Selamat Datang

Senin, 18 Juni 2012

Rahmatan Lil-‘Alamin Tujuan Risalah Nabi saw

Allah swt berfirman:

وَ مَا أَرْسلْنَك إِلا رَحْمَةً لِّلْعَلَمِينَ‏

“Tidaklah Aku mengutusmu kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya’/21: 107)
 
 
Sebenarnya kata “Rahmat” sangat luas makna dan kaitannya dengan aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an mengkaitkan kata “Rahmat”, misalnya dengan hidayah, keberkahan, shalawat, karunia (fadhilah), maghfirah, sakinah dan mawaddah, serta lainnya. Insya Allah kaitan-kaitan ini akan kami posting dalam artikel-artikel berikutnya secara berkala.
 
 
Rahmat, kasih sayang pada seluruh manusia adalah tujuan dari misi Rasulullah saw. Tujuan ini tak akan pernah tercapai sekiranya misi ini dipisahkan diri Rasulullah saw. Jika hanya mengambil konsepnya saja dan tidak mendeladani beliau, tentu hal ini suatu yang mustahil mencapai tujuan seperti yang dicapai oleh Rasulullah saw. Yang kesuksesannya diakui oleh barat yang objektif, bahkan meletakkan urutan yang pertama dari para pemimpin yang sukses.
 
 
Risalah Nabi saw tidak seperti sains dan tehnologi yang untk menerapkannya cukup mempelajari buku panduannya, tanpa perlu menghadirkan penemunya.
 
 
Risalah Nabi saw bukanlah sesuatu yang sederhana, ia sangatlah kompleks secara ilmu dan terapannya, meliputi segala aspek kehidupan manusia, bahkan alam semesta. Sehingga bagi manusia biasa seperti kita untuk mempelajarinya saja tidak cukup usianya. Belum lagi latihan-latihan mempraktekkannya. Ilmu kedokteran saja, yang jauh lebih spesifik, untuk mempelajarinya secara akademis membutuhkan paling tidak antara 5-7 tahun, itu belum lagi peningkatan kwalitas dan ilmu-ilmu yang berkait dengannya. Paling tidak membutuhkan waktu 10 tahun untuk menjadi dokter yang agak profesional.
 
 
Bagaimana mungkin dengan risalah Nabi saw yang mencakup segala aspek kebutuhan manusia cukup dipelajari hanya 5-10 tahun? Kemudian sebagian kita mengklaim dirinya sudah layak mengemban risalah Nabi saw. Nabi saw yang manusia istimewa membutuhkan waktu 23 tahun, itu yang kelihatan kasat mata, belum lagi ilmu-ilmu khusus yang diajarkan langsung oleh Allah swt tanpa melalui Jibril (as). Dalam waktu yang cukup lama itu Nabi saw memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh, tanpa sedikit pun hati dan pikirannya disibukkan oleh dunia yang mengganggunya.
 
 
Kita pernah menyaksikan, bahkan sering, akibat-akibat fatal yang diderita pasien-pasien bahkan banyak juga yang meninggal, karena dokter yang belum memadai ilmu dan latihan-latihan prakteknya, atau karena penyakit mental yang sebenarnya belum layak mengemban profesi dokter. Insinyur sipil yang belum cukup ilmunya dan belum siap mentalnya menyandang profesinya, bukannya bangunan yang kokoh yang dihasilkan tetapi korban-korban manusia akibat kejatuhan bangunan yang roboh. Juga ekonom yang belum cukup ilmu dan mentalnya pasti berakibat pada jerit dan tangis mansyarakat karena kelaparan.
 
 
Apalagi profesi pelanjut pengemban risalah Nabi saw? Profesi ini jauh lebih bahaya dari dokter, insinyur, ekonom dan profesi lainnya. Karena profesi ini harus menyehatkan manusia secara lahir dan batin, mencerahkan pikiran dan hati mereka, membimbing dan memberi contoh pada mereka dalam segala aspek kehidupan, menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat, mengendalikan semua profesi, membuat kebijakan, menetapkan aturan dan lainnya.
 
 
Oleh karena tugas profesi ini mencakup semua aspek profesi dan kehidupan manusia, maka semestinya kreteria dan syarat-syarat lebih diketat dari profesi yang lain dan tak dapat ditawar-tawar. Sekiranya pengemban profesi ini mekakukan dosa dan kesalahan, maka dosanya tidak diampuni oleh Allah swt, paling tidak sulit diampuni, karena korbannya sangat luas. Apalagi dosa dan kesalahan itu disengaja karena adanya pesanan tertentu atau kepentingan-kepentingan yang lain. Bukti dan fakta akibat buruk darinya bisa kita saksikan dengan kasat mata dalam kehidupan bangsa ini.
 
 
Karena itu, untuk profesi ini Allah dan Rasul-Nya memperketat kreteria dan syarat-syaratnya. Namun sebagian kita yang mempermudahnya, sehingga akibatnya seperti apa yang kita saksikan sekarang ini, seperti benang kusut yang sulit diurainya. Maka sampai kapanpun negeri ini sulit diselesaikan bahkan tak akan terselesaikan sepanjang tidak memperketat kreteria dan syarat-syarat pemimpin dan kepemimpinannya secara ilmu dan mental. Kita akan seperti mimpi di siang bolong, mengharapkan curahan hujan di musim kemarau panjang. Bukannya kesejukan curahan hujan yang datang, tetapi kekeringan yang mencekik kita dan bangsa kita bersamaan dengan gersangnya mental para pemimpin dan kehausan mereka terhadap dunia dan kekuasaan.
 
 
Fakta itu tak dapat kita pungkiri, karena kita menyaksikannya dengan kasat mata. Lalu siapa yang salah dan berdosa? Kita semua. Kita semua akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah swt. Karena kita semua terlibat di dalamnya, langsung atau tak langsung. Paling tidak, ridha terhadap kezaliman, setuju terhadap penyederhanann kreteria dan syarat-syarat pemimpin dan kepemimpinan serta segala perangkatnya.
 
 
Dalam hal kepemimpinan dan mikanisme kita ingin mencontoh Nabi saw. Tapi sayang keinginan itu tak memenuhi persyaratan untuk mencapai keinginan. Mengapa? Karena sebagian kita tidak setuju dengan kreteria dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mengapa saya katakan sebagian kita tidak setuju? Mari kita buktikan dengan pertanyaan dan jawaban berikut ini, dalam tanyakan pada hati kita masing-masing.
 
 
Siapakah yang memilih Rasulullah saw sebagai pemimpin? Mengapa Rasulullah saw hidup sederhana dalam menjalan roda risalahnya? Mengapa Rasulullah saw mendidik keluarganya khsususnya puteri dan mantunya dengan hidup sederhana? Dari sisi yang mana pemimpin kita dan keluarganya mencotoh Rasulullah saw dan keluarganya?
 
