Selamat Datang

Jumat, 16 September 2011

RADIKALISME – TERORISME dan ANAK MUDA


Bom bunuh diri kembali mengguncang ibu pertiwi. Masjid Adz-Dzikro, kompleks Mapolresta Cirebon, pada tanggal 15 April 2011 menjadi tempat untuk “berjihad” Muhammad Syarif Astanagarif (32 tahun). Hanya pelakunya, bomber M Syarif, yang langsung mampus dihajar bom yang dililitkan di tubuhnya. Tampaknya M Syarif berkeinginan mati “sahid” dengan sejumlah polisi khususnya Kepala Polresta Cirebon.

Kendatipun sasaran polisi tidak ada yang meninggal, tetapi serangan M Syarif dan kelompoknya dapat dibilang sukses karena mampu menyerang polisi simbol pemerintah dan penghalang gerakan-gerakan kelompok teroris. Ia dan kelompoknya dapat kembali menebar ketakutan di masyarakat. M Syarif sendiri tentunya merasa sukses karena dapat mati “sahid” melalui “jihad” sesuai keyakinan dan perjuangannya.
Gerakan teroris yang semakin menggila di Indonesia melalui teror bom diberbagai tempat menjadikan masyarakat merasa tidak aman di tempat-tempat umum sekalipun di tempat ibadah. Bahkan bom sudah masuk rumah melalui kiriman paket bom buku yang salah satunya meledak di tangan polisi yang berusaha menjinakkannya.
Bom Cirebon mengingatkan peristiwa bom-bom bunuh diri dan pelaku pengeboman sebelumnya. Para bomber atau pelaku pengeboman atau yang masuk kelompok penganut radikalisme dengan aksi-aksi teror dan kekerasan pada umumnya dilakukan oleh generasi muda di bawah 40 tahun. Bahkan masih remaja sudah sangat berani menjadi bomber bunuh diri seperti yang dilakukan oleh Dani Dwi Permana yang baru berumur 18 tahun ketika menjadi bomber di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton tanggal 17 Juni 2009. Teroris pelaku bom Bali I tahun 2002 seperti Imam Samudra waktu itu berumur 30 tahun, Amrozi berumur 38 tahun, gembong teroris Noordin M Top waktu itu umur 34 tahun. Pelaku-pelaku lain seperti Misno berumur 30 tahun, bomber Bali II tahun 2005 yakni Ayib Hidayat berumur 25 tahun. Mereka tentu sudah sejak usia lebih muda masuk keyakinan yang berideologi radikal. Pendek kata, para teroris dan penganut aliran atau berideologi radikal atau yang masuk kelompok ekstrim pada umumnya dipelajari sejak masih usia muda.
Dari segi kuantitas, memang anak-anak muda yang berideologi radikal kemudian siap mati demi keyakinannya jumlahnya lebih sedikit dibandingkan populasi anak-anak muda yang ada. Akan tetapi, jumlah yang sedikit tersebut sangat berbahaya karena berhaluan keras dan militan. Mereka akan bertindak dengan menggunakan segala cara dan berani melawan norma-norma yang ada untuk mencapai tujuannya. Mereka siap mengorbankan nyawanya demi perjuangan dan keyakianannya. Pemerintah dan aparat keamanan pun selalu dibikin repot oleh ulah kelompok radikal ini. Masyarakat menjadi tidak tenang, kedamaian, persatuan dan kesatuan terus terancam.
Melihat fakta bahwa umumnya para radikalis-teroris dan pelaku anarkis lainnya dilakukan oleh kaum muda, serentetan pertanyaan dapat dilontarkan. Mengapa di era demokrasi gerakan radikalisme tumbuh subur dan tindak anarkis kaum muda terjadi di mana-mana?. Bagaimana peran pemerintah, pemimpin agama, pendidik dan orang tua dalam memberikan pendidikan dan membekali generasi muda untuk bekal hidup berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia yang berdasar Pancasila?. Mampukah Pancasila menjawab kegelisahan dan kekosongan keyakinan anak-anak muda untuk bekal hidup berbangsa dan bernegara yang pluralistik ini?.
Kegagalan Pemerintah
Memasuki era demokrasi mulai tahun 1998, bangsa ini seperti bebas dari belenggu penjajah. Masyarakat menghirup dan menikmati udara kebebasan yang tak terhingga. Rakyat bebas melakukan ekspresi diri dan kelompok melalui berbagai cara dan dalam berbagai bentuk. Euforia kebebasan benar-benar dinikmati dan dijalankan oleh semua rakyat. Akhirnya, di tataran masyarakat, kebebasan menjadi sulit terkendali. Kebebasan yang kebablasan. Pancasila dilupakan, ideologi lain bebas masuk dan dipelajari oleh anak-anak muda tanpa kontrol penguasa. Masyarakat mudah sekali melakukan unjuk rasa yang sering diikuti tindak anarkis. Konflik berbau SARA terjadi di berbagai daerah seperti di Maluku, Poso, Pontianak, Papua, Aceh. Bom meledak di mana-mana tanpa mengenal waktu. Negara sepertinya tidak ada dan tidak dianggap lagi. Aparat kemanan dilecehkan. Rasa kebangsaan sepertinya sudah terhapus dari diri rakyat.
Di tataran pemerintahan, semua produk dan kebijakan orde baru yang dinilai tidak mempunyai semangat reformasi dan demokrasi dianggap tidak baik, kuno “jadul”, dan semua itu harus ditinggalkan dan diganti tatanan yang baru. Segala sesuatu yang berbau Pancasila dinilai tidak baik. Buktinya, MPR dalam Sidang Istimewa tahun 1998 dengan Ketetapan MPR RI No.XVIIII/MPR/1998 mencabut Ketetapan MPR No II/MPR/1978 tentang P-4. Konsekuensinya, BP7 yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan politik dengan label Penataran P-4 dibubarkan. Akibatnya, para pejabat alergi bicara Pancasila. Masyarakat, anak-anak sekolah dan mahasiswa tidak mendapat pendidikan politik melalui Penataran P-4 di awal-awal masuk sekolah/kuliah. “Cuci otak” dengan ideologi Pancasila tak ada lagi. Mereka dibiarkan hidup tanpa pegangan dan pedoman yang jelas dalam berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, ada aliran arus deras ideologi lain masuk memenuhi ruang-ruang kebebasan dan dapat mengisi kekosongan dan kehausan anak-anak muda tentang pegangan hidup baru. Kemajuan teknologi informasi semakin mendorong kemudahan anak-anak muda mencari ideologi alternatif. Islam radikal, sosialisme kiri dan liberalisme menjadi santapan baru anak-anak muda yang semakin kritis. Sedangkan di pihak pemerintah tidak menyiapkan perangkat dan sistem atau model pendidikan politik bagi masyarakat dan generasi muda untuk pengganti P-4. Akibatnya, ideologi lain yang radikal tumbuh subur. Gagasan dan kehendak lama kelompok Islam radikal ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) tumbuh kembali karena pemerintah melakukan pembiaran dan permisif terhadap menjamurnya gerakan radikal yang berbasis ideologi yang berhaluan keras.
Gerakan NII tidak lagi sebagai bahaya dan ancaman laten tetapi sudah manifes dan secara diam-diam telah menjalar ke mana-mana dengan wujud organisasi yang berbeda beda. Ada Jamah Islamiyah,Komando Jihad, dan lain-lain. Sasaran perekrutan anggota kelompok radikal ini adalah kaum muda yang mental ideologinya kosong atau lemah tentang Pancasila dan NKRI. Metode perekrutan melalui rayuan dan diskusi yang secara tidak sadar ditanamkan rasa kebencian terhadap NKRI dan Pancasila serta memutarbalikkan fakta dan ajaran agama. Kasus terbaru, hilangnya 9 mahasiswa di Malang akhirnya terkuak karena diculik oleh kelompok orang yang diduga dari kelompok dan jaringan NII. Para mahasiswa tersebut dicuci otaknya dari kotoran ajaran agama dan kenegaraan yang menurut penculik tidak benar kemudian otak para mahasiswa tersebut diindoktrinasi dengan ajaran-ajaran yang membenarkan NII dan menanamkan kebencian dan permusuhan terhadap keluarga, orang tua, NKRI dan Pancasila.
