mengikuti tradisi berpikir Belanda yang terlalu mengagungkan kejayaan Nusantara lama tanpa mampu melihat kontribusi peradaban Islam (Api Sejarah, Salamadani, 2009). Dari sisi ini Penulis melihat bahwa Mansur Suryanegara mengajak bangsa Indonesia untuk melihat sejarah secara lebih adil. Bukan tidak mungkin bahwa merah putih adalah warna Islami, bendera Rasulullah SAW yang “tertimbun” oleh adat kebiasaan masyarakat Indonesia.

Sang Saka Merah Putih telah berusia 68 tahun sejak ditetapkan dalam konstitusi 1945 sebagai bendera negara. Sebagai bendera kebangsaan ia telah diterima sejak sumpah pemuda 1928. Tetapi sebagai bagian dari sejarah manusia nusantara, merah putih telah dihormati seiring dengan migrasi ras Austronesia 6000 tahun yang lalu. Merah putih adalah “bendera” Rasulullah SAW yang dilebur oleh ulama dalam adat kebiasaan masyarakat nusantara agar lestari dan diterima oleh seluruh golongan. Sebaliknya bulan bintang yang secara turun temurun kita anggap sebagai simbol islam justru berasal dari budaya lain.

Kita peringati kelahiran Indonesia, kita peringati pula kibaran pertama merah putih di Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Dirgahayu Indonesiaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar