Selamat Datang

Sabtu, 25 Februari 2012

KRISIS ILMU SYARIAT DI TENGAH UMAT

Salah satu masalah mendasar yang dialami oleh kalangan akademisi dan perguruan tinggi Islam saat ini adalah masalah visi, misi, dan niat. Masalah visi dan misi terkait dengan pemahaman tentang konsep ilmu.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu? Ilmu-ilmu apakah yang harus dipelajari, dan untuk apa mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
 
Pendidikan, pada dasarnya berkaitan dengan masalah ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama (ulumuddin). Sudah bukan rahasia lagi, kekacauan konsep ilmu telah menyebabkan munculnya dampak yang sangat serius di kalangan kaum Muslim saat ini.
Pada level perguruan tinggi, konsep keilmuan terpecah secara mendasar; ilmu agama dan ilmu umum. Perguruan Tinggi dibentuk berdasarkan konsep yang sekular itu, sehingga lahirlah universitas/Institut Umum dan Universitas/Insititut Islam. Konsep dasar ini jelas sangat keliru, karena tidak berdasarkan pada konsep keilmuan Islam. Dari konsep yang salah ini, lahirlah para cendekiawan yang terbelah, baik dalam cara berpikir, maupun dalam penguasaan keilmuan.
 
Mahasiswa yang belajar teknik, kedokteran, ekonomi, komputer, geologi, dan sebagainya, tidak merasa wajib untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia hanya merasa cukup sudah “beramal” dan “bersemangat” memperjuangkan Islam melalui aktivitas politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Ia tidak merasa wajib untuk mempalajari ilmu-ilmu Islam, seperti Ushuluddin, bahasa Arab, Ulumul Qur’an, Ulumul hadits, ilmu fiqih, dan sebagainya.
Menurut perasaan kebanyakan mahasiswa, mempelajari ilmu-ilmu agama seperti itu adalah tanggung jawab orang-orang pesantren, IAIN, dan semacamnya. Meskipun secara umum bisa dikatakan, rata-rata mahasiswa kedokteran, teknik, komputer, dan sebagainya, adalah manusia berotak cerdas, mereka tidak merasa wajib menggunakan akalnya untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh bahasa Arab atau ulumuddin lainnya.
Mereka biasanya hanya suka mendengar ustad ceramah, seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau melalui media radio/telivisi, dengan tradisi “jiping” (ngaji kuping).
 
Belajar agama dianggap sambilan, atau hanya sekedar mengisi waktu, dengan tenaga dan pikiran sisa. Mereka sanggup belajar bahasa Inggris, membayar mahal, dan bersungguh-sungguh mencurahkan pikirannya, untuk menguasai bahasa itu. Tetapi, ketika berhadapan dengan bahasa Arab, mereka merasa tidak berkepentingan sama sekali.
Padahal, Imam Syafii menjelaskan dalam Kitab Risalah, bahwa mempelajari bahasa Arab adalah fardhu ‘ain, dan setiap orang Muslim wajib menguasai bahasa Arab, semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuannya. Artinya, adalah berdosa, jika seseorang tidak bersungguh-sungguh belajar bahasa Arab. Padahal, jika orang-orang cerdas mau bersungguh-sungguh menggunakan akalnya untuk menguasai bahasa Arab, mereka insyaallah bisa menguasainya, sebagaimana mereka mampu memguasai bahasa-bahasa asing lainnya.
Biasanya, para profesional atau kaum cendekiawan berlatarbelakang “ilmu-ilmu umum”, senang dan bangga memelihara statusnya sebagai “orang awam” dalam agama. Meskipun sudah lulus kuliah berpuluh-puluh tahun, dan menjadi orang muslim sejak lahir, mereka senang mengucapkan, “saya ini awam dalam agama.” Jadilah ia awam seumur hidupnya dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi sangat pakar dalam ilmu-ilmu tertentu di bidang profesinya.
 
Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, atau tidak punya waktu untuk belajar, tetapi lebih karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam. Mereka tidak paham, mana ilmu yang fardhu ‘ain, dan mana ilmu yang fardhu kifayah.
Padahal, konsep ini telah dijelaskan dengan gamblang oleh Imam al-Ghazali melalui kitabnya yang terkenal “Ihya’ Ulumuddin”. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ‘ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.
 
Bagi kaum cendekiawan atau ulama, maka tanggung jawab mereka juga lebih berat. Disamping wajib mengetahui yang benar, mereka juga harus mengetahui ilmu tentang hal-hal yang bathil yang tersebar di tengah masyarakat. Sebab, kata al-Ghazali, orang yang tidak mengetahui kebathilan, ia akan terperosok di dalamnya.
Ibarat seorang dokter, maka ulama wajib mengetahui ilmu tentang pengobatan dan sekaligus ilmu tentang penyakitnya. Maka, di masa lalu, para ulama Islam, disamping menguasai ilmu-ilmu keislaman dengan mendalam, mereka juga menguasai ilmu-ilmu tentang pemikiran kontemporer ketika itu. Dengan itulah para ulama bisa menjalankan fungsinya sebagai pewaris para nabi, dengan menjaga aqidah umat.
Para ulama saat ini, misalnya, wajib memahami dengan mendalam masalah sekularisme, liberalisme, pluralisme, marxisme, dan sebagainya. Paham-paham inilah yang sekarang menguasai dunia dan mencengkeram benak kaum muslimin.
 
Jika para ulama tidak menguasai masalah-masalah pemikiran kontemporer, maka mereka akan menjadi “penonton yang baik” di satu arena “pertarungan pemikiran” yang dahsyat.
Mencari ilmu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, adalah wajib bagi setiap Muslim. Artinya, setiap hari, kaum Muslim seharusnya sibuk dalam aktivitas keilmuan. Tidak ada hari tanpa mengaji dan menambah ilmu, terutama ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, maupun ilmu yang fardhu kifayah.
Imam al-Ghazali mencontohkan, ilmu fardhu kifayah seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Ilmu jenis ini diperkukan untuk tegaknya sistem masyarakat. Fardhu kifayah artinya, jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat (kifayah), maka gugurlah kewajiban itu dari sebagian kaum muslimin lainnya.
 
Tidak perlu semua anggota masyarakat menjadi dokter, dan tidak perlu semuanya pakar dalammatematika, teknik elektro, teknik komputer, teknik pesawat, dan sebagainya. Cukup sebagian kaum Muslimin yang menguasai bidang ilmu fardhu kifayah.
Selain kesalahan dalam memahami konsepsi ilmu, masalah mendasar lainnya dalam masalah ilmu dan pendidikan adalah soal niat mencari ilmu. Imam al-Ghazali sudah mengingatkan dengan bahasa yang lugas dalam mukaddimah kitab “Bidayatul Hidayah”.
 
Kata beliau, jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar hebat-hebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia. (Fa-anta saa’in ilaa hadmi diinika wa ihlaaki nafsika, wa bay’i aakhiratika bi dunyaaka).
Bagi Imam al-Ghazali, ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah.
Siapapun yang mencari ilmu dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka para Malaikat akan melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan ikan-ikan di laut mendoakan si pencari ilmu yang ikhlas dalam langkahnya.
 
Jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar?
Banyak jurusan dalam ilmu-ilmu agama dibentuk, dengan tujuan untuk mencari lapangan kerja. Mereka yang lulus, banyak yang kemudian tidak tertarik untuk mengembangkan ilmunya lebih jauh, atau mengamalkan ilmunya untuk berdakwah, tetapi justru meniatkan ilmunya untuk mencari harta benda dunia, sebagaimana sudah diperingatkan oleh al-Ghazali.
Yang lebih memprihatinkan, ada kampus-kampus yang sama sekali mengabaikan masalah ilmu, dan mendirikan lembaga pendidikan sekedar jual beli gelar. Dari kampus-kampus semacam ini akan lahir orang-orang yang menyandang gelar tertentu tanpa keilmuan yang memadai.
 
Peringatan Imam al-Ghazali ini sangat penting kita renungkan. Beliau menulis Kitab Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah antara tahun 1096-1097, di saat awal-awal periode Perang Salib.
Saat itulah kaum Muslimin mengalami krisis politik dan militer yang sangat serius, sehingga pasukan Salib (Crusaders) yang lebih rendah tingkat peradabannya mampu mengalahkan kaum Muslimin.
Dengan penguasaan ilmu yang tinggi dan pencermatannya langsung ke beberapa wilayah kaum Muslimin, Al-Ghazali melihat pada problema yang paling mendasar yang harus dipecahkan umat Islam saat itu, yaitu masalah keilmuan dan keulamaan. Seperti kita bahas pada Catatan Akhir Pekan (CAP) yang lalu, tugas ulama adalah sebagai pewaris para Nabi. Mereka yang harus menjaga ilmu-ilmu agama agar tetap hidup dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Islam.
 
Jika konsepsi Islam tentang ilmu dipahami dan dihayati oleh kaum Muslimin, terutama para tokoh-tokohnya, maka tidak mungkin kita mengalami krisis seperti sekarang ini.
Umat akan paham, mana yang wajib dilakukan terlebih dahulu dan mana yang menjadi prioritas kemudian. Tidak mungkin kita mengalami krisis pembelajaran dirosah islamiyah, dimana jurusan-jurusan agama (Fakultas Agama Islam) adalah jurusan terakhir yang dipilih mahasiswa muslim.
Biasanya, karena merupakan pilihan terakhir, maka yang masuk ke studi agama pun, kualitas mahasiswa yang kemampuan akalnya “pas-pasan”. Masalahnya lebih rumit lagi, setelah masuknya virus liberalisme-sekularisme ke dalam sistem pendidikan Islam.
 
Virus ini otomatis melemahkan sendi-sendi pertahanan kaum Muslim, dan memunculkan masalah yang sangat pelik. Dari konsepsi yang keliru lahirlah sarjana yang keliru cara berpikirnya. Jika dulu paham ateisme disebarkan oleh kalangan Marxis-komunis, maka kini tidak sedikit sarjana dari kalangan studi Islam yang dengan bangga menyebarkan ateisme atau Marxisme, baik dalam bentuknya yang asli atau metamorfosisnya, seperti paham pluralisme agama atau “gender equality”. Mudah-mudahan peringatan Imam al-Ghazali dapat menjadi bahan renungan kita bersama, dalam upaya membangun peradaban Islam yang gemilang di masa mendatang. Amin.

Sabtu, 18 Februari 2012

AKULTURASI AGAMA BUDAYA DAN ISLAM

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah Saw pernah mengingatkan bahwa perjalanan sejarah Islam tidak tetap dalam satu keadaan tapi berubah dan bersifat fluktuatif (pasang surut) dalam sabdanya, “Innal islaama bada`a ghariiban wa saya’udu ghariiban kama bada`a.”

Islam pertama kali dibawa oleh Nabi Muhammad Saw di tengah masyarakat kafir Quraisy, mereka merasa asing dan aneh. Islam mengajak untuk bertauhid (mengesakan Allah) sementara mereka terbiasa menyembah berhala dengan jumlah yang banyak. Islam menuntun untuk beraklakul karimah (mulia) sementara mereka telah terbiasa dengan ahlak madzmumah (tercela) bergelimang dosa. Sabda Nabi, Islam akan kembali dianggap aneh seperti pertama kali datang kepada kafir Quraisy. “Fatuuba lighuraba`i,” beruntunglah orang-orang yang dianggap aneh. yang dimaksud aneh disini bukanlah mereka yang membuat hal-hal yang aneh-aneh apalagi nyeleneh! Waktu itu juga para sahabat bertanya, “Man hum ya Rasulallah?” siapakah orang yang dianggap aneh itu wahai Rasul? Beliau menjawab, “Alladziina yushlihuuuna ‘inda fasaadinnaas.” Mereka adalah orang-orang yang tetap istiqomah (konsisten) melaksanakan kebaikan sesuai dengan ajaran Alquran dan assunah disaat orang-orang lain sudah berbuat kerusakan.

Islam sampai ke Indonesia tidaklah straight on (langsung) dibawa oleh para sahabat dari madinah ke Indonesia. Sebagaimana kita baca di dalam sejarah, Islam sampai ke Indonesia setelah melewati pusat-pusat agama budaya yang merupakan agama buatan dan hasil olah pikir manusia, sebalik dari agama wahyu yang berdasar kepada wahyu ilahi. Pusat-pusat agama budaya yang dilewati para pembawa ajaran Islam sebelum sampai ke Indonesia adalah Persia (Iran), India (anak benua asia), dan China.

Terjadi proses akulturasi antara pembawa ajaran Islam dengan masyarakat di pusat-pusat agama budaya tersebut. Terjadi proses “Iltibas bainal haq wal bathil,” percampuradukan antara nilai-nilai yang datang dari Islam dengan nilai-nilai batil yang bersumber dari ajaran-ajaran agama di pusat agama budaya tersebut.

Dari Persia ada agama Zarathustra (Zoroaster) dengan kitab suci Parasutra, pengaruhnya sampai saat ini masih melekat dari kisah Zaratusta yang ada dikitab tersebut jika kita bandingkan dengan Manakib Syeikh Abdul Qodir Zailani. Hanya pelaku utamanya saja yang berbeda. Ceritanya tetap sama aneh-aneh.

Demikian pula dari agama Sumeria Akkadia (thn 4000 sM), Tuhan tertingginya disebut Nebuila mempunyai anak laki-laki bergelar Bil dan anak perempuan bergelar Biltu (bahasa Arab; Bin dan Bintu). Anak laki-laki Nebuila bernama Bil Samek berwujud kepalanya manusia sedangkan tubuhnya ikan (kuda laut). Anak perempuan bernama Biltu Firish berkepala perempuan cantik bertubuh kuda. Karena keduanya merupakan “dewa” maka sayap menjadi pelengkap agar mereka bisa terbang. Jika kita bandingkan gambaran tersebut dengan gambaran “Buroq” pembawa Nabi isra mi’raj yang sering kita lihat di kalender-kalender kepercayaan dahulu mirip sekali; tubuhnya kuda wajahnya perempuan cantik dan bersayap. Demikian itu pengaruh agama Sumeria Akkadia.

Ketika masuk ke India disana terdapat banyak macam-macam agama. Diantaranya yang berpengaruh hingga detik ini pengaruh dari agama Upanisad yaitu Yoga; mengatur nafas dengan membaca puji-pujian, yang dibaca “Aham Brahmasmi berarti “Aku seorang brahma.”. Ketika membaca “Aham” nafas ditarik dan kepala menengok ke kanan, membaca “Brahmasmi” nafas dilepas kepala menengok ke kiri. Mempengaruhi agama Islam kalimat Aham Brahmasmi diganti dengan tahlil “Laa Ilaaha Illallah” sedangkan gerakan menengok ke kanan-kirinya tetap sama.

Dari China ada sebuah agama tertua di dunia, Hiyang. Ada yang disebut dengan Hiyang Firasat; dewa yang suka memberi firasat dengan menunggang berbagai binatang; Jika menunggang kupu-kupu maka Hiyang tersebut memberi isyarat akan ada tamu. Jika menunggangi burung peniang (cungcuing) memberi firasat ada orang mati. Jika menunggangi burung hantu lantas berbunyi memberi firasat ada orang mati. Dsbnya.

Ada yang disebut Hiyang Poh-Yan (Dewa hujan) konon berbentuk ular naga jumlahnya ada empat untuk mengatur hujan di keempat penjuru angin. Ular naga itu tinggal tiga karena yang melanggar amanah Hiyang Ambu dan Hiyang Bapa dewa tertinggi sehingga hujan menjadi tidak merata. Ketika dewa tertinggi membuat istana, Hiyang Poh-Yan yang berbentuk ular menangis karena tidak bisa membantu. Air matanya jatuh mengkristal seperti mutiara. Gundukan airmata tersebut diuntai oleh istrinya diberi nama Aksamala yang berarti untaian biji airmata. Itulah konon menurut ajaran agama Hiyang menjadi alat untuk menghitung puji-pujian. Mempengaruhi agama kristen dikalungkan dengan liontin Salib namanya berubah menjadi Rosario. Mempengaruhi agama Islam digunakan untuk menghitung bacaan subhanallah diberi nama tasbe berasal dari kata tasbih terkena gejala bahasa apoko (pembuangan ponem diakhir seperti; bapak menjadi bapa, nenek menjadi nene) demikian tasbih menjadi tasbe. Nama aslinya Aksamala yang berasal dari agama Hiyang.

Ada pula yang disebut Hiyang Kunyang (Dewa kucing) dengan kepercayaan jika kita membunuh kucing akan dibalas oleh Hiyang Kunyang. Di kalangan sopir kepercayaan tersebut masih kuat. Mereka lebih menghargai nyawa kucing daripada manusia. Bahkan pada masyarakat dahulu ketika musim kemarau melanda mereka memandikan kucing agar hujan turun.

