Selamat Datang

Kamis, 27 Desember 2012

KIAT-KIAT MENGHINDARI PERPECAHAN


Sebelum membicarakan perpecahan, ada baiknya kita membicarakan terlebih dulu tentang ikhtilaf yang merupakan akar perpecahan. Ketahuilah, ikhtilaf (perselisihan) adalah sunnatullah yang pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَيَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ . إِلاَّمَن رَّحِمَ رَبُّكَ


Kamis, 20 Desember 2012

KEBERSAMAAN DALAM ISLAM ITU... INDAH!!

BISMILLAHIRRAHMAANIRROHIIM...

Bicara tentang kebersamaan dalam Islam, saya kemudian teringat dua buah ayat yang dengan tegas menganjurkan kita untuk senantiasa menjaga kekuatan dan kebersamaan antar kita.
Pertama, dimana Allah berfirman dalam Qs. Ali Imran ayat 103:
Artinya : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.“ (QS. Ali ‘Imran :103)

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ


Kamis, 13 Desember 2012

Islam Agama Yang Toleran

Negara Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan sebuah lembaga yang bernama Pew Research Centers on Religion and Public Life pada November 2010 menobatkan Indonesia sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Meskipun demikian, Indonesia tidak lantas menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama resmi yang diakui oleh negara. Pemerintahan Indonesia justru memberi kebebasan kepada rakyatnya untuk memilih suatu agama yang diyakininya.


Dalam hal ini, pemerintah melalui UUD 1945 menyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya.”


Jika diteliti secara seksama, UUD 1945 tersebut sejatinya sudah sangat sesuai dengan ajaran yang sangat fundamental dalam Islam. Yaitu “tidak ada paksaan dalam agama” (QS Al-Baqarah [2]: 256). Latar belakang turunnya ayat ini adalah, sebagaimana keterangan Ibnu Abbas, bahwa ada seorang Anshor yang bernama Hushain memaksa kedua anaknya yang beragama Kristen supaya mereka masuk agama Islam. Akan tetapi kedua anaknya menolak paksaan itu. Dari latar belakang ini dapat dipahami bahwa seseorang tidak boleh memaksakan keyakinannya kepada orang lain.


Oleh karenanya, untuk mengawal eksistensi UUD 1945 tersebut dibutuhkan sikap toleransi antar umat beragama. Toleransi ini menjadi sangat penting, sebab manusia secara fitrah merupakan makhluk sosial. Dikatakan sebagai makhluk sosial, karena bagaimanapun juga manusia akan selalu berinteraksi dan butuh terhadap orang lain. Nah, Dalam proses interaksi itu tentunya antara satu individu—atau bahkan kelompok, baik masyarakat atau agama—dengan yang lain akan meniscayakan terjadinya perbedaan. Dari sinilah sikap toleran menemukan relevansinya.


Tulisan ini sengaja dihadirkan guna menyikapi isu-isu ʻseksi’ seputar toleransi yang kini banyak dibicarakan baik dari kalangan akademik maupun non-akademik. Target utama dari pembahasan tulisan ini meliputi: (1) makna toleransi dan sejarah perkembangannya, (2) menjawab stereotype bahwa Islam agama tidak toleran, dan
(3) menyikapi isu-isu kekinian: relevansi hukuman mati bagi orang murtad (qotl murtad/apostasi), pembangunan tempat ibadah non-Muslim, dan reinterpretasi konsep jihad.


Toleransi dan Sejarah Perkembangannya


Wacana tentang toleransi merupakan term baru dalam dunia studi pemikiran Islam. Dalam Al-Quran sendiri tidak pernah disebut kata toleransi atau tasamuh (Arab). Meski demikian, bukan berarti toleransi ini haram untuk digunakan. Sebab kata toleransi mempunyai padanan kata dalam Al-Quran, yaitu: al-shofhu dan al-ihsan. Di mana kedua kata ini merupakan lawan kata al-taʻannut, al-taʻashshub, al-tathorruf, dan al-ghuluw. Kata al-Shofhu misalnya dapat di jumpai pada QS Al-Baqarah [2]: 109; Al-Maidah [5]: 13; Al-Hijr [15]: 85; An-Nur [24]: 24; dan Az-Zukhruf [43]: 89. Kata al-ihsan bisa ditemukan pada QS Al-Baqarah [2]: 83 dan 195; An-Nahl [16]: 125 dan 190; Al-Mukminun [23]: 96; Al-Qashas [28]: 77; Al-ʻAnkabut [29]: 46 dan Fushshilat [41]: 34. Sementara itu, Zuhairi Misrawi dalam penelitiannya menemukan 300 ayat yang berbicara tentang toleransi di dalam Al-Quran.