 
Mari kita mulai dulu tentang kesederhanan keluarga Nabi saw, karena ini penting bagi para calon pemimpin, dan punya pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa pemimpin. Keluarga Nabi saw hidup dalam kesederhanaan. Coba kita saksikan kehidupan puterinya Fatimah Az-Zahra’ (sa), tangannya melepuh karena banyak menggiling gandum sendiri. Padahal suaminya seorang panglima perang dan ayahnya seorang pemimpin tertinggi. Tentu sekiranya ia ingin mencari peluang dunia dan harta, di situ banyak peluang. Harta rampasan perang melimpah, suaminya panglima perang dan ayahnya pemimpin tertinggi. Ini semua adalah berkat pendidikan Nabi saw terhadap puteri tercintanya.
 
 
Kaitan Risalah dan pengembannya

Dapatkah risalah Nabi saw dipisahkan dari Rasulullah saw sebagai pengembannya?
Mari kita perhatikan ayat ini secara lahiriyah!

وَ مَا أَرْسلْنَك إِلا رَحْمَةً لِّلْعَلَمِينَ‏

Dalam ayat ini tujuan risalah dikaitkan dengan kalimat “Inna Arsalnaka”. Kalimat ini mengandung tiga subtansi penting yang tak dapat dipisahkan yaitu risalah dan diri Rasulullah saw yang dinyakan denga “ka” (kamu), dan Allah swt sebagai penentu dan pemilihnya. Di sini Allah swt sebagai pihak yang mengutus, memilih dan menetapkan Muhammad saw sebagai pengemban risalah-Nya. Allah swt tidak melibatkan manusia siapa pun, Dia menunjkkan otoritas-Nya kepada semua makhluk-Nya, mereka setuju atau tidak setuju, Dia tidak memperdulikan suara mereka. Sikap Allah ini dicontoh oleh Rasulullah saw dalam membuat kebijakan dan keputusan penting. Beliau tidak pernah kompromi dengan pendapat-pendapat manusia siapa pun dalam menjalan roda risalahnya. Apalagi pendapat manusia biasa, kwalitasnya jelas di bawah kwalitas Rasulullah saw, belum lagi pendapat mereka masih diliputi hawa nafsu.
 
 
Tentu dalam hal itu sebagian kita sepakat. Yang mungkin tidak sepakat adalah jawaban dari pertanyaan: Siapakah pelanjut Nabi saw untuk mengemban risalahnya? Pilihan manusia biasa atau pilihan Allah dan Rasul-Nya? Jika kita menjawab: pelanjut Nabi saw harus dipilih oleh manusia biasa, maka konsepnya berbeda tipis dengan demokrasi, yang oleh sebagian pendapat dikatakan sebagai produk zionis, pengembangan dari konsep “suara rakyat suara Tuhan”. Mana mungkin suara rakyat suara Tuhan, buktinya dari dulu hingga sekarang suara rakyat banyak bersebarangan dengan suara Tuhan Yang Maha Esa. Umumnya rakyat ingin senang-senang di dunia Allah menghendaki senang-senang nanti di akhirat. Mereka senang mengikuti hawa nafsu, Allah melarangnya; mereka suka menzalimi orang lain, Allah murka, dan masih banyak contoh lain yang menguatkan bahwa suara rakyat bukan suara Tuhan.
 
 
Anda boleh tidak setuju, tanggung jawab kita nanti masing-masing di hadapan Allah:

Saya ikut pada pendapat yang menyatakan bahwa pelanjut Rasulullah saw dalam pengemban misi kepemimpinannya harus ditunjuk oleh Rasululah saw. Karena saya yakin pilihan Rasululah saw tidak akan salah, dan tidak disertai oleh hawa nafsu. Apalagi menerima sogokan dalam menentukan pilihan. Rasulullah saw jelas suci dari segala sifat yang negatif, dan kwalitan pilihannya jelas paripurna, jauh dibanding dari hasil pilihan manusia biasa. Karena pilihan Rasulullah saw adalah pilihan Allah swt.
 
 
Bagaimana dengan pilihan manusia biasa? Namanya manusia biasa, tentu ada yang baik juga ada yang buruk, ada yang cerdas ada yang lemah, dari dulu hingga sekarang sama saja. Mereka masih diliputi kesalahan dan dosa, hawa nafsu dan keserakahan, cinta dunia dan kekuasaan, kezaliman dan penindasan, dan sifat-sifat negatif lainnya. Jika sifat-sifat ini yang mengusai para pemilihnya, maka hasil pilihannya tidak jauh beda dengan para pemilihnya.
 
 
Dalil-Dalil Nash
 
 
Tentang dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadis tidak perlu dipaparkan secara detail, bagi yang ingin tahu secara detail cukup membacanya di bagian “Asbabun Nuzul” dan “Hadis-hadis pilihan”. Secara nash sudah sangat kuat, tinggal pemahaman terhadap makna nash-nash tersebut, dari keshahihan hadis dan kandungan maknanya.
 
 
Risalah Nabi saw yang terpenting
 
 
Dalam risalah Nabi saw banyak pokok-pokok persoalan. Ulama mengelompokkan menjadi: persoalan akidah, syariat dan akhlak. Dari masing-masing pokok persoalan ini ada sub-sub pembahasan. Rasulullah saw menyampaikan semuanya secara sempurna dalam masa 23 tahun. Selama masa 23 tahun beliau menyampakan risalahnya dengan sempurna dan mencapai puncak kesuksesan. Sehingga Rasulullah saw dipanggil oleh Allah ke haribaan-Nya, wafat.
 
 
Lalu apa penyebab utama yang menentukan Nabi saw mencapai puncak kesuksesan dalam menegakkan risalahnya?
 
 
Jawabannya adalah karena Rasulullah saw itu sendiri sebagai pemimpin dan pengawal risalahnya. Tak ada seorang pun yang mampu membantah beliau dan instruksinya. Sebagai pemimpin beliau punya otoritas, menentukan dan menetapkan kebijakan, dan menjadi tempat rujukan manusia dalam segala aspek kehidupan.
 
 
Jadi, tercapainya tujuan risalah Nabi saw adalah ditentukan oleh pemimpin dan kepemimpinan. Jika misi ini gagal, maka gagallah misi-misi yang lain. Paling tidak, tak akan sempurna. Karena itulah Allah swt berfirman:

يَأَيهَا الرَّسولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْك مِن رَّبِّك وَ إِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْت رِسالَتَهُ وَ اللَّهُ يَعْصِمُك مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا يهْدِى الْقَوْمَ الْكَفِرِينَ‏

“Wahai rasul, segera sampaikan apa yang telah diturunkan dari Tuhanmu. Jika kamu belum juga menyampaikan, maka kamu (dinyatakan) belum menyampaikan risalah-Nya. Allah akan menjaga kamu dari (kejahatan) manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 67)
 
 
Poin-poin penting dalam ayat ini perlu kita renungkan:
1.      Para mufassir menyatakan bahwa ayat ini turun di Madinah menjelang wafat Nabi saw.
2.      Ada risalah terpenting yang belum disampaikan oleh Rasulullah saw, sementara risalah-risalah yang lain sudah disampaikan semuanya.
3.      Allah menyatakan dan menjanjikan jaminan kemanaan dari kejahatan manusia yang tidak setuju terhadap risalah ini.
4.      Allah menyatakan tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang ingkat terhadap risalah ini.
5.      Misi ini disampaikan paling terakhir.
Sebagai penutup ayat tentang tujuan risalah Nabi saw oleh pernyataan Allah swt:
“Sungguh telah Kami catat dalam Zabur sesudah itu dalam Al-Qur’an bahwa bumi ini diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang shaleh.” (Al-Ambiya’: 105)
“Sesungguhnya dalam hal ini terdapat informasi yang indah bagi bangsa yang melakukan pengabdian (kepada Allah).” (Al-Anbiya’: 106)
 
 
Kesimpulan sementara:
1.      Rahmatan lil-‘alamin akan tercapai bila pengemban risalah Nabi saw mencontoh beliau dalam keilmuan dan mental, dan pola hidupnya.
2.      Bumi ini akan berada dalam kendali oleh orang-orang shaleh sebagai perwujudan Rahmatan lil-‘alamin.
3.      Tujuan ini hanya akan dicapai oleh bangsa yang beribadah, dan punya jiwa pengabdian yang tinggi.

Rabu, 13 Juni 2012

Memahami Wajah Islam Rahmatan Lil’Alamin Sesungguhnya

 “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (QS.Al Anbiya:107)
 
 
Ketika Paus Urbanus II membuat opini untuk mengobarkan perang dan merebut kota suci Yerusalem, maka puluhan ribu warga Eropa menyambutnya. Dalam waktu singkat, terbentuklah berbagai macam satuan pasukan tempur.
 
 
Mereka bergerka lewat jalur darat menempuh jarak ribuan kilometer menuju Yerusalem. Setibanya disana, pasukan Eropa itu segera menghadapi pasukan kaum muslimin yang bertahan membela tanah airnya. Pada akhirnya pasukan Eropa memenangkan pertempuran dan berhasil masuk kota Yerusalem.
 
 
Dan terjadilah tragedi itu, beribu-ribu kaum muslimin dibantai. Pria, wanita, tua, muda, besar, kecil, maka dibunuhlah mereka. Pembantaian dilakukan dijalan, dirumah hingga dimasjid. Bahkan, dilantai Masjid Al Aqsha, ada genangan darah melebihi mata kaki orang dewasa. Pasukan Eropa yang sebelum keberangkatannya menaklukan Yerusalem itu diberkati oleh Paus, melakukan pemebersihan etnis besar-besaran.
 
Pasukan Eropa yang seluruhnya beragama kristen dan mengusung tema kasih, justru melakukan pelanggaran atas dogma kekristenannya di Yerusalem. Alih-alih menyebarkan kasih sayang, mereka melakukan kebiadaban yang luar biasa.
 
 
Hal ini berbalik 180 derajat dengan yang terjadi dengan pasukan kaum Muslimin. Ketika hendak bertempur, pasukan kaum muslimin justru diperintahkan untuk mentaati sejumlah aturan moral dalam berperang, seperti : jangan berkhianat, jangan berlebih-lebihan, jangan ingkar janji, jangan memutilasi mayat, jangan membunuh anak kecil, orang tua renta,dan wanita, jangan membakar pohon, menebang atau menyembelih binatang ternak kecuali untuk dimakan, dan jangan mengusik orang-orang ahli kitab yang sedang beribadah.
Pasukan kaum Muslimin tampaknya hanya boleh memerangi pihak musuh yang jelas-jelas mengangkat dan mengarahkan senjatanya ke kaum muslimin. Betapa merepotkan aturan seperti itu. Tapi memang begitulah ajaran Islam : menjunjung tinggi fairness atau keadilan.
 
 
Firman Allah SWT dalam surat Al Maidah [5] ayat 8 : “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebeneran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Keadilan itula kunci agar Islam dan kaum Muslimin bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta).
 
 
Misi Rasulullah SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Masa pra kenabian disebut zaman jahiliyah, era kebodohan. Bodoh yang dimaksud adalah kebodohan secara tauhid dan akhlak. Zaman jahiliyah adalah dimana akhlak manusia begitu rendah. Contoh-contoh praktek akhlak yang rendah misalnya : membunuh bayi perempuan karena dianggap aib, tawaf dalam keadaan tanpa busana, wanita berhubungan dengan banyak pria tanpa ikatan pernikahan dan jika hamil si wanita bisa memilih dari sekian banyak pria yang berhubungan dengannya sebgai ayah si anak, peperangan antar suku, perbudakan dan lain-alin.
Sangat miskin dari nilai-nilai keadilan dan kasih sayang. Maka datanglah wahyu Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW, beliau diperintahkan untuk berdakwah menyempurnakan akhlak manusia dan menjadi rahmat bagi alam semesta.
 
 
Wajah Rahmatan Lil ‘Alamin
 
 
Istilah “rahmatan lil ‘alamin” berangkat dari ruh misi ajaran Islam, bisa juga dianggap bahwa kalimat tersebut merupakan semacam kesimpulan dari seluruh aspek ajaran Islam. Jika setiap aspek ajaran Islam seumpama anak-anak sungai, maka semuanya bermuara ke samudera rahmatan lil ‘alamin.
Dalam Islam ada ajaran pernikahan, dengan pernikahan maka akan terbuka wahana saling mengenal antar keluarga besar kedua mempelai. Hal ini tentu akan menambah ikatan persaudaraan. Melalui pernikahan akan tumbuhlah rasa kasih sayang dalam keluarga, dari sana akan tumbuhlah ketentraman jiwa. Manusia yang tentram jiwanya tentu akan mudah melakukan kebaikan kepada siapa saja, pernikahan bermuara pada rahmatan lil ‘alamin.
 
 
Dalam Islam ada wajib belajar, wahyu yang pertama kali turun kepada nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca, ini merupakan kunci utama dalam belajar. Membaca teks, membaca lingkungan, membaca masyarakat, membaca situasi politik, membaca alam semesta, membaca yang tersirat.
Dengan membaca terkuaklah pengetahuan dan wawasan, namun bukan sekedar membaca, kaum muslimin diperintahkan membaca “dengan nama Tuhanmu yang Maha Menciptakan”. Membaca dengan landasan keimanan, hasilnya adalah pengetahuan yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Bukan pengetahuan yang menjauhkan manusia dari penciptanya, bukan pula pengetahuan yang menghancurkan kemanusiaan. Pengetahuan yang imaniyah inilah yang akan mendatangkan rahmat atau kasih sayang, Iqro’ bermuara pada rahmatan lil ‘alamin.
 
 
Dalam Islam ada kewajiban Sholat, Sholat adalah sarana inti dalam habluminallah, amalan yang kelak akan diperiksa pertama kali di hari kiamat adalah sholat. Setiap manusia beriman mestilah berhubungan dengan Tuhannya, tanpa peranta, langsung, Sholat sarananya.
Menegakkan sholat akan berdampak pada tercegahnya manusia dari perilaku keji dan rendahan, sholat akan menjaga moralitas manusia, sholat akan mendatangkan keamanan bagi lingkungan, sholat bermuara pada rahmatan lil ‘alamin.
 
 
Dalam Islam ada kewajiban zakat, kepemilikan harta dalam islam tidaklah terlarang, siapapun bisa dan boleh memiliki harta yang banyak. Islam hanya menetapkan bahwa harta tersebut haruslah diperoleh dengan jalan yang halal.
Selanjutnya adalah Islam menetapkan bawah didalam harta kita itu, pada hakikatnya, ada hak orang lain, hak tersebut harus dikeluarkan dan disalurkan kepada mustahik, Islam sangat memahami bahwa jiwa manusia itu labil.
 
 
Harta yang banyak akan mampu membuat goyah kejiwaan manusia, harta yang banyak akan mampu menjerumuskan manusia pada kegilaan dan kerakusan, maka tepatlah ajaran zakat. Dengan mengeluarkan zakat yang jumlahnya sangat kecil, maka manusia pemilik harta akan terhindar dari penyakit jiwa seperti keserakahan.
 
 
Sebaliknya, dengan zakat akan menumbuhkan rasa kasih sayang terhadap sesama dan menimbulkan rasa solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Zakat secara akar bahasa memang berarti mensucikan atau membersihkan, zakat akan mampu membersihkan hati manusia dari keserakahan dan menggantinya dengan kasih sayang. Zakat bermuara pada rahmatan lil ‘alamin.
 
 
Hal-hal diatas adalah sekelumit contoh saja wajah rahmatan lil ‘alamin dari ajaran islam, masih banyak ajaran islam yang jika direnungkan dan diuraikan justru akan membuktikan watak rahmatan lil ‘alamin ini.
 
 
Salah Kaprah Lil ‘Alamin
 
 
Adalah sangat tepat jika mengidentikkan Islam dengan kedamaian, rahmatan lil ‘alamin ini sering pula disandingkan dengan kedamaian. Islam yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam yang menampilkan wajah damai, muslim yang rahmatan lili ‘alamin adalah muslim yang menjunjung tinggi perdamaian. Namun, tentu kurang lengkap jika definisi rahmatan lil ‘alamin hanya dihentikan pada kata perdamaian belaka.
Ada sementara pihak yang membuat dan menyebarkan opini bahwa Islam yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam yang meniadakan ajaran jihad dan ammar ma’ruf nahi munkar. Muslim yang rahmatan lil ‘alamin adalah muslim yang “menghormati” hak orang lain, sekalipun “hak” tersebut adalah hak melakukan apapun yang dilarang agama.
 
 
Muslim yang rahmatan lil ‘alamin adalah muslim yang tidak perlu repot melakukan amar ma’ruf nahi munkar, sekalipun lingkungan sekitarnya sangat bejat dan rendah akhlaknya. Muslim yang rahmtan lil ‘alamin adalah muslim yang tidak perlu mencegah upaya pemurtadan karena setiap orang boleh mendakwahkan agamanya dan memilih agama apapun yang hendak dianutnya. Muslim yang rahmatan lil ‘alamin adalah muslim yang baik untuk dirinya sendiri, ini tentu pengertian rahmatan lil ‘alamin yang salah kaprah.
 
 
Muslim yang rahmatan lil ‘alamin adalah muslim yang baik dan berusaha menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (dengan cara-cara ihsan). Muslim yang rahmatan lil ‘alamin adalah muslim yang menampilkan dan menegakkan tauhid dan akhlak pada diri, keluarga dan lingkungannya.
 
 
Mewujudkan Rahmatan Lil ‘Alamin
 
 
Setiap kita berkewajiban menajdi rahmatan lil ‘alamin, mewujudkan rahmatan lil ‘alamin bukanlah sekedar berhenti pada ranah pribadi, ia merupakan sebuah pekerjaan besar yang harus dikerjakan secara kolektif atau berjamaah.
 
 
Mewujudkan rahmatan lil ‘alamin berarti membumikan, menegakkan, dan memelihara seluruh ajaran Islam tanpa kecuali, menghilangkan salah satu saja ajaran Islam, maka jangan harap akan bisa terwujud rahmatan lil ‘alamin yang sempurna.
 
 
Islam yang rahmatan lil ‘alamin mencakup syahadat, sholat, zakat, shaum, haji, jihad, pendidikan, sosial, kebudayaan, hukum, politik, ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya. Semua pihak harus terlibat, terlebih lagi para pengemban amanah kepemimpinan ummat.
 
 
Tapi bagaimanapun juga, langkah pertama yang sangat penting adalah (meminjam ungkapan Allahuyarham Hasan Al Hudaibi):”Tegakkan (ajaran dan semangat) Islam di dalam dirimu, maka niscaya ia akan tegak di masyarakatmu!”
 
 
Wallahu a’lam bisshawab

Sabtu, 09 Juni 2012

ISLAM RAHMATAN LIL ‘ALAMIN

Kehidupan bermasyarakat sebagai sebuah persoalan yang cukup kompleks seringkali menimbulkan fenomena-fenomena sosial yang rentan sekali melahirkan perbedaan-perbedaan atau bahkan perselisihan dalam hal persepsi. Upaya membangun persepsi positif tentang Islam di mata dunia akan sulit terwujud manakala paradigma keislaman tidak mengedepankan visi Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dalam membangun perdamaian dunia hakiki.
 
 
Menurut KH. Hasyim Muzadi, secara etimologis Islam berarti damai. Sedangkam Rahmatan Lil ‘Alamin berarti kasih sayang bagi semesta alam. Maka yang dimaksud dengan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam. Rahmat adalah kurnia yang dalam ajaran agama terbagi menjadi dua. Yakni, rahmat dalam konteks rahman, dan rahmat dalam konteks rahim. Rahmat dalam konteks rahman adalah bersifat amma kulli syai’ (universal), meliputi segala hal, sehingga orang-orang non Muslim pun mempunyai hak kerahmanan. Sementara rahmat dalam konteks rahim adalah kerahmatan Allah SWT, yang khoshshun lil muslimin, atau hanya diberikan kepada umat Islam.
 
 
Memahami Islam dalam memandang dan menyikapi masalah-masalah sosial kemasyarakatan, hendaknya diperhatikan dua dimensinya : Pertama, dimensi tekstual, artinya nash-nash yang diberikan oleh Islam kepada umatnya melalui ayat al-Qur’an atau Sunnatur Rasul, juga petunjuk-petunjuk para sahabat nabi dan ulama melalui karya-karya ilmiah mereka. Kedua, dimensi kontekstual, artinya yang menyangkut kondisi dan situasi uamt serta fenomena-fenomena sosial yang dipengaruhi oleh tuntutan waktu dan tempat, sehingga menampilkan suatu citra tertentu terhadap Islam.
 
 
Dalam kajian Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan nilai, tentunya kita semua setuju, bahwa memang Islam telah meletakkan konsep dan doktrin yang memberikan rahmat bagi al-‘alamin. Namun sejarah umat Islam kerapkali mencatat fenomena-fenomena sosial yang dialami oleh komunitas ini sebagai kebalikan atau paling tidak penyimpangan berat dari konsep-konsep dasar kemasyarakatan Islam. Disini menunjukkan, suatu nilai-nilai normative itu pada saat tertentu memang harus berbenturan dengan realitas sosial yang dipengaruhi oleh bermacam-macam kepentingandan tuntutan akan mengalalami bahaya distorsi.
 
 
Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normatif, begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota sosial. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut : a. Konsep kesamaan (as-sawiyah) ; yang memandang manusia pada dasarnya sama derajatnya. Terjadinya stratifikasi sosial maupun pejenjangan lainnya itu terbenrtuk karena proses lain. Satu-satunya pembedaan kualitatif dalam pandangan Islam adalah ketaqwaan. Konsep ini secara sosiologis membongkar feodalisme, baik feodalisme religius, feodalisme kapitalis atau feodalisme aristokratis. Berapa macam pengkotakan sosial yang seharusnya tumbang menghadapi konsep ini? b. Konsep keadilan (al-‘adalah) ; yang membongkar budaya nepotisme dan sikap-sikap korup, baik dalam politik, ekonomi, hukum, hak dan kewajiban, bahkan dalam praktek-praktek keagamaan. Keresahan sosial dalam sejarah peradaban manusia hampir selalu bermuara pada ‘rasa diberlakukan tidak adil’. Dan masalah ini lebih rawan dari pada rasa kurang makmur. Keadilan tersebut menyangkut harkat hidup manusia dan harga diri. c. Konsep kebebasan / kemerdekaan (al-hurriyah) ; yang memandang semua manusia pada hakekatnya hanya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan hamba manusia. Berakar dari konsep ini, maka manusia dalam pandangan Islam mempunyai kemerdekaan dalam memilih profesi, dalam memilih wilayah hidup, bahkan dalam menentukan pilihan aganapun tidak dapat dipaksa.
 
 
Jika kita mengamati dari sisi kesejarahan, ternyata kita kerapkali menemukan hal-hal yang berbeda dengan konsep dasar tersebut. Masalahnya, kerapkali kepentingan politik, ekonomi dan lain-lainnya memaksakan agama sebagai justifikasi kepentingan tersebut. Sehingga Islam menampilkan diri dalam versi pucat dan kurang cerah lagi, Islam kehilangan wajah aslinya, yang tampil pada permukaan sebenarnya adalah wajah kepentingan-kepentingan tersebut.
 
 
Karena adanya percampur-adukkan pemahaman orang tentang realitas kebenaran tersebut, maka sering orang memandang Islam seperti apa yang dilakukan oleh sementara umatnya, pada suatu waktu atau suatu tempat. Mungkin orang melihat Islam itu identik dengan kekerasan, mungkin juga orang menyamakan kebenaran Islam dengan pengakuan benarnya seorang tokoh kharismatik. Bahkan mungkin orang menganggap etika Islam itu sama dengan teroris dan pembajak.
 
 
Untuk mengembalikan citra Islam yang rahmatan lil ‘alamin memang memerlukan suatu pemikiran dan upaya yang serius dan rasional. Isu ‘tajdid yang yang selama ini terdengar bersumber dari : Pertama, Keprihatinan teologis, karena banyaknya penyimpangan konsepsional dan doktrial dari Islam itu sendiri, ditengah-tengah munculnya berbagai interest dan kemauan-kemauan. Kedua, Keprihatinan struktural, karena realitas sosial Islam jauh diluar idealisasi Islam sendiri. Permusuhan, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan menggejala dalam kehidupan umat Islam. Ketiga, Keterpesonaan pengaruh mitos modernisasi barat, yang terlanjur menjadi kebudayaan masa kini, dengan segala akibat dan kebobrokannya. Tapi masih menjadi orang, karena yang lain belum mampu membuktikan kelebihannya.
 

Untuk memberi warna yang lebih cerah kepada Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, memang tidak cukup dengan semangat ortodoksi saja, namun juga ada semangat ortopraksi, yang mampu membawa Islam menjawab kebutuhan nyata yang dihadapi umat manusia masa sekarang. Islam harus dapat landing ditengah-tengah kebutuhan hidup manusia modern masa kini dan mendatang. Dan Islam memiliki potensi untuk itu, tinggal manusia muslimnya ditantang kemampuannya untuk menerjemahkan Islam dengan segala nilainya agar tetap rahmatan lil ‘alamin.

Rabu, 06 Juni 2012

Makna Rahmatan Lil ‘Aalamiin, Antara Pluralisme dan Islam

Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘aalamiin, begitulah ungkapan yang sering kita dengar. Saking populernya ungkapan ini, begitu banyak orang yang menggunakannya, dengan kepentingan masing-masing, kadang tanpa mengetahui makna sebenarnya dari ungkapan tersebut.

Dalam sebuah berita di situs Republika.co.id, ketua umum Garda Bangsa, M. Hanif Dakhiri misalnya menyatakan, “Jadi, Islam Indonesia itu ya Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Itu pasti moderat, toleran, anti-kekerasan dan menolak ide negara Islam. Yang mengusung panji-panji Islam tetapi tidak rahmatan lil ‘alamin saya kira bukan Islam Indonesia. Itu Islam yang lain, yang asing dalam konteks kebudayaan masyarakat Indonesia yang majemuk.” 

Di situs islamlib.com, Muzayyin Ahyar, mengutip Ulil Abshar Abdalla, menyatakan, “Kemanusiaan, tegas Ulil, adalah nilai yang sejalan dengan Islam, bukan berlawanan dengan Islam. Islam dengan pandangannya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin mendskripsikan keuniversalan Islam tersebut. Allah bukan hanya Tuhan yang diperuntukkan bagi etnis Arab saja, tetapi semua etnis dan suku yang mengakui dzat-Nya dan menjalankan nilai universal yang merupakan the greatest goal dari sebuah praktek yang telah di buat oleh-Nya.” 