Dongeng Kuntilanak pun pengaruh dari agama Hiyang yang asalnya bernama Puntianak. Kepercayaannya jika ada perempuan melahirkan dan meninggal dunia arwahnya tidak diterima diakhirat berpunggung bolong jika dimasukkan paku akan kembali lagi menjadi manusia. Itu semua bersumber dari kepercayaan agama Hiyang yang sampai hari ini masih banyak dipercaya.

Upacara tiga dan tujuh bulan ketika wanita hamil termasuk ibadah dalam agama Hiyang. Wanita hamil memasuki bulan ketujuh harus mandi tujuh kali di tujuh sumur, mengganti pakaian tujuh kali, membuat manisan rujak tujuh macam, mandi kembang tujuh rupa terus dijual kepada anak-anak dengan uang pecahan genting.

Ketika seseorang meninggal dunia dalam agama Hiyang ada upacara tiga hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari sampai 1000 hari. Sampai detik ini masih banyak dilakukan oleh kaum muslimin. Kalangan awam muslim menganggap itu semua bersumber dari ajaran Islam karena oleh kalangan pemuka agama dibumbui dengan membaca ayat quran dan do’a-do’a sehingga nampak seperti dari ajaran Islam. Dalam agama Hiyang air bekas memandikan orang yang meninggal digunakan untuk mencuci muka keluarga konon untuk menghapus bayangan orang yang meninggal. Kemudian dipakaikan pakaian bekas pernikahan bahkan jika dia orang berada dalam mulutnya dimasukan mutiara, tujuannya supaya lancar menjawab pertanyaan Hiyang Akhirat. Bahkan umat Islam yang berangkat Haji terpengaruh dengan mencari sobekan qiswah ka’bah (baju ka’bah) tujuannya sama ketika meninggal dimasukkan ke mulut supaya lancar menjawab pertanyaan malaikat Munkar-Nakir.

Hal-hal tersebut di atas sekedar ilustrasi saja bagaimana ajaran Islam masuk ke Indonesia melewati pusat-pusat agama budaya dan terjadi akulturasi pencampuradukan nilai. Orang menganggap bahwa itu semua adat istiadat padahal bukan karena ada perbedaan yang sangat jelas antara adat dengan agama. Dalam surat Albaqoroh 42 Allah berfirman, “Wa laa talbisulhaqqo bilbaatili, wataktumul haqqo waantum ta’lamuun.” Janganlah sekali-kali kamu mencampur adukkan antara nilai-nilai alhaq yang datang dari Islam dengan nilai-nilai bathil yang bukan dari ajaran Islam dan janganlah sekali-kali kamu menyembunyikan, karena itu dilarang Allah apalagi ketika kita mengetahui bahwa itu semua salah.

Begitu Islam masuk ke Indonesia di dalamnya pun sudah terdapat agama-agama budaya dan kepercayaan lainnya; animisme (kepercayaan akan roh) bahwa ada tempat-tempat tertentu yang ditunggui roh (arwah); di pohon besar, di batu besar, di goa yang gelap. Maka agar tidak menggangu diberikanlah sesajen (sesajian). Cara-cara seperti ini masih ada dikalangan masyarakat kita. Datang bulan Muharram (syuro) dimana pada bulan tersebut konon meski banyak kebaikan juga banyak malapetaka oleh sebab itu dibuatlah labuan mengirim sesajen ke gunung atau kelautan bagi arwah yang menunggu ditempat-tempat tersebut.

Dinamisme (kepercayaan akan kekuatan ghaib pada benda-benda tertentu) seperti keris, batu ali, tombak, rambut bahkan tato (rajah) yang dulu dipercaya mempunyai kekuatan magis bisa mengusir jin, hantu sehingga para kriminal dahulu menggunakan tato dengan tujuan jika lari (buron) ke hutan lebat tidak akan diganggu oleh “penunggu hutan” tidak ada yang ditakuti.

Ketika seseorang berangkat haji para tetangga pesan bukan minta do’a tapi minta dibelikan batu ali dengan kepercayaan bahwa batu ali jenis tertentu mempunyai kekuatan magis. Inilah pengaruh dari dinamisme.

Rasulullah Saw pernah mengingatkan, sesungguhnya rukyah dalam pengertian jampi-jampi berbau syirik dan bercampur dengan nilai-nilai bathil, tamimah (isim atau jimat), tiwalah (pelet) semua itu perbuatan syirik yang sangat dilarang dalam ajaran Islam. Namun ada seorang tokoh ormas Islam besar mengatakan bahwa agama Islam yang bercampur aduk dengan nilai-nilai seperti di atas itu katanya “Islam keindonesiaan” yang harus dilestarikan. Ketika kita menggugat hal tersebut maka mereka mencap kita sebagai kelompok fundamentalis dengan terminologi negatif dengan pengertian kelompok ekstreem. Padahal kita hanya mengingatkan apa yang diingatkan Allah, “Wa laa talbisulhaqqo bilbaathili.”

Semua itu bukanlah adat karena menurut kaidah ushuliyah, “Alashlu fiel aadaati ma’qulul ma’na.” Yang disebut adat itu rasional, dapat dimengerti! Berbeda dengan ibadah, “Alashlu fiel ibaadaati ghair ma’qulul ma’na.” Yang disebut ibadah tidak bisa dimengerti; kenapa shubuh dua rakaat dan kenapa dzuhur empat rakaat. Tidak ada jawaban! Orang hanya mengatakan aturannya seperti itu.

Yang disebut adat itu dapat dimengerti akal; kenapa kita makan? Karena lapar! Kenapa kita tidur? Karena ngantuk! Inilah adat. Tapi, kenapa wanita hamil harus membuat manisan rujak tujuh macam? Kenapa pengantin harus menginjak telur? Ini semua tidak ada jawaban! Hal-hal seperti ini sulit untuk dikategorikan sebagai adat istiadat tetapi hal tersebut sama dengan ibadah. Hanya saja jika hal tersebut dikategorikan ibadah adakah sumbernya dari Rasulullah Saw? Kalau tidak ada maka itulah hal-hal yang harus kita jauhi karena termasuk perbuatan-perbuatan bathil yang telah Allah ingatkan dengan keras, “Walaa talbisul haqqo bilbaathil.”