Toleransi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sikap atau sifat toleran. Kata ini merupakan serapan dari bahasa Inggris tolerance. Menurut Abdul Malik Salman,  kata tolerance sendiri berasal dari bahasa latin “tolerare” yang berarti berusaha untuk tetap bertahan hidup, tinggal, atau berinteraksi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak disukai atau disenangi. Dengan demikian, pada awalnya dalam makna tolerance terkandung sikap keterpaksaan.


Adapun dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi adalah samâhah atau tasâmuh. Kata ini pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan), atau saʻat al-shadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan). Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada/terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia. Dengan demikian, berbeda dengan kata tolerance yang mengandung nuansa keterpaksaan, maka kata tasâmuh memiliki keutamaan, karena melambangkan sikap yang bersumber pada kemuliaan diri (al-jûd wa al-karam) dan keikhlasan.


Sejarah toleransi di Barat muncul sebagai respon atas  tindakan penyelewengan dan penindasan dalam berbagai aspek kehidupan, yang meliputi politik, sosial, dan budaya. Nah, berangkat dari banyaknya peristiwa penyelewengan dan penindasan atas nama agama inilah gagasan tentang toleransi mulai berkembang di Barat. Orang yang paling lantang menyuarakan gagasan ini adalah John Locke. Ada tiga gagasan yang ia bawa. Pertama, hukuman yang layak untuk individu yang keluar dari sekte tertentu bukanlah hukuman fisik melainkan cukup ekskomunikasi (pengasingan). Kedua, tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran, sehingga satu sekte tidak boleh mengafirkan sekte yang lain. Ketiga,  pemerintah tidak boleh memihak salah satu sekte, sebab masalah keagamaan adalah masalah privat.


Argumen Toleransi dalam Islam


Sejak awal diturunkannya di muka bumi ini, Islam membawa semangat ajaran perdamaian dan kerukunan. Hal itu tercermin dari nama “Islam” itu sendiri yang berarti bahwa ia adalah agama perdamaian. Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah Swt., Tuhan yang maha kuasa, alam, dan manusia. Lebih dari itu, misi yang sangat mulia ini dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw., yang mana beliau tidak diutus kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.


Selain membawa ajaran perdamaian, Islam juga terbangun di atas prinsip toleransi. Spirit toleransi ini diberikan teladan langsung oleh Nabi Muhammad Saw., para Sahabatnya, dan generasi setelahnya. Keberhasilan Nabi Muhammad Saw. dalam mempersatukan berbagai suku agama penduduk Madinah kala itu menjadi saksi nyata wujud toleransi dalam Islam. Kehidupan yang harmonis dan toleran itu akhirnya diabadikan dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan sebutan ʻPiagam Madinah’ (Mîtsâq al-Madinah/Madinah Charter). Secara garis besar, dasar-dasar toleransi dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Umat Islam meyakini kemuliaan semua manusia, apapun agamanya, sukunya, dan warna kulitnya. Tentang hal ini, Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Isro’[17]: 70 yang berbunyi, “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.”
2. Umat Islam juga menyakini bahwa perbedaan manusia dalam beragama itu sudah menjadi sunnatullah. Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Kahfi [18]: 29 yang berbunyi: “Dan Katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh memaksa orang lain yang berbeda agama untuk masuk Islam. Karena hal itu jelas bertentangan dengan QS Yunus [10]: 99 yang berbunyi: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?
  1. Umat Muslim tidak boleh untuk menghakimi kekufuran atau kesesatan seseorang, karena hal ini bukan merupakan wewenangnya. Yang berhak menjadi hakim atas kekufuran seseorang hanyalah Allah Swt. besok di hari pembalasan (yaumul hisab). Untuk menegaskan hal ini, Allah Swt. berfirman melalui QS Al-Hajj [22]: 68-69 yang berbunyi: “Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah: Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan. Allah akan mengadili di antara kamu pada hari kiamat tentang apa yang kamu dahulu selalu berselisih padanya.
  2. Umat Islam percaya bahwa Allah Swt. memerintahkan keadilan dan beretika yang baik, walaupun itu kepada orang musyrik sekalipun. Dan juga Allah Swt. membenci kelaliman dan ketidak adilan, walaupun tindakan tersebut dilakukan oleh seorang Muslim. Perihal ini, Allah Swt. berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Maidah [5]: 8).[8]
Lalu apakah ayat-ayat di atas hanya sekedar aspirasi atau ajaran yang melangit tanpa adanya aplikasi yang nyata dan tidak menjadi inspirasi bagi umat Islam pada tataran realitas sosial?