Marzuki Wahid, Direktur Fahmina Institute, menyatakan, “Islam-murni (puritan) bagi mereka adalah Islam sebagaimana dijalankan Rasulullah SAW selama hidupnya di Arab pada abad ketujuh Masehi di padang pasir, yang belum mengenal teknologi secanggih hari ini. Demi menjaga kemurnian ajaran Islam, penganut Islam di manapun berada diharuskan meniru dan mengikuti “Islam masa Rasulullah” dengan keseluruhan budaya dan tradisi kearabannya. Jika model Islam ini yang diikuti, maka yang terjadi adalah arabisasi, pengaraban dunia. Jika Islam adalah arabisasi, maka Islam tentu bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis (sebab kata “Arab” adalah konsep politik). Jika Islam bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis, maka tentu bertentangan dengan misi utama Islam sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin, menebarkan cinta-kasih kepada seluruh umat manusia di dunia dan segala ciptaan Tuhan di alam semesta.” 

Lihatlah tiga contoh pernyataan di atas, semuanya memaknai Islam rahmatan lil ‘aalamiin sebagai Islam yang anti kekerasan, Islam yang toleran terhadap semua perbedaan, serta Islam yang tidak mengikuti Islam ala Arab. Jika kita telisik lebih dalam, yang dimaksud anti kekerasan oleh mereka bukanlah sekedar kekerasan fisik, namun juga kekerasan pemikiran.
Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin, versi mereka, adalah Islam yang harus selalu menerima perbedaan yang ada di tengah-tengah umat Islam, baik perbedaan itu dalam perkara-perkara furu’i maupun ushuli. Jadi, Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin adalah Islam yang menerima Ahmadiyah –yang menyatakan ada Nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai bagian dari Islam.

Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin, versi mereka, adalah Islam yang mengakomodasi berbagai kemaksiatan, karena menurut mereka, tidak ada pemahaman baku terhadap kemaksiatan itu sendiri. Sebagai contoh, orang yang murtad, dalam literatur fiqih Islam, adalah pelaku kemaksiatan yang sangat besar dan layak dihukum berat, namun bagi pengusung Islam rahmatan lil ‘aalamiin, orang murtad harus dibiarkan hidup bebas dan tidak boleh diganggu sama sekali. Mengikuti perayaan agama non-Islam, dalam khazanah fiqih Islam, adalah terlarang, namun bagi pengusung Islam rahmatan lil ‘aalamiin, mengikuti misa natal di gereja sama pentingnya dengan shalat di masjid.
Bagi kelompok ini, Islam ala Arab adalah musuh utama. Jilbab (baju kurung panjang), bagi mereka, adalah pakaian wanita khas Arab dan tidak cocok dipakai di Indonesia. Hukum potong tangan bagi pencuri dan qishash bagi pelaku pembunuhan, menurut mereka adalah hukuman khas Arab yang kejam dan kurang beradab, sehingga penerapan hukuman semacam itu harus dihindari. Konsep Khilafah Islamiyah, bagi mereka adalah konsep khas Arab, dan tidak cocok untuk bangsa Indonesia yang majemuk.

Kesimpulannya adalah, Islam rahmatan lil ‘aalamiin versi Ulil dan kawan-kawan sebenarnya bukanlah Islam rahmatan lil ‘aalamiin, melainkan ‘Islam semau gue’. Demi mengusung ide pluralisme agama, mereka berani mengubah makna-makna dalam al-Qur’an, bahkan memelintir tafsirnya agar sesuai dengan pemahaman mereka. Ulil dan kawan-kawan sejatinya tidak mengusung Islam rahmatan lil ‘aalamin, melainkan sedang menjajakan pluralisme dan kekufuran berpikir dengan bungkus agama.

Makna Rahmatan Lil ‘Aalamiin yang Sebenarnya


Dalam tradisi Islam, tak semua orang boleh berbicara dan menjadi rujukan dalam agama. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum ia layak berbicara. Dan tradisi ini adalah tradisi yang baik, yang harus terus dilestarikan. Dari tradisi semacam inilah, kemurnian ajaran Islam terus bertahan selama belasan abad.

Di bidang yang berbeda pun hal ini sebenarnya ada dan terus berlaku. Sebagai contoh, seseorang tak berhak berbicara tentang dunia pengobatan dan kedokteran sebelum mendalami ilmu kedokteran yang standar selama bertahun-tahun. Seseorang tak layak dan tak berhak menjadi pilot pesawat terbang, sebelum sekolah di bidang tersebut dalam rentang waktu tertentu dan akhirnya dianggap layak menjadi pilot. Jika ada orang yang tak punya kapabilitas sebagai pilot mencoba mengemudikan pesawat terbang, kita tentu bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
Demikian pula untuk memahami makna-makna al-Qur’an, bagi yang tak punya kapasitas keilmuan yang mencukupi, lebih baik mengikuti pendapat ‘ulama yang diakui keilmuannya. Imam Ibn Katsir rahimahullah adalah salah satu ‘ulama tafsir paling berpengaruh, dan kitab tafsir yang ditulis oleh beliau diakui selama beratus tahun sebagai salah satu kitab tafsir terbaik dan layak menjadi rujukan umat Islam.

Bagaimana Imam Ibn Katsir memahami makna rahmatan lil ‘aalamiin? Sebagaimana kita ketahui, ungkapan Islam rahmatan lil ‘aalamiin merujuk pada al-Qur’an surah al-Anbiyaa’ ayat 107, yang berbunyi:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
Artinya: “Dan tidaklah Kami mengutusmu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Mengomentari ayat ini, Imam Ibn Katsir berkata:
يخبر تعالى أن الله جعل محمدا صلى الله عليه وسلم رحمة للعالمين، أي: أرسله رحمة لهم كلهم، فمن قبل هذه الرحمة وشكر هذه النعمة، سعد في الدنيا والآخرة، ومن ردها وجحدها خسر في الدنيا والآخرة
Artinya: “Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Maksudnya adalah, Allah mengutusnya sebagai rahmat bagi mereka seluruhnya. Barangsiapa menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, maka ia akan bahagia di dunia dan akhirat, dan barangsiapa yang menolak dan mengingkarinya, maka ia akan merugi di dunia dan akhirat.”

Setelah berkomentar seperti di atas, Imam Ibn Katsir kemudian mengutip ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan tema ini, yaitu surah Ibrahim ayat 28 dan 29, sebagai berikut:
ألم تر إلى الذين بدلوا نعمة الله كفرا وأحلوا قومهم دار البوار ؛ جهنم يصلونها وبئس القرار
Artinya: “Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?, Yaitu neraka Jahannam, mereka masuk ke dalamnya, dan Itulah seburuk-buruk tempat kediaman.”

Dari penjelasan Imam Ibn Katsir di atas, bisa kita pahami bahwa diutusnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam –membawa diin Islam– merupakan rahmat atau kasih sayang bagi seluruh alam. Namun, manusia menyikapi hadirnya rahmat ini dengan dua sikap. Pertama, yang menerima rahmat ini dan mensyukuri kehadirannya. Orang-orang yang menerima rahmat ini adalah orang-orang yang menjadikan Islam –yang dibawa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai diin mereka, mereka akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Kedua, yang menolak dan yang mengingkari, yaitu orang-orang yang menolak seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk hanya berpegang pada diin Islam, mereka akan merugi di dunia dan di akhirat.

Dari penjelasan Imam Ibn Katsir di atas, kita tidak menemukan makna rahmatan lil ‘aalamiin sebagaimana yang dipahami kelompok liberal dan pendukung pluralisme. Bahkan, di banyak ayat, al-Qur’an memberi garis yang sangat tegas antara keimanan dan kekufuran, antara ketaatan dan kemaksiatan.

Penjelasan yang serupa dengan yang disampaikan oleh Imam Ibn Katsir juga kita temukan di kitab at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj karya ulama kontemporer, Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah. Beliau mengatakan:
أي وما أرسلناك يا محمد بشريعة القرآن وهديه وأحكامه إلا لرحمة جميع العالم من الإنس والجن في الدنيا والآخرة، فمن قبل هذه الرحمة، وشكر هذه النعمة، سعد في الدنيا والآخرة، ومن ردّها وجحدها، خسر الدنيا والآخرة
Artinya: “Maknanya yaitu, dan Kami tidak mengutusmu wahai Muhammad dengan syari’ah, petunjuk dan hukum-hukum al-Qur’an kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam, dari kalangan manusia dan jin, di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menerima rahmat ini dan mensyukuri nikmat ini, maka ia akan bahagia di dunia dan akhirat, dan barangsiapa yang menolak dan mengingkarinya, ia akan merugi di dunia dan di akhirat.”

Lihatlah, dengan sangat tegas Dr. Wahbah az-Zuhaili menyatakan yang dimaksud dengan rahmat bagi seluruh alam itu adalah syari’ah, petunjuk dan hukum-hukum al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jauh sekali dari pemahaman kalangan liberal yang memaknai Islam rahmatan lil ‘aalamiin sebagai Islam yang meniadakan banyak sekali hukum-hukum al-Qur’an hanya demi toleransi dan keragaman yang semu.

*****

Hadirnya Islam di tengah-tengah kita merupakan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berdasarkan riwayat dari Imam ath-Thabari rahimahullah, menyatakan bahwa orang-orang kafir pun merasakan rahmat ini, yaitu dengan diselamatkannya mereka dari bencana yang ditimpakan kepada orang-orang kafir dari umat-umat terdahulu, seperti ditenggelamkan ke dalam bumi, atau ditenggelamkan ke dalam air. Tentu di akhirat orang-orang kafir ini tetap akan mendapat siksa, dan di dunia pun hidup mereka tidak akan bahagia.

Saat ini, kita berada pada dua pilihan, menerima dan mensyukuri adanya rahmat Allah ini, dengan hanya menjadikan diin Islam sebagai way of life. Atau sebaliknya, mengingkari rahmat Allah ini, dengan mengusung ide dan pemikiran yang bertentangan dengan diin Islam. Di manakah posisi kita?

*****

Jumat, 01 Juni 2012

Islam, Rahmatan Lil ‘Alamin

Benar bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun banyak orang menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat fundamental, yaitu dalam masalah aqidah.

Pernyataan  bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.
Secara bahasa,
الرَّحْمة: الرِّقَّةُ والتَّعَطُّفُ
rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.

Penafsiran Para Ahli Tafsir

1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim:
“Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat disini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.

Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus.
Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga, dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran.

Orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.

Orang munafik, yang menampakkan iman secara zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain.
Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala tidak memberikan adzab yang menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.

Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima. Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan fulan tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”

2. Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:

“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”

3. Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:

“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat ini:
من آمن بالله واليوم الآخر كتب له الرحمة في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن بالله ورسوله عوفي مما أصاب الأمم من الخسف والقذف
Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar
dalam riwayat yang lain:
تمت الرحمة لمن آمن به في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن به عوفي مما أصاب الأمم قبل
Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu

Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini:
فهو لهؤلاء فتنة ولهؤلاء رحمة , وقد جاء الأمر مجملا رحمة للعالمين . والعالمون هاهنا : من آمن به وصدقه وأطاعه
Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya

Pendapat yang benar dari dua pendapat ini adalah pendapat yang pertama, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, baik mu’min maupun kafir. Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah. Sedangkan rahmat bagi orang kafir, berupa tidak disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah” (diterjemahkan secara ringkas).

4. Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi

“Said bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
كان محمد صلى الله عليه وسلم رحمة لجميع الناس فمن آمن به وصدق به سعد , ومن لم يؤمن به سلم مما لحق الأمم من الخسف والغرق
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman dan membenarkan ajaran beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman kepada beliau, diselamatkan dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa ditenggelamkan ke dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air
Ibnu Zaid berkata:
أراد بالعالمين المؤمنين خاص
Yang dimaksud ‘seluruh manusia’ dalam ayat ini adalah hanya orang-orang yang beriman” ”
5. Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir
“Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam sebuah hadits:
إنما أنا رحمة مهداة
Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’, 2345)

Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau ditenggelamkan dengan air”
Pemahaman Yang Salah Kaprah
Permasalahan muncul ketika orang-orang menafsirkan ayat ini secara serampangan, bermodal pemahaman bahasa dan logika yang dangkal. Atau berusaha memaksakan makna ayat agar sesuai dengan hawa nafsunya. Diantaranya pemahaman tersebut adalah:
1. Berkasih sayang dengan orang kafir
Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan benar, dengan berdalil dengan ayat:
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta” (QS. Al Anbiya: 107)
Padahal bukan demikian tafsiran dari ayat ini. Allah Ta’ala menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, namun bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah dengan berkasih sayang kepada mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat terdahulu. Inilah bentuk kasih sayang Allah terhadap orang kafir, dari penjelasan sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu.
Bahkan konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, serta membenci orang-orang yang melakukannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)

Namun perlu dicatat, harus membenci bukan berarti harus membunuh, melukai, atau menyakiti orang kafir yang kita temui. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam tafsir beliau di atas, bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula yang tidak boleh dilukai.

Menjadikan surat Al Anbiya ayat 107 sebagai dalil pluralisme agama juga merupakan pemahaman yang menyimpang. Karena ayat-ayat Al Qur’an tidak mungkin saling bertentangan. Bukankah Allah Ta’ala sendiri yang berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ
Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al Imran: 85)

Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan ‘berserah diri’. Jadi semua agama benar asalkan berserah diri kepada Tuhan, kata mereka. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:
الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا
”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8)

Justru surat Al Anbiya ayat 107 ini adlalah bantahan telak terhadap pluralisme agama. Karena ayat ini adalah dalil bahwa semua manusia di muka bumi wajib memeluk agama Islam. Karena Islam itu ‘lil alamin‘, diperuntukkan bagi seluruh manusia di muka bumi. Sebagaimana dijelaskan Imam Ibnul Qayyim di atas: “Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya”.

2. Berkasih sayang dalam kemungkaran

Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum bahkan membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan menasehati mereka karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian berkata : “Islam khan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”. Sungguh aneh.

Padahal bukanlah demikian tafsir surat Al Anbiya ayat 107 ini. Islam sebagai rahmat Allah bukanlah bermakna berbelas kasihan kepada pelaku kemungkaran dan membiarkan mereka dalam kemungkarannya. Sebagaiman dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah”.

Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah dengan memberi mereka petunjuk untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah. Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.

Dan sikap rahmat pun diperlukan dalam mengingkari maksiat. Sepatutnya pengingkaran terhadap maksiat mendahulukan sikap lembut dan penuh kasih sayang, bukan mendahulukan sikap kasar dan keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam bersabda:
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه . ولا ينزع من شيء إلا شانه
Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali akan menghiasnya. Tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya” (HR. Muslim no. 2594)

3. Berkasih sayang dalam penyimpangan beragama

Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk melegalkan berbagai bentuk bid’ah, syirik dan khurafat. Karena mereka menganggap bentuk-bentuk penyimpangan tersebut adalah perbedaan pendapat yang harus ditoleransi sehingga merekapun berkata: “Biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami, bukankah Islam rahmatan lil’alamin?”. Sungguh aneh.
Menafsirkan rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107 dengan kasih sayang dan toleransi terhadap semua pemahaman yang ada pada kaum muslimin, adalah penafsiran yang sangat jauh. Tidak ada ahli tafsir yang menafsirkan demikian.

Perpecahan ditubuh ummat menjadi bermacam golongan adalah fakta, dan sudah diperingatkan sejak dahulu oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Dan orang yang mengatakan semua golongan tersebut itu benar dan semuanya dapat ditoleransi tidak berbeda dengan orang yang mengatakan semua agama sama. Diantara bermacam golongan tersebut tentu ada yang benar dan ada yang salah. Dan kita wajib mengikuti yang benar, yaitu yang sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Bahkan Ibnul Qayyim mengatakan tentang rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107: “Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus”. Artinya, Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada orang yang mengikuti golongan yang benar yaitu yang mau mengikuti ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.

Pernyataan ‘biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami’ hanya berlaku kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Kaafirun:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku‘”

Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan wajib menasehati bila saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasehati pun sepatutnya lapang menerima nasehat. Bukankah orang-orang beriman itu saling menasehati dalam kebaikan?
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍإِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr: 1 – 3)

Dan menasehati orang yang berbuat menyimpang dalam agama adalah bentuk kasih sayang kepada orang tersebut. Bahkan orang yang mengetahui saudaranya terjerumus ke dalam penyimpangan beragama namun mendiamkan, ia mendapat dosa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:
إذا عملت الخطيئة في الأرض كان من شهدها فكرهها كمن غاب عنها . ومن غاب عنها فرضيها ، كان كمن شهدها
Jika engkau mengetahui adanya sebuah kesalahan (dalam agama) terjadi dimuka bumi, orang yang melihat langsung lalu mengingkarinya, ia sama seperti orang yang tidak melihat langsung (tidak dosa). Orang yang tidak melihat langsung namun ridha terhadap kesalahan tersebut, ia sama seperti orang yang melihat langsung (mendapat dosa)” (HR. Abu Daud no.4345, dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Perselisihan pendapat pun tidak bisa dipukul-rata bahwa semua pendapat bisa ditoleransi. Apakah kita mentoleransi sebagian orang sufi yang berpendapat shalat lima waktu itu tidak wajib bagi orang yang mencapai tingkatan tertentu? Atau sebagian orang kejawen yang menganggap shalat itu yang penting ‘ingat Allah’ tanpa harus melakukan shalat? Apakah kita mentoleransi pendapat Ahmadiyyah yang mengatakan bahwa berhaji tidak harus ke Makkah? Tentu tidak dapat ditoleransi. Jika semua pendapat orang dapat ditoleransi, hancurlah agama ini. Namun pendapat-pendapat yang berdasarkan dalil shahih, cara berdalil yang benar, menggunakan kaidah para ulama, barulah dapat kita toleransi.
4. Menyepelekan permasalahan aqidah
Dengan menggunakan ayat ini, sebagian orang menyepelekan dan enggan mendakwahkan aqidah yang benar. Karena mereka menganggap mendakwahkan aqidah hanya akan memecah-belah ummat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Renungkanlah perkataan Ash Shabuni dalam menafsirkan rahmatan lil ‘alamin: “Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat bagi seluruh manusia karena beliau membawa ajaran tauhid. Karena manusia pada masa sebelum beliau diutus berada dalam kesesatan berupa penyembahan kepada sesembahan selain Allah, walaupun mereka menyembah kepada Allah juga. Dan inilah inti ajaran para Rasul. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut’ ” (QS. An Nahl: 36)
Selain itu, bukankah masalah aqidah ini yang dapat menentukan nasib seseorang apakah ia akan kekal di neraka atau tidak? Allah Ta’ala berfirman:
نَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72)
Oleh karena itu, adakah yang lebih urgen dari masalah ini?
Kesimpulannya, justru dakwah tauhid, seruan untuk beraqidah yang benar adalah bentuk rahmat dari Allah Ta’ala. Karena dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat Allah, maka bagaimana mungkin menjadi sebab perpecahan ummat? Justru kesyirikanlah yang sebenarnya menjadi sebab perpecahan ummat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar Ruum: 31-32)
Pemahaman Yang Benar

Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir yang terpercaya, beberapa faedah yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah:
  1. Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
  2. Seluruh manusia di muka bumi diwajibkan memeluk agama Islam.
  3. Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya.
  4. Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
  5. Rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
  6. Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
  7. Orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, membenarkan beliau serta taat kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
  8. Orang kafir yang memerangi Islam juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, yaitu dengan diwajibkannya perang melawan mereka. Karena kehidupan mereka didunia lebih lama hanya akan menambah kepedihan siksa neraka di akhirat kelak.
  9. Orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum musliminjuga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Yaitu dengan dilarangnya membunuh dan merampas harta mereka.
  10. Secara umum, orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam berupa dihindari dari adzab yang menimpa umat-umat terdahulu yang menentang Allah. Sehingga setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, tidak akan ada kaum kafir yang diazab dengan cara ditenggelamkan seluruhnya atau dibenamkan ke dalam bumi seluruhnya atau diubah menjadi binatang seluruhnya.
  11. Orang munafik yang mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat kelak Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka Jahannam.
  12. Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan pencerahan kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah kepada manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada selain Allah.
  13. Sebagian ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini diberikan juga kepada orang kafir namun mereka menolaknya. Sehingga hanya orang mu’min saja yang mendapatkannya.
  14. Sebagain ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini hanya diberikan orang mu’min.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, yang dengan sebab rahmat-Nya tersebut kita dikumpulkan di dalam Jannah-Nya.