Mudah-mudahan Allah Swt membimbing kita dengan rahmat dan hidayahnya sehingga kita tidak terjerumus ke dalam upaya iltibas percampuradukkan nilai-nilai yang terkontaminasi oleh nilai-nilai bathil seperti ilustrasi di atas.

Mudah-mudahan Allah Swt mengampuni segala kealfaan dan ketidaktahuan kita dan menunjukkan ke jalan yang lurus serta menempatkan kita bersama dengan orang-orang yang berada dalam ni’matnya. Amien!

Sabtu, 11 Februari 2012

Mengantisipasi Ajaran Sesat

Mencermati fenomena berkembangnya aliran sesat di Sumbar sungguh sangat merisaukan. Masyarakat mulai khawatir dan gelisah, terutama kalangan orang tua.  Banyak yang menduga masuknya berbagai ajaran pendangkalan aqidah, baik berupa aksi permurtadan maupun ajaran sesat. Akhir- akhir ini kembali ditemukan ajaran-ajaran sesat di Sumbar. Namun yang sangat disayangkan, aliran ini selalu muncul ditenga-tengah masyarakat yang jauh dari pusat kota, diantaranya di daerah Solok Selatan dan Dharmasraya.
 
Sebenarnya, sudah banyak yang dilakukan pemerintah dan pemuka agama untuk mencegah masuknya aliran sesat ini. Tetapi hal ini sering tak bias dihindarkan oleh factor ekonomi dan minimnya pendidikan masyarakat disuatu daerah. Tentunya hal ini tidak bias dibiarkan terus berkembang, jika kita semua tidak ingin masuk ke lingkaran yang tak diridhoi oleh Allah SWT.
 
Faktor penyebab berkembangnya ajaran sesat
 
Untuk mengantisipasi ajaran sesat, maka terlebih dahulu kita perlu mengetahui penyebab berkembangnya ajaran sesat tersebut. Ibarat penyakit atau virus yang menyerang bagian tubuh kita, maka untuk mengobatinya perlu dilakukan diagnosa. Tujuannya untuk mengetahui penyebab terjangkitnya penyakit tersebut, agar tidak salah dalam memberi obat dan mencegah berkembangnya penyakit tersebut. Maka, demikian pula halnya dengan ajaran sesat, perlu kita kaji dan teliti penyebabnya, agar kita mengetahui akar persoalannya sehingga kita dapat menangkal dan membasmi ajaran sesat secara efektif.
 
Menurut hemat penulis, banyak faktor penyebab berkembangnya ajaran sesat di Aceh dengan mudah dan pesat, diantaranya; Pertama,Kedua, tidak memahami persoalan iman dan aqidah secara benar (sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah). Ketiga, kurangnya pendidikan islami dalam keluarga, khususnya masalah aqidah,. Keempat, kurangnya jumlah jam mata pelajaran/mata kuliah agama di sekolah dan perguruan tinggi, khususnya aqidah. Kelima, meninggalkan al-Quran dan as-Sunnah (syariat Islam tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari). Keenam, tidak adanya pengawasan orang tua terhadap anaknya. Ketujuh, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap ajaran sesat. Kedelapan, kurangnya penyuluhan agama dan pengajian dalam masyarakat, khususnya kajian aqidah ahlussunnah wal jama’ah. Kesembilan, kurangnya sosialisasi ciri-ciri ajaran sesat dan bahayanya. Kesepuluh, tidak adanya aturan dan sanksi tegas terhadap pelaku ajaran sesat. faktor iman yang lemah. 
 
Langkah Antisipasi Ajaran Sesat
 
Untuk mengantisipasi persoalan ini, penulis mencoba menawarkan beberapa solusi sebagai langkah untuk mengantisipasi dan menangkal ajaran sesat;
 
Pertama, kuatkan iman kita. Bila iman kita kuat dan kokoh, maka ajaran sesat itu tertolak dengan sendirinya dan tidak akan “laku”. Namun bila iman kita lemah, maka ajaran sesat dengan mudah mempengaruhi kita. Oleh karena itu iman merupakan faktor terpenting dalam membentengi aqidah. Iman berfungsi sebagai resistansi (penangkal) ajaran sesat. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, maka mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya..” (Yunus: 9)
 
Kedua, pelajari dan pahami aqidah secara  benar, yaitu sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah. Aqidah yang bertentangan dengan keduanya adalah sesat dan menyesatkan. Karena ketidakpahaman persoalan aqidah dengan benar, maka ajaran sesat begitu mudah mempengaruhi alam pikiran kita. Oleh karena itu, Islam mewajibkan ummat menuntut ilmu syar’i (agama), agar selamat dunia akhirat.  Rasulullah saw bersabda, “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim”. Dalam hal ini mempelajari ilmu tauhid, aqidah dan ilmu fikih yang berkaitan dengan ibadah sehari-hari hukumnya wajib ‘ain. Maknanya setiap orang akan berdosa bila tidak mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Berbeda dengan ilmu syar’i lainnnya seperti ushul fiqh, fiqh (selain bab ibadah), hadits, tafsir, bahasa arab dan sebagainya, hukumnya hanya wajib kifayah (tidak berdosa bila ada orang lain yang mempelajarinya dalam suatu kampung).
 
