Dalam beragama atau Pengakuan adanya kekuatan Yang Maha Tinggi,
yaitu
Tuhan, Allah, yang disertai ketundukan itu,
merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap manusia. Kendati
demikian, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak
menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para nabi dan rasul.
Perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau
itikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka (rughbah), takut
(ruhbah), hormat (ta’dzim) dan lain-lain, itulah unsur dasar al-din
(agama). Al-din (agama) adalah aturan-aturan atau tata-cara hidup
manusia yang dipercayainya bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan membentuk suatu syariat
(aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang termaktub di dalam
kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu Ilahi)
maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari
pemikiran manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun ardli, memiliki
fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah: (i)
menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati; (ii) menunjukkan manusia
kepada kebahagiaan hakiki; dan (iii) mengatur kehidupan manusia dalam
kehidupan bersama.
Dari hakikat dan fungsi agama seperti yang
disebutkan itu, maka
pemeluk agama-agama yang ada di dunia ini, telah memiliki strategi,
metoda dan teknik pelaksanaannya masing-masing, yang sudah barang tentu
dan sangat boleh jadi terdapat berbagai perbedaan antara satu dengan
lainnya. Karenanya, umat manusia dalam menjalankan agamanya, sang
Pencipta agama telah berpesan dengan sangat, “Kiranya umat manusia tidak
terjebak dalam perpecahan tatkala menjalankan agama masing-masing,
apalagi perpecahan itu justru bermotivasikan keagamaan”.
Kembali kepada Fitrah Beragama
Dalam kesempatan ini, kami mengajak pembaca untuk
fitrah beragama,
yaitu toleransi yang harus ditegakkan sebagai keyakinan pokok (akidah)
dalam beragama.
Itu maknanya, pengamalan toleransi harus menjadi suatu kesadaran
pribadi dan kelompok yang selalu dihabitualisasikan dalam wujud
interaksi sosial. Toleran maknanya, bersifat atau bersikap menghargai,
membiarkan pendirian, pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan,
kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian
sendiri.
Toleransi/toleran dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi
sesuatu yang sangat berat bagi pribadi-pribadi yang belum menyadarinya.
Padahal perkara tersebut bukan mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan
sebaliknya akan membawa makna besar dalam kehidupan bersama dalam segala
bidang, apalagi dalam domain kehidupan beragama. Toleran dalam
kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan eksisnya
berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia
ini.
Dalam kaitan ini Tuhan telah mengingatkan kepada
umat manusia dengan pesan yang bersifat universal, dalam Q.S. 42 A. 13: “Dia
telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan
kepada Nuh, dan apa yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa
yang telah diwahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah-belah dalam urusan agama.”
Pesan lainnya terkandung dalam Q.S. 3 A. 103: “Dan berpegang teguhlah kamu kepada
agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Pesan universal ini merupakan pesan kepada segenap
umat manusia tidak
terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi
perpecahan antarumat beragama maupun sesama umat beragama. Pesan dari
langit ini menghendaki umat manusia itu memeluk dan menegakkan agama,
karena Tuhan sang Pencipta alam semesta ini telah menciptakan
agama-agama untuk umat manusia, kehendak-Nya hanyalah jangan
berpecah-belah dalam beragama maupun atas nama agama.
Tegakkanlah agama dan jangan berpecah belah dalam
beragama, merupakan
standar normatif Ilahiyah, sebagai patokan baku untuk pembimbingan
perilaku umat manusia dalam beragama. Standar yang bersifat
universalistik ini bermakna ruang lingkupnya berlaku di mana pun dan
kapan pun. Yakni umat beragama dalam berinteraksi antaragama wajib
mengutamakan standar universal ini.
Jangan Berpecah
Tegakkan agama dan jangan berpecah belah dalam beragama. Perintah
ini
juga merupakan standar yang bersifat partikularistik, yang ruang
lingkupnya berlaku bagi kelompok pemeluk agama tertentu di tempat mereka
berada. Dalam menjalankan agama hendaknya menjauhi perpecahan sesama
agama, terlebih perpecahan itu dibungkus oleh orientasi motivasional
maupun orientasi nilai keagamaan.