Sejarah telah mencatat bahwa toleransi dalam Islam sudah dimulai sejak era Rasulullah Saw. Toleransi terbangun atas dasar “tidak ada paksaan dalam agama.” Tetapi dasar ini juga tidak menafikan unsur dakwah secara bijaksana dan dengan tutur kata yang baik.


 Toleransi tidak terhenti pada zaman Nabi saja, tetapi juga diteladani oleh umat setelah-Nya. Sahabat Umar bin Khatab pernah mewanti-wanti pasukannya ketika mau berangkat perang seraya berkata: “Jangan menghancurkan pohon-pohon buah atau tanah pertanian di jalan yang kalian lalui. Adillah dan jagalah perasaan orang-orang lemah. Hormatilah pemuka-pemuka agama-agama yang tinggal di biara atau pertapaan dan berilah tempat di gedung mereka” (church History by Andrew Miller).


Untuk konteks ke-Indonesia-an sekarang, wujud toleransi umat Islam  bisa ditunjukkan, misalnya, dengan ikut berpartisipasi dalam mengamankan perayaan hari besar umat non-Muslim. Hal ini dinilai sangat penting, sebab pada saat-saat seperti itu biasanya sering digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, dengan meledakkan bom misalnya, yang tujuannya adalah untuk mengadu domba antar umat beragama. Rumusan kongritnya, hal seperti itu diperbolehkan bagi petugas keamanan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti ancaman para teroris, misalnya, yang mengganggu keselamatan mereka. Dan juga hal itu sebagai wujud jaminan keselamatan dari negara.


Sedangkan untuk para relawan—selain petugas keamanan—tidak diperkenankan ikut berpartisipasi mengamankan perayaan hari besar umat non-Muslim kecuali ketika sedang terjadi kerusuhan yang mengancam nyawa orang-orang non-Muslim tersebut. Hal ini semata-mata karena untuk menyelamatkan nyawa mereka.

Kamis, 06 Desember 2012

Belajar Menghargai Pluralisme dari Nabi Muhammad Saw

Indonesia adalah negara yang sangat majemuk, ada banyak suku, agama dan kepercayaan, ras, bahasa, adat istiadat, latar belakang pendidikan, dan banyak perbedaan lainnya. Mungkin karena alasan itulah, sejak dini anak-anak Indonesia sudah mulai mempelajari dan di didik untuk bisa menghargai dan menghormati pluralisme di negara ini.


Tentu kita masih ingat salah satu pelajaran yang diajarkan di sekolah, yaitu Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau yang dikenal dengan singkatan PPKn yang mengajarkan pentingnya tenggang rasa dan saling menghormati di tengah perbedaan atau pluralisme yang ada. Ya, tentu saja hal itu harus diajarkan sejak dini agar bisa menjadi bekal anak-anak dalam berinteraksi dan menghargai keberagaman di sekitarnya.


Apa sebetulnya yang dimaksud dengan pluralisme itu? Setelah di cek dan ricek ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, ternyata yang dimaksud dengan pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk atau berbagai kebudayaan yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat.


Kalau dilihat dari arti katanya, sepertinya Indonesia adalah negara majemuk terbesar di dunia. Berlebihan gak ya? Bagaimana tidak, Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa yang tersebar di seluruh nusantara, 700 lebih bahasa, 6 agama resmi yang diakui pemerintah dan banyak kepercayaan, adat istiadat serta tradisi yang berkembang di masyarakat. Luar biasa bukan?


Keragaman bangsa ini bisa menjadi sebuah karunia dan kekayaan bangsa kalau setiap elemen masyarakatnya bisa saling mengghargai dan menghormati. Tapi, bisa juga jadi bencana. Rupanya inilah yang sedang terjadi pada bangsa Indonesia di beberapa tahun belakangan ini. Setiap bulan, minggu, bahkan hari selalu saja ada kerusuhan, keributan, dan konflik antarkelompok masyarakat.