Ketiga, pentingnya peran setiap orang tua dalam mendidik, membimbing dan mengawasi anak. Setiap orang tua wajib memberi perhatian kepada anaknya. Pendidikan Islami, khususnya penanaman  aqidah mesti menjadi prioritas utama, karena dapat membentengi anak dari pendangkalan aqidah (ajaran sesat). Allah berfirman, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (At-Tahrim: 6). Oleh karena itu, setiap orang tua wajib mengajarkan dan membimbing anaknya sesuai petunjuk al-Quran dan as-Sunnah. Bila seorang anak tidak mendapatkan perhatian dan bimbingan dari orang tuanya, maka faktor lingkungannya sangat berpotensi untuk merubah pemikirannya. Maka, setiap orang tua mesti mengawasi gerak-gerik dan pergaulan anaknya. Bisa jadi pendidikan di dalam keluarganya baik, tetapi sikap anaknya berubah menjadi tidak baik ketika bergaul di luar.
 
Keempat, perlu penambahan jam pelajaran/mata kuliah agama, khususnya aqidah, mulai dari sekolah tingkat dasar sampai ke tingkat perguruan tinggi. Selama ini, jumlah jam pelajaran atau mata kuliah agama, terutama aqidah, sangatlah minim. Maka, tidak heran bila banyak siswa dan mahasiswa dengan mudah dipengaruhi oleh ajaran sesat. Meskipun mereka termasuk orang yang cerdas, namun dalam persoalan agama ia tidak cerdas dan tidak paham. Ini memerlukan keseriusan pemerintah Aceh dalam membenahi sistem pendidikan (kurikulum).
 
Kelima, mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari. Membaca, memahami dan mempelajarinya merupakan kewajiban kita sebagai seorang muslim. Tanpa membaca dan mempelajarinya, maka tidak mungkin kita mengamalkan syariat. Selama ini kita telah meninggalkan al-Quran dan Sunnah Rasul saw demi mendapatkan pangkat, jabatan dan harta. Kita sibuk dengan urusan dunia, melupakan urusan akhirat. Rasulullah saw telah bersabda, “Aku tinggalkan kepada kamu sekalian dua hal, jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu al-Quran dan Sunnah Rasul saw” (Hadits). Dengan mengamalkan syariat (al-Quran dan as-Sunnah) dalam kehidupan sehari-hari kita akan selamat di dunia dan di akhirat. Memperbanyak ibadah kepada Allah merupakan jalan mendapat petunjuk dari Allah Swt. Maka, kita akan terjaga dari ajaran sesat.
 
Keenam, mengenal ciri atau kriteria ajaran sesat. Secara umum, suatu ajaran/aliran dikategorikan sesat apabila bertentangan dengan ajaran al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam persoalan i’tiqad (keyakinan) maupun dalam persoalan ibadah, sesuai dengan firman Allah, “Dan barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, ia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata” (al-Ahzab: 36). Namun, untuk memudahkan mengenal ciri ajaran sesat, Majelis Permusyarawan Ulama (MPU) Aceh telah menetapkan 13 kriteria faham/aliran sesat dalam fatwa MPU NAD no 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Identifikasi Aliran Sesat. Dalam fatwanya itu MPU menyatakan bahwa suatu faham atau aliran keagamaan dinyatakan sesat dan menyimpang dari Islam apabila memenuhi salah satu dari kriteria berikut: Pertama, mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6 (enam). Kedua, mengingkari salah satu dari rukun Islam yang 5 (lima). Ketiga, meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan i’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Keempat, meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran. Kelima, mengingkari kemurnian dan atau kebenaran al-Quran. Keenam, melakukan penafsiran al-Quran tidak berdasarkan kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ketujuh, mengingkari kedudukan hadits Nabi sebagai sumber hukum. Kedelapan, melakukan pensyarahan terhadap hadits tidak berdasarkan kaidah-kaidah ilmu musthalah hadits. Kesembilan, menghina dan atau  melecehkan para Nabi dan Rasul Allah. Kesepuluh, mengingkari Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Kesebelas, menghina dan atau  melecehkan para shahabat nabi Muhammad saw. Keduabelas, merubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariat, seperti berhaji tidak ke Baitullah, shalat fardhu tidak 5 waktu dan sebagainya. Ketigabelas, mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i yang sah, seperti mengkafirkan  muslim hanya karena bukan anggota kelompoknya.
 
Ketujuh, menghidupkan pengajian agama di masjid, meunasah (surau), perkantoran, sekolah dan kampus. Pengajian seperti ini diharapkan dapat memberikan pemahaman agama dengan baik dan benar, sehingga kita tidak mudah dipengaruhi oleh ajaran sesat. Saat ini, masih banyak masyarakat yang awam (kurang paham) persoalan agama, meskipun mereka orang terdidik dan bertitel sarjana, bahkan doktor dan professor sekalipun. Walaupun ada pengajian di masjid atau dimana-mana, namun peminatnya sangatlah sedikit. Fenomena ini sangatlah berbeda dengan jumlah peminat acara konsert musik/lagu dan pertandingan bola yang begitu ramai.
 
Kedelapan, mensosialisasikan bahaya ajaran sesat dan kriterianya serta hukuman bagi penyebarnya baik di dunia maupun di akhirat. Sosialisasi ini bisa dilakukan melalui khutbah jumat, ceramah, kultum/taushiah ba’da shalat wajib, dialog interaktif, seminar, spanduk/baleho maupun lewat tulisan di buku, surat kabar, buletin dan sebagainya.
 
Kesembilan, perlunya peran masyarakat. Masyarakat diharapkan pro aktif dalam mengawasi gerik-gerik ajaran sesat. Bila ada hal yang mencurigakan, masyarakat diharapkan untuk melapor kepada pihak berwenang (kepolisian atau MUI/MPU) tanpa mengambil tindakan main hakim sendiri atau anarkis. Ulama dan para ustaz diharapkan turun ketengah masyarakat untuk menjadi bentang pertahanan aqidah ummat dari pengaruh ajaran sesat.
 
Kesepuluh, perlunya peran pemerintah dalam mengawasi ajaran sesat  dan menindak pelakunya dengan sanksi yang tegas, baik pengikutnya maupun penyebarnya. Oleh karena itu, pemerintah mesti membuat suatu aturan atau qanun mengenai hal ini. Aturan ini mesti disertai dengan sanksi yang tegas, sehingga memberi efek pembelajaran. Selain itu, pemerintah harus menyediakan dana yang cukup untuk dakwah dan sosialisasi syariat Islam.
 
Sebenarnya, bahaya ajaran sesat ini bersifat laten sejak dulu. Oleh karena itu, penyelesaian masalah ajaran sesat ini tidak bisa parsial dan “hangat-hangat tahi ayam”.  Mengantisipasi ajaran sesat ini harus dengan langkah yang konprehensif dan mendasar, agar generasi berikutnya dapat diselamatkan. Allah Swt telah mengingatkan, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa dan hendaklah mengucapkan perkataan yang benar”. (An-Nisa’: 9). Semoga kita selalu sadar dan waspada terhadap bahaya ajaran sesat..! Amin.

Sabtu, 04 Februari 2012

Kriteria Aliran Sesat Dan Antisipasinya

Saat ini aliran-aliran serta paham-paham sesat dan menyimpang sedang tumbuh subur dan berkembang di Indonesia. Belum selesai masalah satu aliran sudah aliran yang baru. Lebih 250 aliran sesat di Indonesia dan 50 di antaranya berkembang di Jawa.
 
A. Mudrat Aliran Sesat

Saat ini aliran-aliran serta paham-paham sesat dan menyimpang sedang tumbuh subur dan berkembang di Indonesia. Belum selesai masalah satu aliran sudah aliran yang baru. Lebih 250 aliran sesat di Indonesia dan 50 di antaranya berkembang di Jawa. Selain merusak akidah dan citra Agama, aliran-aliran ini merusak tatanan sosial, merusak hubungan keluarga, merusak persatuan umat, merusak cara berpikir masyarakat, dan bahkan ada yang mengancam kelangsungan NKRI, seperi Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dakwahnya melalui fase sembunyi-sembunyi, fase teranganterangan, fase perang terhadap seluruh yang tidak masuk kelompoknya, fase kemenangan, dan sampai kepada fase mendidikan pemerintahan sendiri.

Para ulama umunya dan MUI khususnya telah banyak menghabiskan tenaga, waktu, pikiran, dan bahkan dana untuk meluruskan dan mengatasi masalah ini. Sehubungan dengan muderat yang ditimbulkan aliran dan paham sesat ini, pemerintah umumnya, dan Presiden SBY khususnya telah menyatakan dukungannya terhadap fatwa-fatwa MUI dan menyatakan bahwa fatwa Agama hanya bisa dikeluarkan oleh MUI. Karena itu, tanggung jawab MUI khususnya dan tanggung jawab para ulama dan dai umumnya semakin besar dalam masalah ini. Jika selama ini, MUI dan para ulama mengurusi dan mengeluarkan fatwa terhadap berbagai aliran sesat berdasarkan tanggung jawab sebagai ulama memelihara dan menjaga kesucian agama serta memelihara akidah umat, maka ke depan, MUI dan para ulama mengurusi aliran dan paham sesat juga menjadi tanggung jawab membangun bangsa dan menindaklanjuti harapan pemerintah.

Kepedulian pemerintah terhadap masalah Agama ini harus disambut dengan sungguh-sungguh karena menyangkut pemeliharaan Agama. Diharapkan Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) di Kejaksaan yang sudah lama kurang aktif dapat diberdayakan bekerja sama dengan MUI dan Kepolisian. Dalam upaya meredam, membendung, dan mengantisipasi muncul dan berkembangnya aliran dan paham sesat, masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan tentang kriterianya, indikasi awal yang mencurigakan dan langkah-langkah membendungnya.

B. Kriteria Sesat

Dalam rangka upaya menangkal dan menghentikan aliran sesat serta menyadarkan para pengikutnya agar kembali ke jalan yang benar, MUI Pusat mengeluarkan Pedoman Identifikasi Aliran Sesat pada tanggal 6 Nopember 2007. Dalam pedoman ini ditetapkan sepuluh kriteria sesat, yaitu:
(1) Mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam,
(2) Meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar'i,
(3) Meyakini turunnya wahyu sesudah Alquran,
(4) Mengingkari autentisitas dan kebenaran isi Alquran,
(5) Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaedah-kaedah tafsir,
(6) Mengingkari kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam,
(7) Menghina, melecehkan dan merendahkan para nabi dan rasul,
(8) Mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir,
(9) Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokokpokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariat, seperti haji tidak ke Baitullah, salat fardu tidak lima waktu,
(10) Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar'i, seperti mengakafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.

Di antara kriteria sesat yang menonjol sekarang adalah pengakuan menjadi nabi, menerima wahyu, dan kedatangan Malaikat Jibril. Lia Eden di Jakarta, Ahmad Mushaddeq di Bogor, Jawa Barat, dan seorang oknum kepala SD di Kabupaten Bungo, Jambi semuanya mengaku nabi. Di zaman Nabi Muhammad saw., seorang yang mengaku nabi dihukum bunuh. Musailamatul Kazzab dan al-Aswad al-'Insi dihukum bunuh karena keyakinan sesat mereka, mengaku sebagai nabi. Bahkan, Abu Bakar memerangi orang murtad dan orang yang enggan membayar zakat.

C. Indikasi Awal Aliran Sesat

Sebagai indikasi awal yang selayaknya menimbulkan kecurigaan terhadap satu paham atau pengajian bisa melalui tanda-tanda berikut :
Pengajian dilaksanakan secara rahasia-rahasia, tertutup kepada selain jamaahnya. Sebagiannya melakukan pengajian tengah malam sampai subuh dan tempatnya pun sangat terisolir. Gurunya tidak dikenal sebagai ahli Agama, tidak pernah menekuni ilmu agama, dan tidak dikenal sebagai orang yang rajin beribadah, tetapi tiba-tiba menjadi pengajar Agama. Adanya bai'at atau mitsaq untuk taat pada guru atau pimpinan pengajian. Bahkan, ada janji yang harus ditandatangani oleh anggota pengajian tersebut. Cara ibadah yang diajarkan aneh dan tidak lazim. Adanya tebusan dosa dengan sejumlah uang yang diserahkan kepada guru atau pimpinan jamaah. Kadang-kadang, pengajian sesat ini mengharuskan adanya sedekah lebih dahulu sebelum berkonsukltasi dengannya.

Adanya penyerahan sejumlah uang, seperti Rp 300.000, dan orang yang menyerahkannya pasti masuk sorga. Adanya sumbangan yang tidak lazim sebagaimana layaknya sumbangan sebuah pengajian. Misalnya, 10% atau 5% dari penghasilan harus diserahkan kepada guru atau pimpinan pengajian. Pengajiannya tidak mempunyai rujukan yang jelas, hanya penafsiran-penafsiran gurunya saja.Pengajiannya tidak memakai Hadis Nabi Saw. Sumber ajaran hanya Alquran dengan penafsiran dan pemahaman guru yang ditetapkan oleh pengajian dan tidak boleh belajar kepada ustaz lain.

D. Faktor-faktor Menjadi Sesat

Kelainan jiwa atau strees merupakan salah satu faktor yang membawa seseorang mengaku berhubungan dengan Jibril, Tuhan, makhluk dan alam gaib. Faktor materi telah membuat banyak orang sesat. Dengan berpura-pura bermaksud untuk memperbaiki keadaan serta memolesnya dengan bahasa Agama, seperti menawarkan pentingnya jihad dan pengorbanan material untuk merealisasikan cita-cita ideal, seorang bisa mendapat simpati dan dukungan dari orang yang memang merindukannya.

Semakin banyak yang tertarik dan mendukungnya, ia pun terus mengembangkan konsep-konsepnya. Setelah pendukungnya sampai mengkultuskannya, ia pun menklaim macam-macam, termasuk klaim mendapat wahyu dan bahkan klaim diangkat Tuhan menjadi nabi. Kelangkaan ulama panutan dan berwibawa yang benar-benar ahli Agama, pengamal Agama, dan pembela Agama merupakan faktor lain menyebabkan pikiran orang yang lemah iman menjadi liar. Intervensi dari luar pun tidak mustahil untuk untuk tujuan mendangkalkan akidah umat, mengaburkan ajaran Agama, dan memecah belah umat Islam. Seperti komunis tetap merupakan bahaya laten yang pada saat tertentu menyusup ke dalam masyarakat dengan baju agama. Demikian juga pihak-pihak yang tidak menginginkan bangsa ini bersatu dan kuat.

Kebodohan terhadap ajaran Islam adalah faktor dominan membuat orang bisa masuk dan mengikuti aliran sesat. Dari sisi lain, faktor ekonomi telah berhasil membuat orang berpindah agama, apalagi sekadar mengikuti paham yang menyimpang. Puberitas keberagamaan merupakan lahan subur bagi aliran sesat. Seorang yang baru merasakan nikmatnya beragama dan belum mempunyai pegangan yang kuat dalam beragama, begitu disuguhkan satu paham keagamaan yang baru besar kemungkinan akan diterimanya. Ketidakpuasan dengan paham dan keadaan Islam yang sedang dalam posisi lemah dan terhina membuat orang mencari paham Islam alternatif. Ketika ditawari dengan paham yang secara zahir idealis tentunya akan menjadi pilihan dan tumpuan harapan bagi orang yang sedang mencarinya. 
 
E. Antisipasi terhadap Aliran Sesat

Membekali umat Islam dengan ilmu Agama yang cukup sehingga mereka memiliki Islam yang terdefinisi merupakan usaha yang mutlak harus dilakukan. Keberagamaan mayoritas umat Islam adalah berdasarkan warisan, bukan berdasarkan ilmu yang dipelajari.Mengamati setiap pengajian, ceramah, tulisan, dan buku yang beredar seharusnya dilakukan semua kalangan sehingga paham sesat tidak sempat hidup dan berkembang melainkan secara dini dapat diantisipasi. Setiap ajaran yang dicurigai hendaknya segera dilaporkan kepada MUI, Kejaksaan, dan Kepolisian untuk diselidiki.

Kejaksaan dan Kepolisian hendaknya proaktif menindak setiap aliran dan paham yang sudah difatwakan oleh MUI dengan mekanisme kerja (1) masyarakat melaporkan ke MUI, (2) MUI mengeluarkan fatwa, (3) Kejaksaan menyidik, (4) Kepolisian menindak, dan (5) Pemerintah membekukan dan melarangnya. Sosialisasi paham dan aliran sesat seharusnya dilakukan di seluruh sekolah, lembaga pendidikan, dan majlis taklim. Masyarakat hendaknya melakukan boikot terhadap pengikut aliran dan paham sesat sehingga mereka terisolir, keadaan mereka sesat diketahui semua warga, dan mereka tidak bisa bergerak untuk menyebarkan pahamnya. Penulisan buku-buku tentang aliran sesat perlu dilakukan dan diedarkan secara luas agar masyarakat mengetahui macam-macam aliran sesat yang berkembang dan mengetahui kesesatannya.