Tindakan manusia beragama itu selalu memiliki
orientasi, berarti
selalu diarahkan kepada tujuan. Ada dua elemen penting dalam orientasi
tindakan manusia termasuk tindakan manusia dalam beragama yaitu
orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional
adalah yang berhubungan dengan keinginan individu yang bertindak itu
untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan, atau dalam makna
lain, motivasi untuk memperbesar kepuasan jangka panjang dan jangka
pendek.
Sedangkan elemen lainnya adalah orientasi nilai.
Orientasi ini
menunjuk kepada standar-standar normatif yang mempengaruhi dan
mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap tujuan yang dicapai dan
alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.
Walhasil, kebebasan individu dalam bertindak,
dibatasi oleh
standar-standar normatif yang ada dalam masyarakat, baik yang bersifat
Ilahiyah maupun budaya. Segala norma-norma itu bukan berarti
mengeliminir kebebasan manusia dalam beragama, justru menawarkan
berbagai alternatif dalam bertindak, bermakna juga bahwa manusia itu
dalam beragama mempunyai kebebasan penuh yang dibatasi oleh kebebasan
yang dimiliki orang selainnya.
Itu berarti bahwa setiap umat beragama dalam
interaksi sosialnya
mempunyai kebebasan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas
pemeluknya. Interaksi seperti ini sudah barang pasti berkonsekuensi,
minimal saling singgung. Sebab strategi, metoda dan teknik interaksi
masing-masing agama dan para pemeluknya bahkan dalam kalangan suatu
agama dan para pemeluknya, sangat mungkin terjadi perbedaan baik secara
prinsip maupun nonprinsip.
Ini bermakna, dapat kita lihat bahwa
individu-individu itu dalam
beragama memungkinkan dapat menggunakan agama sebagai kekuatan yang
mempersatukan dan sebaliknya juga dapat menggunakannya sebagai
pencerai-beraian, yang mengakibatkan timbulnya konflik.
Toleransi sebagai Nilai dan Norma
Toleransi dalam pengertian yang telah disampaikan,
yang merupakan
keyakinan pokok (akidah) dalam beragama, dapat kita jadikan sebagai
nilai dan norma. Kita katakan sebagai nilai karena toleransi merupakan
gambaran mengenai apa yang kita inginkan, yang pantas, yang berharga,
yang dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai
itu.
Dan nilai (toleransi) akan sangat mempengaruhi
kebudayaan dan
masyarakat. Demikian juga toleransi, dapat kita jadikan suatu norma,
yaitu suatu patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma
memungkinkan seseorang menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya
itu akan dinilai orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku
seseorang.
Karena toleransi sudah kita jadikan nilai dan norma, dan juga
menyangkut sifat dan sikap untuk menghargai pendirian, pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan, dan lain-lain yang
berbeda bahkan bertentangan dengan pendirian sendiri, maka sifat dan
sikap sebagai nilai dan norma itu mesti disosialisasikan. Maknanya,
ialah proses memelajari norma, nilai, peran, dan semua persyaratan
lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif
dalam kehidupan sosial.
Sifat dan sikap toleran ini perlu disosialisasikan,
agar setiap
individu mampu mengamalkan dalam kehidupan nyata di masyarakat luas.
Dalam lingkungan keluarga, kehidupan yang toleran harus disosialisasikan
sejak dini terhadap anggota keluarga (anak-anak). Dan inilah yang
menjadi sosialisasi dasar dalam kehidupan umat manusia, yang dari
padanya dikembangkan sosialisasi lebih lanjut sebagai follow-up.
Hidup beragama yang toleran sekaligus menjadi sikap
dasar dalam
kehidupan sosial masyarakat, yang selalu disosialisasikan dalam tingkat
rumah tangga, merupakan sosialisasi primer, dan sosialisasi sekunder
terjadi sesudah sosialisasi primer itu terjadi. Dan sesungguhnya
sosialisasi primer itu merupakan dasar bagi sosialisasi sekunder. Jika
yang berperan dalam sosialisasi primer adalah seluruh keluarga dalam
rumah tangga, maka yang berperan dalam sosialisasi sekunder adalah luar
rumah tangga, yang dalam kehidupan sekarang ini adalah arena
pembelajaran sekolah.