Hal yang menjadi sumber masalah tidak jauh hanya karena perbedaan agama, suku, bahkan antarkampung pun kini sering sekali terdengar banyaknya kerusuhan dan tragedi berdarah. Sudah sepatutnya kita prihatin dengan nasib bangsa, entah akan seperti apa kelak jika hal ini dibiarkan terus-menerus. Bisa jadi,anak cucu kita nanti akan hidup di suatu masa yang penuh dengan peperangan dengan saudara sebangsa.

Pluralisme- Jenis-jenis Keragaman


Ada banyak keberagaman di tengah masyarakat, semuanya itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya dengan kebudayaan. Berikut ini terdapat beberapa jenis pluralisme yang lazimnya ditemukan dalam tatanan masyarakat.

1. Jenis-jenis Keragaman -  Pluralisme Sosial


Ini adalah bentuk keragaman dalam interaksi sosial di masyarakat. Dimana masyarakat bisa berinteraksi dan berkomunikasi satu dengan yang lainnya dengan penuh rasa hormat dan menghargai satu sama lain, sehingga tidak mengakibatkan konflik atau permusuhan. Hal ini pula yang menjadi salah satu indikator kerukunan suatu kelompok masyarakat.


Tentu saja kondisi yang aman, tenteram, dan nyaman seperti ini akan memberikan banyak keuntungan dan menjadi pendukung untuk kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Perkembangan pendidikan dan kemajuan ekonomi adalah dua di antara sekian banyak manfaat yang bisa dirasakan saat masyarakat bisa hidup dengan rukun dan damai meskipun terdapat banyak perbedaan.


Setiap elemen masyarakat harus saling bahu-membahu dalam menciptakan kondisi masyarakat yang damai. Prinsip yang tepat dalam berinteraksi adalah dengan tidak pernah memandang remeh suku bangsa, bahasa, tradisi dari orang lain, dan menganggap bahwa diri sendiri lebih baik.

2. Jenis-jenis Keragaman - Pluralisme Ilmu Pengetahuan


Untuk jenis yang satu ini, mungkin bisa diartikan sebagai beragamnya pemahaman dalam memahami suatu ilmu. Misalnya saja, yang paling sering kita temukan adalah seringkalinya ada perbedaan dalam penetapan awal puasa, kapan hari lebaran dan sebagainya. Kenapa ini terjadi? Tentu saja karena adanya perbedaan pemahaman.


Namun, perbedaan ini tidak seharusnya menjadi konflik, namun justru menjadi lecutan semangat untuk selalu menggali lebih banyak ilmu untuk mengetahui hakikat yang sebenarnya. Jika perbedaan ini disikapi dengan benar, justru bisa menjadi faktor kemajuan suatu bangsa karena tidak pernah ada kata henti untuk selalu mencari dan menggali ilmu dengan sebaik-baiknya. 


Perbedaan yang mungkin terjadi dalam memahami suatu ilmu di kalangan orang-orang berpendidikan tentunya tidak menyebabkan mereka saling bertengkar dan bermusuhan. Hal itu karena lewat perbedaan inilah, mereka bisa saling belajar sambil menambah kematangan pribadi masing-masing. Hal yang harus dilakukan adalah selalu menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai masing-masing pendapat karena tentu saja tidak mungkin ada suatu pendapat ilmiah tanpa diawali dengan pemikiran dan pembuktian yang ilmiah pula.

3. Jenis-jenis Keragaman - Pluralisme Agama


Pluralisme agama berbeda dengan kedua jenis keragaman sebelumya. Ini lebih sensitif karena dalam hal ini penggunaan kata pluralisme sepertinya tidak bisa disamakan dengan kata toleransi, saling menghormati dan menghargai, serta kata-kata lainnya.


Prinsip pada penggunaan kata pluralisme agama adalah mengganggap bahwa semua agama benar, Tuhan semua agama adalah satu yaitu Tuhan yang sama. Dalam agama Hindu, ini disebut juga dengan sebutan universalisme radikal. Sama halnya dengan agama Hindu, Kristen pun mempunyai pandangan yang sama yakni mengganggap bahwa semua agama benar karena mengajarkan tentang kebaikan.


Namun, berbeda dengan itu semua dalam islam pluralisme agama sangatlah dilarang. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas dalam fatwa nya pada tahun 2005 mengatakan bahwa hal ini adalah haram. Karena Islam menganut prinsip, tidaklah benar semua agama benar karena Islamlah sebagai agama yang benar. Mengingkari hal ini sama artinya telah menyekutukan Allah sebagai Tuhan. Itulah sebabnya maka MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap hal ini.


Lantas apakah artinya Islam tidak menghargai agama lain? tentu tidak, Islam tetap menghargai dan menghormati apapun agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat namun tidak dengan menganggap bahwa semua agama adalah sama.

Pluralisme - Nabi Muhammad Saw Teladan dalam Menghargai Kebebasan dan Perbedaan


Nabi Muhammad Saw adalah Nabi terakhir yang diutus oleh Allah Swt untuk menyempurnakan akhlak manusia. Nabi Muhammad diutus untuk menyebarkan agama Islam dengan penuh kedamaian dan cinta kasih. Bahkan secara tegas Beliau pun mengatakan bahwa tugas utamanya adalah untuk membangun peradaban manusia menjadi lebih baik.


Bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang keras dan kadang bersikap sangat kejam. Misalnya saja ada kebiasaan membunuh bayi yang terlahir dengan jenis kelamin perempuan karena mempunyai anak perempuan seperti aib bagi orang tua terutama orang tua yang berasal dari kalangan bangsawan.


“Sesungguhnya aku ini tidak diutus sebagai pelaknat, tapi aku diutus sebagai pembawa rahmat”,  itulah perkataan Nabi ketika ia diminta untuk membunuh orang-orang yang tidak mau memeluk agama Islam. Inilah peletakan dasar dalam menghormati keragaman dalam masyarakat yang dilakukan oleh Nabi.


Pernyataan ini juga menjadi dasar penegakan dari hak asasi manusia karena Ia tidak serta merta membunuh dan menganiaya orang-orang yang menolak seruannya. Rahmat dan kasih sayang adalah prinsip yang selalu beliau pegang teguh dalam menyebarkan risalah agama islam. Tidak hanya untuk orang-orang yang mau dengan terbuka menerima seruannya, tapi juga berlaku secara umum kepada seluruh umat manusia bahkan kepada orang yang dengan terang-terangan ingin mencelakainya sekalipun.


Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi sekalian alam, telah meletakkan dasar-dasar dalam menghargai setiap perbedaan yang ada. Ada banyak ayat yang tercantum dalam Al-Quran yang menjelaskan secara jelas, tidak pernah ada paksaan untuk memeluk agama ini.  “Bagimu agamamu, bagiku agamaku” adalah penggalan ayat QS Al-Kafirun ayat 6. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai setiap perbedaan dan tidak pernah memaksa orang lain untuk memeluk agamanya. 


Kalau kita belajar masa sejarah kegemilangan Islam, ada banyak hal yang bisa kita pelajari tentang pentingnya tetap menjaga keharmonisan hidup dengan menghargai keragaman yang ada. Hal itu karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka aturan-aturan yang dibuat sangat menekankan prinsip persamaan dan kebebasan yang bertanggung jawab.


Inilah sebabnya ketika Islam menjadi sebuah imperium besar di dunia, tidak pernah ada satu kisahpun yang menceritakan adanya penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan penguasa muslim terhadap rakyat yang memeluk agama yang berbeda.


Negeri yang dikuasai oleh Muslim terbebas dari berbagai aturan dan dampak buruk sistem feodal. Dimana dalam sistem ini, terdapat kasta-kasta yang membedakan antara kelompok masyarakat tertentu dibandingkan yang lain. Misalnya, golongan bangsawan lebih terhormat dan mendapat perlakuan istimewa dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga petani dan lain sebagainya.


Persamaan hak juga berlaku bagi mereka warga negara non-muslim yang berada di negara Islam. Hak mereka sepenuhnya dijamin oleh negara, mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama layaknya warga negara yang beragama islam. Bahkan sahabat Nabi, yakni Abu Bakar mengatakan  “darah mereka sama dengan darah kita” yang dengan jelas menunjukkan bahwa warga non-muslim diperlakukan sama dengan warga muslim lainnya.


Di zaman yang semakin kompleks dan penuh dengan perbedaan ini, sepertinya kita harus kembali kepada tatanan aturan bermasyarakat yang dicontohkan oleh Nabi. Menghargai dan menghormati adalah kunci dari kerukunan masyarakat di tengah beragam pluralisme yang ada.