Anak muda remaja merupakan sosok yang belum mempunyai jati diri dan identitas diri yang jelas. Mereka kelompok yang sedang berburu identitas melalui berbagai pembelajaran dan peniruan. Semangat belajar dan rasa ingin tahu sangat tinggi. Segala sesuatu yang baru ingin dicobanya. Emosinya masih sangat labil. Gambang sekali mengikuti arus yang berkembang di masyarakat. Mereka umumnya membentuk grup, geng atau kelompok sesuai dengan minat dan kemauan. Kondisi seperti ini mudah sekali dimasuki ajaran-ajaran yang menyesatkan oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Itulah sebabnya, para teroris dan kaum radikal mencari dan berburu anak-anak muda yang penghayatan agamanya masih lemah dan mental ideologi berbangsa dan bernegara belum mantap.
Kondisi anak muda yang mudah jatuh dalam gerakan radikalisme dan anarkisme dikarenakan pemerintah melakukan pembiaran akan pendidikan politik. Pemerintah tidak cepat mengambil kebijakan yang dapat menyelamatkan anak-anak muda dari pengaruh radikalisme yang melanda Indonesia pada awal-awal kebangkitan demokrasi. Kekosongan ideologi akibat sikap menghindari Pancasila dan meniadakan P-4 sama saja memberikan kesempatan luas masuknya dan tumbuhnya ideologi lain. Pemerintah sibuk dengan dirinya sendiri sehingga lupa menyelematkan anak-anak bangsa dari pengaruh dan ajaran ideologi radikal.
Karena tiadanya kebijakan dalam pendidikan politik yang jelas, maka para pemimpin umat beragama pun tidak mempunyai pedoman yang dijadikan tuntunan dalam berdakwa yang sejuk, damai, dan mengedepankan persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan bangsa. Selain itu, penegakan hukum oleh pemerintah juga lemah terhadap pelaku anarkis dan kaum radikalis. Partai politik pun setali tiga uang, sama saja, sibuk dengan kepentinganya sendiri, hanya ramai berebut dan bagi-bagi kekuasaan. Parpol belum dapat melaksanakan pendidikan politik untuk rakyat khususnya kaum muda yang mestinya menjadi tugas dan kewajibannya dalam menjalankan salah satu fungsi politiknya. Ormas kepemudaaan dan organisasi kemahasiswaan kurang ada kontrol dan pembinaan dalam melaksanakan aktivitasnya seolah-olah mereka sudah manusia yang matang, padahal mereka anak-anak muda yang sedang dalam proses belajar yang perlu pengawasan dan pengarahan. Tampaknya demokrasi telah disalahgunakan dan dimanfaatkan oleh kaum radikalis untuk menebarkan ideologinya di kalangan kaum muda.
Jalan Keluar
Agar kondisi ini tidak semakin berlarut-larut dan gerakan radikalisme dan anarkisme tidak semakin tumbuh subur di kalangan kaum muda, maka pemerintah secepatnya harus mengambil sikap dan kebijakan.
 Pertama, perlu dipikirkan adanya lembaga semacam BP7 yang secara khusus mengelola pelaksanaan civic education atau pendidikan politik bagi rakyat dengan penekanan kurikulum pada pembentukan watak sebagai orang Indonesia yang mengakui dan menghormati kehidupan yang multikultural atau kebhinekaan yang bersumber Ideologi Pancasila yang disesuaikan dengan tuntutan demokratisasi.