Di sekolah kita mendapatkan bekal pengetahuan,
kemampuan untuk
berpikir, kemampuan untuk dapat hidup dalam kehidupan sosial yang lebih
luas, mengenal negara, undang-undang, aturan agama dan kehidupan
antarbangsa dan lain-lain. Setelah pembelajaran formal di bangku sekolah
selesai, sosialisasi sekunder masih terus dilakukan dalam kehidupan
yang lebih luas, kita harus menyesuaikan diri dengan berbagai norma
dalam kelompok kerja maupun masyarakat.
Ternyata sosialisasi terhadap sikap hidup toleran
dalam berbagai
bidang kehidupan (agama dan lain-lain), baik primer maupun sekunder,
berlangsung seumur hidup karena kehidupan kita umat manusia dari hari ke
hari adalah kehidupan yang ditandai oleh penambahan pengetahuan, dan
untuk itu kita harus terus belajar, dan berusaha mencari sesuatu yang
baru dalam kehidupan berpengetahuan. Itulah maknanya bahwa sosialisasi
terhadap kehidupan toleran itu merupakan proses yang tak henti-hentinya,
dan terus mencari dan mendapatkan yang lebih baik. Terus berlangsung
seumur hidup umat manusia.
Toleran dan Prinsip Hidup
Berinteraksi dengan jiwa toleran dalam setiap bentuk
aktivitas, tidak
harus membuang prinsip hidup (beragama) yang kita yakini. Kehidupan
yang toleran justru akan menguatkan prinsip hidup (keagamaan) yang kita
yakini. Segalanya menjadi jelas dan tegas tatkala kita meletakkan sikap
mengerti dan memahami terhadap apapun yang nyata berbeda dengan prinsip
yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita, sedangkan pihak yang
berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap sikap dan
keyakinannya.
Dialog disertai deklarasi tegas dan sikap toleran
telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam Q.S. 109: “Wahai
orang yang berbeda prinsip (yang menentang). Aku tidak akan mengabdi
kepada apa yang menjadi pengabdianmu. Dan kamu juga tidak harus mengabdi
kepada apa yang menjadi pengabdianku. Dan sekali-kali aku tidak akan
menjadi pengabdi pengabdianmu. Juga kamu tidak mungkin mengabdi di
pengabdianku. Agamamu untukmu. Dan agamaku untukku.”
Prinsip yang telah dibela oleh Rasulullah sangat
jelas, dengan
sentuhan deklarasi yang tegas. Sedangkan prinsip yang harus dipegang
oleh mereka yang berbeda (penentangnya) juga dijelaskan dengan tegas.
Namun diiringi dengan sikap toleransi yang sangat tinggi: Kamu pada
prinsipmu dan aku pada prinsipku. Yakni sepakat untuk berbeda.
Sikap tegas penuh toleran, tanpa meninggalkan
prinsip seperti itu
dilaksanakan pada saat masyarakat lingkungannya tampil dengan budaya
represif, yang sistem sosialnya dalam proses tidak menghendaki
perubahan, bertahan dengan struktur yang ada (morfostatis). Sedangkan
Nabi Muhammad saw sedang memulai pembentukan kelompok (formation group)
menuju perubahan. Ternyata sikap toleran sangat menentukan proses
terjadinya bentuk serta perubahan atau perkembangan suatu sistem maupun
struktural atau penyederhanaannya (morfogenesis).
Sikap toleran membuahkan kemampuan yang sangat
signifikan dalam
menetapkan pilihan yang terbaik. Mampu mendengar berbagai ungkapan dan
menyaring yang terbaik daripada semua itu.
Sikap toleran juga melahirkan kemampuan mengubah
perilaku individu
(self correction) terhadap pola yang selama itu dilakukan, yang tak
berdaya mengubah masyarakat tradisional, tertutup dan represif, sehingga
tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai. Toleran, tidak menciptakan
individu yang wangkeng, yang tidak mau mengubah perilakunya, walau
tujuannya tidak tercapai. Secara apologi bersikap dan mengatakan bahwa:
Tujuan itu tidak tercapai karena belum waktunya, atau nasibnya memang
demikian dan tidak mau mengubah diri.
Sikap toleran, mampu menemukan jalan keluar dan problem solving
yang
pantas dan mengangkat martabat dan harga diri dalam berbagai bidang
kehidupan.
Dengan sikap toleran, Rasulullah bermigrasi (hijrah)
meninggalkan
kehidupan dan tatanan sosial tradisional represif yang belum mampu
diubahnya menuju kepada tempat dan kelompok masyarakat yang telah
dipersiapkannya untuk dapat menerima perubahan dan bahkan menjadikannya
sebagai agen perubahan di zamannya serta zaman selanjutnya. Bersama
kelompoknya kemudian berinteraksi membaur ke dalam berbagai kelompok
dalam masyarakat yang majemuk baik ras maupun agama. Interaksi yang
sedemikian itu mampu menciptakan kehidupan yang saling membutuhkan dan
saling memerlukan, dalam bentuknya yang saling bertanggung jawab dalam
membela masyarakatnya.
Para Rasul Allah sebagai Rujukan
Bertoleransi
Para rasul Allah telah memberi teladan dan menunjukkan serta mengajarkan
bersikap toleran. Darinya tumbuh berbagai norma yang mencerminkan sikap
toleran. Nabi Muhammad saw mencontohkan, setibanya ke tempat tujuan
migrasi (Yatsrib/Madinah), yang ditempuh pertama kali adalah terciptanya
brotherhood dan penyatuan diri antara kelompok migran dengan berbagai
kelompok penghuni asal (pribumi).
Kemudian menciptakan sistem sosial baru, sebagai
wahana berbagai
kegiatan dari berbagai orang dan kelompok yang saling berhubungan secara
konstan. Sistem baru itu dilegalisir dalam bentuk norma timbal-balik
untuk menciptakan keseimbangan yang memadai antara berbagai kelompok
yang terlibat dalam hubungan sosial di tempat yang baru (Yatsrib). Norma
itu terpatri dalam Sohifah al Madaniyyah (lebih kita kenal dengan
Piagam Madinah).
Piagam Madinah di samping bersifat norma hubungan
timbal balik yang
memadai bagi masyarakat berbilang kaum, juga merupakan perjanjian,
undang-undang politik, tatanan bernegara yang mengandung aturan-aturan
kehidupan bersama dalam sistem sosial besar berbentuk negara, bagi
segenap warganya yang berbilang kaum: Muslim, Yahudi, Nasrani, dan
lain-lain di sebuah negara yang bernama Madinah.
Di tengah kemajemukan masyarakat (negara Madinah),
Nabi Muhammad SAW
sebagai pimpinan negara, berusaha sedaya-upaya untuk meletakkan dan
mendasarkan filosofi misi yang diembannya dalam membangun tatanan hidup
bersama yang mencakup seluruh golongan, sehingga penduduk negara dapat
hidup berdampingan secara damai dan sejahtera.
Prinsip-prinsip umum Piagam Madinah:
-
Monoteisme, Ketuhanan Yang Maha Esa, Tauhid.
- Persatuan dan kesatuan; penegasan bahwa seluruh warga Madinah adalah
satu umat, perlindungannya adalah satu, seluruh warga menanggung
pembiayaan negara.
- Persamaan keadilan bagi seluruh warga negara, semua berstatus sama di
hadapan hukum, penegakan keadilan bagi semua.
-
Kebebasan beragama, semua pemeluk agama bebas menjalankan agamanya,
sebagaimana Muslim menjalankan agamanya.
-
Pembelaan negara, merupakan kewajiban bersama.
-
Pengakuan dan pelestarian adat kebiasaan yang baik.
-
Supremasi aturan dan ajaran Ilahi.
-
Politik damai dan proteksi internal.
Piagam Madinah merupakan manifestasi sikap toleran,
penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia, keadilan, dan kedamaian, yang permanen
adanya. Masyarakat modern dan sehat manapun pasti mengakui hakikat
maknawinya secara jujur. Toleransi dan perdamaian yang terkandung di
dalamnya sangat kental, masyarakat kontemporer patut mengadopsinya, demi
terciptanya dunia yang penuh toleransi dan perdamaian.
Berkaitan dengan Q.S. 42 ayat 13 yang telah
disampaikan terdahulu,
Allah menyebut nama-nama para utusannya yang bertugas membimbing umat
dengan syariat agama-Nya, yaitu Nuh AS, Muhammad SAW, Ibrahim AS., Musa
AS, dan Isa Almasih. Dari para utusan Allah inilah agama samawi
berkembang sampai hari ini dan kelak kemudian. Mereka memiliki
sifat-sifat toleran dan kesabaran yang prima yang perlu diteladani
terus-menerus.