 Kedua, perlu dibentuk lembaga khusus atau memberikan wewenang dan fasilitas kepada ormas agama untuk mendidik, membina dan mengawasi kaum muda yang tersesat atau korban dari ajaran ideologi radikal. Hal ini untuk memutus mata rantai ajaran yang mungkin akan muncul kembali bila tidak dilakukan pembinaan dan pengawasan.
Ketiga, pemerintah harus menfasilitasi para pemimpin agama untuk secara teratur dan berkesinambungan melakukan up dating wawasan tentang Pancasila dan negara kebangsaan NKRI serta kebijakan-kebijakan aktual yang berkaitan dengan upaya terus menerus mewujudkan kedamaian, persatuan dan kesatuan di atas kebhinekaan bangsa. Dengan tambahan bekal wawasan yang selalu baru diharapkan para pemimpin agama / ulama dapat menyampaikan dakwah kepada umatnya hal-hal yang sejuk.
Keempat, kembali dihidupkan pembekalan (seperti P-4) tentang Pancasila sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI kepada anak didik pada awal masuk jenjang sekolah dan kuliah. Kegiatan orientasi sekolah harus ada materi pembekalan ideologi Pancasila dan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Untuk di perguruan tinggi, perlu dipikirkan ulang agar Ideologi Pancasila menjadi mata kuliah wajib yang berdiri sendiri dengan beban sks minimal 3 (tiga), bukan seperti sekarang ini hanya bagian dari mata kuliah kewarganegaraan yang hanya 2 sks. Mempelajari ideologi Pancasila tidak sekedar hafal sila-sila Pancasila dan tahu maknaya, tetapi lebih dari itu yakni faham dan menghayati kandungan filosisnya yang berakar dari warisan budaya bangsa. Diharapkan dengan memberikan pendidikan Ideologi Pancasila yang memadai dan mendasar akan mampu membentengi anak-anak muda dari ideologi radikal.
Kelima, orang tua harus meningkatkan kualitas dan kuantitasnya dalam berkomunikasi dengan anak sehingga kalau ada hal-hal yang dirasa aneh atau di luar kebiasaan dalam bersikap dan berfikir dari diri si anak, maka orang tua dapat cepat mengerti untuk kemudian segera dapat diambil tindakan. Anak-anak muda yang tersesat dalam bertindak pada umumnya dialami dalam keluarga yang komunikasinya antara anak dan orang tua kurang harmonis. Kemajuan teknologi informasi juga berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas komunikasi dalam keluarga. Orang tua dan anak mungkin dekat secara fisik, tetapi masing-masing sibuk dengan HP-nya menjalin komunikasi dengan jaringan dan kelompoknya sendiri-sendiri.
Dan keenam, masyarakat hendaknya waspada dan kritis terhadap kelompok-kelompok pengajian atau pengikut agama yang eksklusif, tertutup dan terkesan menjauhi kehidupan sosial yang normal. Perilaku dan tindakan yang aneh dari lingkungan sekitar atau menyendiri biasanya ada sesuatu yang dirahasiakan. Selain itu, masyarakat juga harus kritis dan waspada terhadap isi ceramah agama yang disampaikan oleh uztads atau pemimpin agama lainnya yang sering atau bahkan terus menerus menanamkan rasa kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah, negara atau agama lain. Isi ceramah dan pengajian yang bernada provokatif merupakan awal atau bibit cikal bakal tumbuhnya sikap dan pemikiran radikalisme dalam masyarakat.

Marilah udara demokrasi patut disyukuri sebagai berkah untuk mengembangkan potensi diri dan kelompok demi untuk kesejahteraan, kedamaian, persatuan dan kesatuan di atas kebhinekaan bangsa dalam bingkai Negara Kebangsaan NKRI yang berdasar Pancasila. Semoga. Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar