Selamat Datang

Kamis, 15 Desember 2011

Menciptakan Keamanan Dan Ketertiban Bagian Dari Ajaran Islam


Tantangan Umat Beragama di Indonesia

Belakangan ini, gejolak sosial antarumat beragama cukup menyita perhatian masyarakat Indonesia. Kejadian ini sangat tidak mencerminkan rasa ke-Indonesiaan kita yang dikenal sebagai bangsa majemuk yang ramah tamah dan menjunjung tinggi keharmonian antara satu dengan yang lain.

Sebagaimana kita ketahui Indonesia adalah negara majemuk yang masyarakatnya datang dari berbagai suku, bahasa, agama dan ras yang beragam. Disamping potensi sumber daya alam yang melimpah, kemajemukan tersebut juga merupakan salah satu potensi yang luar biasa dimiliki bangsa Indonesia untuk menjadi Negara yang besar dan beradab.

Keragaman agama (baca: keyakinan) misalnya, di satu sisi, memberikan kontribusi positif untuk membangun bangsa yang beradab dengan nilai-nilai moral agama yang hidup. Namun di sisi lain keragaman agama juga berpotensi menjadi sumber konflik. Sebagaimana peristiwa kekerasan yang terjadi di beberapa tempat belakangan ini. Konflik yang bersumber dari persoalan agama seperti ini sebenarnya bisa kapan saja dan dimana saja terjadi, juga pada agama manapun. Penyebab konflik terkadang disebabkan adanya truth claim (klaim kebenaran) sepihak.

Namun demikian kalau kita cermati lebih jauh, banyak juga konflik yang bermuatan agama terjadi justru dipicu oleh unsur-unsur yang tidak berkaitan secara langsung dengan ajaran agama itu sendiri. Dan konflik sesungguhnya justru lebih banyak dipicu oleh persoalan ekonomi, sosial dan politik, yang selanjutnya di angkat seolah-olah menjadi konflik (ajaran) agama atau antar umat beragama.

Menemukan dan Menjaga Kepentingan Bersama


Kunci kerukunan hidup umat beragama adalah terbinanya keseimbangan antara hak dan kewajiban dari setiap umat beragama. Keseimbangan antara hak dan kewajiban itu adalah usaha yang sungguh-sungguh dari setiap penganut agama untuk mengamalkan seluruh ajaran agamanya. Pada saat yang sama, pengamalan ajaran agamanya tidak pula bersinggungan dengan kepentingan orang lain yang juga memiliki hak dan kewajiban untuk mengamalkan ajaran agamanya.

Kita percaya bahwa tidak ada satu agamapun di muka bumi ini yang mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan dan permusuhan. Ajaran normatif kitab suci selalu mendendangkan kedamaian dan ketenteraman antar sesama umat beragama. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan, penafsiran atau pemahaman pemeluk agama dapat menjadi pemicu terjadinya disharmonisasi antar pemeluk umat beragama. Seperti yang telah disebut di muka, truth claim dan doktrin keselamatan agama, kerap menjadi faktor munculnya disharmonisasi.

Dalam upaya membangun, menjaga dan mempertahankan kerukunan umat beragama, peran pemuka agama menjadi sangat penting. Pertemuan tokoh-tokoh lintas agama untuk berdiskusi, bermusyawarah, bahkan dalam tingkat tertentu berdebat adalah wahana yang cukup positif untuk membangun kebersamaan dan saling memahami. Usaha ini harus terus dikembangkan serta disosialisasikan kepada umat dibawahnya, agar dikalangan masyarakat bawah (umat) juga terbangun saling memahami ajaran masing-masing agama.

Untuk itulah diperlukan langkah-langkah yang lebih kreatif, segar dan baru, dalam rangka membangun kerukunan umat beragama. Dan aspek yang perlu mendapatkan perhatian untuk membangun kerukunan umat beragama adalah dengan memperkuat kerjasama dalam bidang mu'amalah (habl min al-nas). Disebabkan wilayah teologi adalah hal yang tak mungkin didialogkan, setiap pemeluk agama absah untuk meyakini jalan (syari'ah) yang dipilihnya adalah yang paling benar. Pemeluk agama harus yakin, kebenaran ajaran agamanya atau jalan Tuhannya tidak disebabkan karena jalan orang lain salah.

Wilayah yang paling mungkin dicari titik temunya adalah mu'amalah. Menjadi tugas pemeluk agama untuk mempertemukan ummatnya dalam ranah mu'amalat. Bisa dalam bentuk olahraga, tampilan budaya, seni dan kegiatan yang memiliki nilai humanisnya. Menjadi lebih baik apa bila pertemuan itu tidak menghadapkan kelompok agama tertentu dengan penganut lainnya. Akan tetapi sedapat mungkin, dibaurkan sehingga semuanya menjadi lebur.

Kerukunan Modal Dasar Pembangunan Bangsa


Satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah bahwa kerukunan merupakan modal dasar pembangunan sebuah bangsa yang majemuk seperti bangsa kita, Indonesia. Untuk itu, kerukunan harus terus dipertahankan kendatipun kejadian belakangan ini, kerusuhan dan amuk massa atas nama agama membuat banyak pihak pesimis. Sekali lagi, amuk massa yang terjadi di Indonesia beberapa saat yang lalu tak boleh menyurutkan langkah kita.

Dalam kontek inilah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: Pertama, kelangsungan kehidupan bangsa ini tidak hanya terpikulkan kepada penganut satu agama tertentu saja, akan tetapi tanggung jawab seluruh komponen bangsa Indonesia tanpa kecuali. Dan karena itu kesadaran terhadap prinsip egaliter di kalangan masyarakat perlu lebih dikembangkan.

Kedua, masyarakat kita hendaknya dapat hidup rukun sekalipun mereka menganut agama dengan ajaran teologi yang berbeda karena dengan rukunnya masyarakat memberi peluang yang lebih besar bagi mereka untuk mengamalkan ajaran agamanya secara paripurna. Tetapi sebaliknya manakala mereka hidup dalam suasana penuh kecurigaan maka semakin kecil peluang mereka melaksanakan perintah agamanya secara baik.

Ketiga, masyarakat hendaknya dapat disadarkan bahwa perbedaan itu tidak sama dengan permusuhan. Keempat, umat beragama hendaknya menyadari bahwa kebenaran praktis yang dimiliki setiap agama selalu memiliki misi universal dan tentunya berdimensi kemanusiaan (inklusif). Oleh karena itu, eksistensi sebuah agama pada dasarnya ditentukan bukan oleh kekuatan politik-birokrasi akan tetapi didasarkan pada sejauhmana kontribusinya kepada nilai-nilai universal kemanusiaan. Semakin besar sumbangan kemanusiaan yang diberikan suatu agama, maka dengan sendirinya semakin besar peluang memberi corak bagi perkembangan kemanusiaan di masa depan.

Bagian Dari Ajaran Islam


Berangkat dari paradigma di atas, jelaslah bahwa kerukunan umat beragama pada dasarnya bukanlah kebutuhan dan kewajiban pemerintah semata apalagi segelintir pemuka agama saja. Kerukunan umat beragama merupakan kebutuhan seluruh masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dan lebih bermakna. Untuk itu setiap upaya untuk membangun dan mempertahankan kerukunan umat beragama wajib kita dukung karena hakekatnya adalah merupakan tugas dan anggungjawab kita semua sebagai anak bangsa.

Terlebih kita sebagai seorang muslim yang senantiasa dituntut untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fasta biqul khairat). Bahkan kebaikan akhlak menjadi tolak ukur ketakwaan seseorang muslim. Lain dari itu didalam kaidah ajaran Islam kita juga mengenal kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwa tujuan akhir syariat Islam terdiri dari lima pilar utama (maqashid asy-syariah), yakni: pemeliharaan agama (hifdh al-din), jiwa (hifdh al-nafs), akal (hifdh al-aql), keturunan (hifdh nasl) dan harta (hifdh al-maal). Jadi dengan turut serta memelihara dan mejnjaga kerukunan serta ketertiban secara tidak langsung kita telah mengamalkan dan mempraktikan ajaran Islam dan syariat Islam sebagaimana dalil diatas.
***

Mari kita bangun kerukunan antar umat ini dengan akhlakul karimah melalui 3M, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal terkecil, dan mulai saat ini juga. Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Baginda Nabi Saw.

Toleransi Beragam Dalam Islam

Islam sendiri pada hakikatnya tidak membeda-bedakan penghormatan terhadap setiap orang dari segi kemanusiaannya. Apapun agama yang dianutnya, perlakuan dan penghormatan yang diberikan tetaplah sama selama mereka tidak memerangi Islam. Dalam sebuah hadith disebutkan:

Sesungguhnya ada jenazah yang lewat di hadapan Rasulullah kemudian Dia berdiri menghormatinya. Kemudian, dikatakan padanya: "Sesungguhnya jenazah itu adalah orang Yahudi". Rasul menjawab: "Bukankah dia juga manusia?".

Agama Islam datang sebagai rahmat bagi alam semesta. Adanya rahmat berarti meniadakan konflik, baik konflik yang sifatnya vertikal (dengan Allah) maupun konflik horizontal (dengan sesama manusia). Klaim seperti ini bukan jargon kosong belaka sebagaimana anggapan sebagian orang. Islam, dalam pengertian yang benar akan mengarahkan pada kebaikan dan selalu bersifat moderat. Adanya beberapa oknum yang bertindak melewati batas atas nama Islam sehingga menimbulkan konflik horizontal tidak dapat serta-merta dijadikan alasan untuk menyalahkan Islam. Biasanya tindakan seperti itu terjadi karena pemahaman oknum tersebut yang keliru tentang ajaran Islam atau karena faktor emosional, misalnya karena beberapa kejahatan non-Muslim yang dilakukan di negara-negara Muslim timur tengah.

Beberapa orang menganggap konflik antar agama banyak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin agama. Pemahaman seperti ini tentu ada benarnya, meskipun tidak sepenuhnya benar karena biasanya konflik terjadi karena faktor-faktor sosial. Sebagian lagi bahkan juga menganggap perlu untuk merombak konsep teologi Islam ke akarnya (yang mengakui kebenaran agama lain) kemudian dicarikan formula fikih baru yang "lebih ramah" kepada pemeluk agama lain yang berlandaskan konsep teologis tersebut.

Niat baik dari orang-orang tersebut tentu harus dihargai, tapi pertanyaannya adalah: apakah perombakan konsep Islam secara massif dan ekstim semacam ini memang diperlukan? Dan apakah gagasan seperti ini telah membuahkan hasil yang nyata dalam mewujudkan dialog yang sehat antar umat beragama tanpa menimbulkan konflik baru? Faktanya, pemikiran seperti ini tidak menciptakan hal baru dalam ranah dialog antar umat beragama karena memang terwujudnya dialog yang sehat tidak memerlukan perombakan keyakinan beragama secara ekstrim seperti itu. Karena sikapnya yang berlebihan, maka akibatnya yang ada bukannya tercipta kerukunan, tapi malah konflik baru di dalam internal umat beragama, khususnya umat Islam.

Fenomena ini telah lama disadari oleh Nurcholish Madjid. Dalam artikelnya yang cukup populer, Nurcholish menyadari betul bahwa usaha pembaruan pemikiran Islam biasanya cenderung bermasalah dengan integerasi umat. Dia mengatakan:

Ummah [komunitas Islam] serta-merta dihadapkan pada sebuah dilema: haruskah mereka memilih untuk menempuh jalan pembaruan di dalam diri mereka sendiri dengan mengorbankan integrasi yang selama ini didambakan, ataukah tetap melakukan usaha-usaha ke arah integrasi itu, sekalipun mereka harus mentolerir kebekuan pemikiran dan hilangnya kekuatan moral yang ampuh.

Tulisan Nurcholish itu tentu ada benarnya, tetapi perlu dicatat bahwa pembaruan yang berpengaruh pada disintegrasi hanyalah pembaruan yang ekstrim, yaitu pembaruan yang terlalu memaksakan perubahan pada hal-hal yang selama ini oleh mainstream umat diyakini tidak perlu atau tidak dapat diubah dalam pandangan Islam. Adapun pembaruan pemikiran yang tidak bersifat demikian, maka sama tidak berpengaruh pada disintegrasi umat, malah dalam beberapa kejadian justru sebaliknya dapat menjadi penguat integrasi. Pembaruan moderat jenis ini di jaman klasik misalnya dilakukan oleh al-Shāfi'ī dengan al-Risālah-nya, al-Tūfī dengan konsep maslahah-nya dan al-Syatibi dengan al-muwāfaqāt-nya. Di jaman modern, pembaruan pemikiran Islam moderat dilakukan semisal oleh Muhammad Abduh dan Rashid Ridha dengan al-Manār-nya dan Hasan al-Banna dengan Ikhwān al-Muslimīn-nya.

Ada beberapa landasan toleransi dalam Islam, yaitu yang paling terkenal adalah hadith nabi yang menegaskan prinsip al-hanifiyah al-samhah (agama yang lurus serta toleran). Selain itu, toleransi Islam sebenarnya terlihat jelas dalam (al-Mumtahanah) ayat: 8-9:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Ayat tersebut merupakan ayat terpenting yang menerangkan toleransi dalam Islam. Umat Islam sama sekali tidak mendapat larangan untuk membantu dan berhubungan baik dengan umat agama lain dalam bentuk apapun, selama tidak mengorbankan akidahnya. Nabi Muhammad sendiri telah memberikan banyak contoh kebaikan terhadap non-Muslim dan sepertinya cerita-cerita seperti itu telah diketahui bersama. Yang dilarang berbuat baik dan bersahabat hanyalah terhadap orang-orang yang memusuhi Islam dan penganutnya. Mereka yang jelas-jelas memusuhi dan memerangi Islam harus diberi tindakan tegas, bukan malah dibela dan dilindungi atau bahkan dicarikan pembenaran dalam teks-teks Islam.

Dalam konteks inilah semestinya ayat-ayat yang bersifat keras terhadap non-Muslim harus dibaca sebab bila tidak demikian, maka akan terjadi pertentangan antara ayat yang satu dan ayat yang lain. Memang benar ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa ayat-ayat yang "ramah" terhadap non-Muslim telah dihapus dengan ayat peperangan, tetapi menurut hemat peneliti, pendapat mereka lemah karena ayat-ayat tersebut masih bisa dipakai bersamaan tanpa dipertentangkan. Aturannya, bila ada dalil yang terlihat bertentangan, maka tidak boleh langsung diklaim nasakh, tetapi dicoba untuk dikompromikan terlebih dahulu bila masih bisa dengan cara mendudukkan masing-masing dari kedua dalil yang bertentangan pada kondisi tertentu (bi hamli kullin minhumā 'alā hālin). Ulama Usūl Fiqh juga menegaskan bahwa al-i'māl khair min al-ihmāl [memakai dalil yang terlihat bertentangan lebih baik daripada mengabaikannya sama sekali].

Wujud toleransi ini semakin dikuatkan dengan kebijakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Nabi Muhammaddan begitu juga para ulama sebagai pewarisnyahanyalah sebagai pemberi kabar, bukan pemaksa. Allah berfirman:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. ( Al-Qur'an, surat (al-Baqarah) ayat 256)

لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِر فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّر 

Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa memaksa mereka. (Al-Qur'an surat (al-Ghāshiyah): 21-22)

نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَقُولُونَ وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِجَبَّارٍ فَذَكِّرْ بِالْقُرْآَنِ مَنْ يَخَافُ وَعِيد 

Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali- kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah dengan Al Quran terhadap orang yang takut dengan ancaman-Ku.( Al-Qur'an, (Qāf): 45.)

Ayat-ayat di atas secara jelas mengakui eksistensi agama lain, meskipun dengan catatan bahwa Islam dalam pandangan Muslimin adalah satu-satunya agama yang benar dan unggul. Meyakini hanya agamanya sendiri yang benar tidaklah dengan sendirinya meniadakan toleransi, seperti yang sering digembor-gemborkan beberapa kalangan. Keyakinan seperti ini justru melambangkan prinsip kuat dan pilihan yang jelas yang semestinya dimiliki oleh setiap orang. Toleransi beragama bukan berarti harus membenarkan keyakinan pemeluk agama lain atau harus meyakini bahwa semua agama merupakan "jalan yang benar dan direstui" yang dapat mengantarkan pemeluknya menuju surga. Yang dibutuhkan dalam toleransi hanyalah penghargaan terhadap pilihan orang lain dan eksistensi golongan lain, tidak perlu sampai membenarkan segala. Keyakinan pluralisme agama (bedakan dengan pluralitas agama!) yang membenarkan segala bentuk agama sebagai sarana yang benar menuju Tuhan malah mengaburkan prinsip dan menandakan kelabilan pribadi.

Tidak boleh ada pemaksaan untuk memasuki agama Islam karena keberislaman tidak mungkin dicapai dengan hati terpaksa. Tetapi harus dicatat bahwa ketika telah masuk dalam Islam, maka orang yang bersangkutan diharuskan menjalankan syari'at dengan sempurna dan layak  mendapat hukuman bila melanggar seperti halnya seseorang tidak bisa dipaksa untuk masuk suatu organisasi atau golongan tertentu, tetapi bila telah masuk, maka dia boleh "dipaksa" untuk menjalankan aturan-aturan yang ada guna menjaga stabilitas.


Pada level ini, sebenarnya toleransi telah menemukan wujudnya yang tepat dan nyata. Sebagaimana disebutkan oleh Frans Magnis Suseno, "Toleransi tidak menuntut kita semua menjadi sama, baru kita bersedia saling menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka! Toleransi justeru bukan asimilasi, melainkan hormat penuh identitas masing-masing yang tidak sama."[10] Logikanya, bila masing-masing golongan telah samaatau meminjam istilah buku Fiqih Lintas Agama, telah menjadi "Islām" semua (Islam dalam arti generik sebagai "orang yang pasrah pada Tuhan"), maka tidak lagi diperlukan kata toleransi karena kata ini hanya berlaku dalam keragaman dan perbedaan, bukan dalam kesamaan. Intinya, toleransi tetap dapat terjalin antara orang-orang yang secara subjektif sering dituduh "fanatik", "eksklusif", atau "kolot" dalam beragama karena meyakini bahwa agama yang benar adalah agama mereka sendiri seperti yang dilakukan oleh para ulama Islam dengan prinsip inna al-dina 'indallahi al-islam (sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam) dan dari kalangan Kristen oleh Sri Paus dengan prinsip Dominus Yesus-nya (Yang benar hanya melalui Yesus seorang).

Dalam memahami perbedaan, ada dua macam orang, yaitu orang yang menerimanya dan orang yang menolaknya. Orang yang menolaknya terbagi menjadi dua golongan; Pertama, orang yang memaksakan pendapatnya sehingga semua menjadi sama. Kedua,  orang yang mencoba menghilangkan perbedaan-perbedaan yang timbul dengan cara memberikan berbagai tafsiran hingga cenderung menafikan adanya perbedaan. Keduanya adalah orang yang tak mampu hidup dalam keragaman. Kaum pluralis dan inklusifis jelas tergolong dalam golongan ini karena mereka berusaha keras menyamakan prinsip-prinsip yang sebetulnya jelas-jelas berbeda, meskipun harus dengan mengaburkan akidahnya sendiri. Pada hakikatnya, mereka sebenarnya bisa disebut intoleran terhadap agama lain.

Perbedaan tak perlu ditafsirkan atau dikaburkan sehingga tampak sama, tidak juga harus dihilangkan. Yang diperlukan hanyalah membiarkan perbedaan itu dan menghargainya. Tuhan menciptakan perbedaan tidak untuk dihilangkan, karena Dia menyukainya dan telah menjadi sunnah-Nya. Untuk terwujudnya dialog yang sehat antar umat tidak dibutuhkan upaya "penyamaan akidah", melainkan hanya diperlukan prinsip win-win solution. Prinsip ini sudah terdapat dalam al-Qur'an dalam ungkapan: lakum dīnukum wa liya dīn [bagimu agamamu dan bagiku agamaku.

Senin, 05 Desember 2011

Kenal Islam, Sayang Islam

Untuk mengenal sahabat kita lebih dekat lagi, maka perlu pengorbanan dari kita untuk berusaha mengenalinya lebih dalam lagi. Untuk kenal Islam lebih detil, diperlukan usaha kita untuk menumbuhkan keyakinan yang lebih dalam lagi tentang Islam. Supaya efeknya bisa kita rasakan dengan baik, yakni berupa rasa bangga menjadi muslim.

Kata pepatah kan , “Tak kenal maka tak sayang.” Tak kenal banyak, maka tak sayang banget. Sebab, kayaknya ini seperti deret ukur. Kalo kita baru sampe mengukur di batas tertentu, maka sebatas itu pula rasa yang kita miliki. Nah, rasa-rasanya memang harus terus ditingkatkan biar lebih merasa yakin dan mantap. Makin banyak yang kita tahu dari Islam, maka akan makin kuat dan makin yakin kita dengan Islam. Tumbuh juga rasa percaya diri yang besar dalam kehidupan kita. Itu sebabnya, ketika ada orang yang udah melatih ilmu bela dirinya sedemikian rupa, maka akan tumbuh keyakinan bahwa dirinya bisa pantas untuk percaya diri karena udah berhasil menguasai banyak jurus olah kanuragan tersebut.

Jangan termakan gosip murahan

Bro en Sis, gosip murahan tentang Islam bisa bikin semangat kita melempem kalo kita termakan provokasinya. Kayak apa sih gosip murahan tentang Islam? Hmm… mungkin kalo kamu sering diskusi dengan banyak orang dari latar belakang yang berbeda-beda; budaya, politik, tingkat pendidikan, intelektualitasnya, niatnya dan lain sebagainya, akan timbul rasa bimbang tentang Islam karena seringkali diskusi itu menyebarkan gosip murahan yang sengaja disebarkan untuk melemahkan pemahaman kaum Muslimin dan akhirnya menjatuhkan semangat kaum Muslimin dalam memperjuangkan Islam.

Seperti misalnya ada gosip (namanya juga gosip, pasti nggak benar. Seharusnya jangan percaya ya), bahwa Muhammad Rasulullah saw. adalah ‘tukang kawin’ dan merendahkan derajat wanita. Waduh, nih tuduhan dan gosip murahan banget dan udah sangat melecehkan. Kalo kita percaya gosip beginian, berarti kita lebih rendah lagi. Jangan percaya, Bro.

Selain ‘gosip murahan’ yang disebar untuk melemahkan kaum muslim, juga musuh-musuh Islam melakukan pengkaburan istilah. Misalnya provokasi yang disebar tentang definisi jihad. Kaum muslimin diminta untuk memahami jihad dalam arti bukan perang, tapi diarahkan kepada pengertian bahwa jihad adalah sungguh-sungguh dalam berusaha dan beramal. Nah, ini juga bakalan melemahkan semangat kita dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Padahal, kalo kita tahu ilmunya, nggak bakalan bingung.

Sekadar tahu aja nih, secara bahasa, jihad bermakna: mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik dengan perkataan maupun perbuatan (Fayruz Abadi, Kamus Al-Muhîth, kata ja-ha-da). Secara bahasa, jihad juga bisa berarti: mengerahkan seluruh kemampuan untuk memperoleh tujuan (an-Naysaburi, Tafsîr an-Naysâbûrî, XI/126).

Adapun dalam pengertian syar’i (syariat), para ahli fikih (fuqaha) mendefinisikan jihad sebagai upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah secara langsung maupun memberikan bantuan keuangan, pendapat, atau perbanyakan logistik, dan lain-lain (untuk memenangkan pertempuran). Karena itu, perang dalam rangka meninggikan kalimat Allah itulah yang disebut dengan jihad (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/153. Lihat juga, Ibn Abidin, Hâsyiyah Ibn Abidin, III/336).

Bayangin deh kalo jihad diartikan sekadar secara bahasa, kayaknya nggak bakalan ada upaya dari kaum Muslimin untuk melakukan jihad secara ofensif dalam rangka menyebarkan Islam. Padahal, Rasulullah saw. udah nyontohin dengan melakukan ekspedisi militer ke berbagai tempat. Para sahabat Rasulullah saw. juga melakukan hal yang sama, bahkan para penerus berikutnya seperti Thariq bin Ziyad yang menaklukkan Spanyol dan menyebarkan dakwah Islam di sana.

Selain itu, media massa juga seringkali ngelakuin “penghakiman” terhadap Islam dan umat Islam dengan menghubung-hubungkan bahwa para bomber yang melakukan peledakan di Indonesia selama ini (termasuk yang baru-baru ini, 17 Juli 2009 yang meledak di JW Marriott dan Ritz Carlton), adalah orang-orang Islam dari kelompok tertentu. Halah, itu sih lagu lama yang diputer ulang. Kagak bosen apa ya orang-orang kok menuduh begitu rupa. Padahal, bukti-buktinya saja belum jelas. Ini memang ada targetnya, yakni melemahkan semangat seluruh kaum muslimin dalam mengamalkan ajaran Islam. Soalnya, di media massa sosok teroris itu digambarkan dari kalangan Islam, baik, dan taat beribadah. Hmm.. ini jelas labelisasi yang nggak bener.

So, kalo kita udah kenal dengan Islam lebih banyak lagi, gosip murahan model gini pasti nggak mempan buat melemahkan pemahaman kita. Sebab, kita udah punya patokan. Intinya, jangan tergoda gosip atawa provokasi yang bakalan melemahkan keyakinan dan pemahaman kamu tentang Islam. Itu sebabnya, wajib mengenali Islam lebih dalam lagi. Jadi, belajar yang rajin bin getol ye.

Ciptakan terus rasa penasaran

Menciptakan rasa penasaran ini emang bagian dari upaya kita untuk bertanya dan bertanya dalam belajar kita. Kalo kita cukup puas dengan ilmu yang kita dapetin, kayaknya proses mengenali Islam jadi terhenti sampe di tempat kita mengenalnya. Nggak nerus. Padahal, belajar tuh harus terus dilakukan selama hayat masih dikandung badan. Itu sebabnya, resepnya adalah dengan senantiasa menumbuhkan rasa penasaran kita yang besar untuk mengenal Islam lebih dalam lagi. Nggak cuma puas berenang di permukaan, tapi rasanya kudu mulai mencoba menyelam. Karena sangat boleh jadi banyak banget informasi yang bisa kita jadikan sebagai wawasan kita dalam memahami dan mengamalkan Islam. Ujungnya, kita jadi bangga dong dengan kemusliman kita sendiri. Oke?

Seperti halnya kita belajar naik sepeda, rasa penasaran kita yang besar untuk bisa naik sepeda, insya Allah akan membawa hasil berupa kelihaian kita mengendarai sepeda. Begitu pun rasa penasaran kita dalam mengkaji ilmu, maka ilmu itu akan kita pelajari dengan seksama dan penuh semangat, sehingga bukan tak mungkin kalo kita akhirnya bisa memahami dan tumbuh keyakinan yang besar dalam diri kita.

Jadi, ciptakan terus rasa penasaran kamu tentang Islam agar tetap terjaga semangat kamu dalam mempelajari, memahami, dan mengamalkan Islam. Saya sendiri, meski sudah sering belajar tentang Islam, rasanya semakin sering belajar Islam saya merasakan bahwa apa yang saya dapatkan selama ini masih kurang, akhirnya terus penasaran pengen nyari tahu lebih detil. Proses belajar memang harus senantiasa dilakukan agar kita tetap merasa untuk terus memperbaiki kualitas hidup kita. Rasa penasaran yang kita miliki tentang Islam, insya Allah akan memberikan kekuatan kita untuk belajar dan terus memahami Islam sampai detil. Tentunya, itu akan memberikan rasa percaya diri kita yang tebal. Wajar banget kalo kita bangga jadi muslim.

Obyektif sekaligus subyektif

Sobat, dalam memahami realitas kehidupan memang harus obyektif. Kita telusuri semua faktanya supaya kita kenal betul dengan fakta tersebut. Kita memang nggak suka dengan fakta yang menjelekkan Islam, tapi kita coba tahan dulu benci binti murka kita sebelum dapetin info yang benar-benar valid dan obyektif agar kita bisa menilai dengan keputusan yang jelas.

Nah, kalo pun kita harus subyektif dalam waktu yang bersamaan, tentunya ini pun harus dilakukan karena sebagai muslim, kita wajib menilai segala sesuatunya berdasarkan sudut pandang Islam. Itu mutlak harus dilakukan karena Islam adalah pedoman hidup kita. Islam adalah the way of life. Jadi wajar banget kan kalo Islam menjadi patokan kita dalam menilai suatu pemikiran atau perbuatan. Mengenali dan memahami fakta memang harus obyektif, tapi sudut pandang kudu subyektif dong, yakni berdasarkan Islam.

Sehingga nggak muncul mispersepsi atau celakanya malah menyalahkan Islam. Padahal mah bisa jadi justru karena kita  sendiri yang salah memahami fakta dan sekaligus solusinya. Misalnya nih, untuk memahami agama di luar Islam, tentunya kita harus memahami faktanya dengan detil tentang agama tersebut, lalu kita nilai dengan Islam. Begitu pun ketika ingin memahami fakta sekularisme, maka kita kumpulkan segala informasi yang berkaitan dengan sekularisme supaya obyektif, setelah itu baru kita nilai sekularisme dalam sudut pandang Islam, bukan yang lain.

Tentu akan aneh dong ya kalo memandang Islam dari sudut pandang sekularisme atau ajaran Barat, maka yang tampak bukan wajah asli Islam. Kalo pun bikin lukisan, tuh lukisan udah dicorat-coret dengan nggak karu-karuan sesuka mereka mencoretkan warna dan garis pada kanvas. Inilah alasannya bahwa upaya pencarian fakta boleh seobyektif mungkin, tapi sudut pandang penilaian tetap harus Islam.

Berkaitan dengan soal ini, Ustadz Hamid Fahmy menuliskan (lihat Islamia, Tahun I No. 6/Juli-September 2005, hlm. 118-119), dalam kajian Islam, suatu framework atau manhaj terkait pertama-tama dengan proses mencari, mencerna dan mengamalkan ilmu. Suatu ‘metobalisme’ dalam nutrisi spiritual. Kualitas ilmu, cara mencari, sumber ilmu yang benar, penalaran yang betul, manfaat yang jelas merupakan sebahagian dari bangunan framework. Jika ilmu itu cahaya al-haqq, seperti kata Waqi’ guru Imam Syafi’i, maka ilmu dan iman sumbernya sama. Siapa yang banyak ilmu mesti tebal imannya dan sebaliknya. Ia akan berilmu dengan imannya dan beriman dengan ilmunya.

Inilah alasannya mengapa kita harus obyektif tapi sekaligus subyektif. Alam pikiran kita boleh melanglangbuana kemana aja untuk mendapatkan fakta yang obyektif tentang segala hal, tapi al-Quran dan as-Sunnah tetap menjadi obornya. Sehingga kita tetap menjadi orang yang mencintai Islam sepenuh hati dan insya Allah akan memberikan dorongan yang kuat agar kita bangga menjadi muslim. Oke?

Pahami Islam dari sudut pandang Islam

Nah, ini juga perlu dan wajib kita lakukan. Karena nggak mungkin dong kita akan memahami Islam tapi menggunakan kacamata Barat atau kacamata sekularisme. Itu sama artinya nggak bakalan nemuin kejelasan. Kalo memahami Islam, wajib dari sudut pandang Islam.

Jadi nih, kalo ada yang bilang bahwa Islam itu bias gender karena nggak menghargai wanita, tapi melihatnya dari sudut pandang sekularisme atau peradaban Barat, ya itu namanya tulalit. Apalagi kalo kemudian kita kepancing menjelekkan Islam karena menggunakan kerangka berpikir Barat. Wah, jangan sampe deh.

Kalo ada yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama, tuhannya sama, yang beda hanyalah namaNya, itu pasti berpikir bukan dari sudut pandang Islam.

Lalu mereka yang berpikiran begitu rame-rame mengatakan bahwa Islam bukan satu-satunya agama yang benar. Walah, ini sih udah ngaco banget deh. Mungkin mereka kudu diingatkan dengan pernyataan Prof. Hamka, “yang bilang semua agama sama berarti tidak beragama”. Nah lho, ati-ati tuh.

Sobat muda muslim, kalo ada seorang ulama atau intelektual Muslim yang menganggap bahwa Islam sudah saatnya disegarkan kembali dan harus ditafsirkan sesuai akal modern, saya sangat yakin kalo tuh orang nggak memahami Islam yang sempurna ini (atau pura-pura nggak tahu?) dan jelas cara berpikirnya bukan dari sudut pandang Islam.

Padahal, Islam sudah jelas disempurnakan oleh Allah. Itu artinya cuma Islam yang benar. Nggak ada kebenaran lain selain agama Islam ini. Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS al-Maidah [5]: 3)

Itu sebabnya, kalo ada yang mengaku Muslim tapi ketika berpikir dan berbuat bukan berlandaskan Islam, itu namanya error. Ngakunya muslim, tapi gaul bebas dan seks bebas jadi gaya hidupnya. Ngakunya Muslim tapi menolak sebagian ajaran Islam. Bahkan kemana-mana teriak bahwa nggak ada yang tahu kebenaran selain Allah. Sambil menyanyikan penolakan terhadap syariat, fikih, tafsir wahyu, dan ijtihad para ulama karena semua itu hasil pemahaman manusia. Menurut mereka itu relatif. Waaah, itu bener-bener kacau, bro! Karena seharusnya seorang Muslim hidupnya berpatokan kepada ajaran Islam, bukan kepada ajaran yang lain. Termasuk ketika memahami Islam, ya harus dari sudut pandang Islam. Bukan yang lain.

Sobat muda muslim, semoga kita mulai bisa memahami Islam sebagai pandangan hidup kita. Semoga Allah memudahkan kita untuk mempelajari, memahami dan mengamalkan Islam. Agar kehidupan kita juga lebih tenang, lebih yakin, dan tentunya penuh percaya diri dan bangga menjadi Muslim. Satu-satunya cara untuk mengenal Islam lebih dalam dan lebih jauh lagi hanya dengan belajar. Jadi, mulai sekarang, kita kudu giat belajar apa saja, terutama mengkaji Islam. Enjoy, Bro!

APA ITU PACARAN???

Hmm.. dari judulnya aja udah pastinya seru dibahas nih, apalagi kalo udah ngomongin cinta-cintaan nggak bakalan ada habisnya buat dibahas. Dari jaman baheula sampe sekarang yang namanya cinta selalu seru untuk diobrolin. Lihat deh acara-acara di tivi kebanyakan tentang percintaan. Nggak ketinggalan majalah remaja, tabloid, novel, sinetron, film layar lebar sampai reality show semua isinya percintaan. Kalo masih kurang lagu-lagu anak band sekarang tidak jauh dari lirik-lirik cinta. So, nilai jual cinta nggak bakalan turun (jiaaah, cinta kok dijual?). Termasuk tulisan ini juga akan membahas tema yang sama. Tapi sudut pandangnya Islam, karena saya seorang muslim.

Bro en Sis, cinta itu anugerah. Dateng gitu aja, tiba-tiba muncul tanpa diundang (dah kayak jalangkung!). Nggak peduli tua atau muda, cantik atau jelek, ganteng atau tampan (loh? Curang nih cow) love doesn’t know difference deh. Contoh cowok kalo udah suka sama cewe, bisa lupa segalanya, mulai dari ngelamun, ketawa sendiri (cinta gila kali ya?) sampe rela ngelakuin apa aja demi ceweknya. Padahal bisa aja dimanfaatin, aji mumpung jalan kemana aja dibayarin, dari makan sampai nonton. Ini cewek matre atau sekadar numpang makan (ngirit banget lo!). Atau mungkin dia punya prinsip “seefesien mungkin”. Kalo ada yang gratisan kenapa nggak? Pletak!

Wadooh, yang ceweknya nggak pada empati tuh, kali aja si cowok udah mati-matian nabung sebulan penuh, sampe hutang kanan-kiri juga kali ya? (nah loh ada yang kesendir tuh ya? Hehe…) Tapi kalo sampe para cewek dituduh matre or numpang makan doang, kayaknya cewek-cewek pada nggak setuju nih. But, tenang Sis. Nggak semua cewe kayak gitu kok (Jiaaah, pembelaan ini cuma contoh takutnya gue dicakar-cakar sama cewek-cewek, peace).

Eh, ada yang protes nggak kalo masalah pacaran dikaitkan dengan Islam? Biasanya kalo protes itu mikirnya gini: “Yang penting kan ibadahnya? Ngapain kudu disangkut-pautkan dengan Islam. Pacaran aja selama itu nggak ganggu orang lain dan nggak sampe berzina”. Hmm…

Bro, Islam udah ngasih aturan yang jelas, harusnya kita bisa menerima Islam dengan sepenuhnya, bukan cuma sebatas ritualnya aja atau dijadikan formalitas aja. Aturannya menyangkut semua hal, mulai dari aturan negara sampai aturan untuk individu. Jangan sampe di antara kamu ada yang rajin ngaji, sholat juga nggak ketinggalan, tapi maksiat tetep jalan. Hadduch.. STMJ tuh mah (Sholat Terus Maksiat Jalan). Sholat sih sholat, tapi soal maming alias Malam Mingguan kamu ngerasa wajib untuk hadir ke rumah pacar kamu. Niat ngapel sambil pamit sama ortu si pacar, mau ngajak jalan-jalan cari udara segar (cari aja oksigen di rumah sakit, lagi bengek kali tuh!). Intinya supaya bisa berdua aja.

Oya, ada juga tuh temen kita yang beralibi alais ngasih alasan bahwa pacaran yang mereka lakukan itu islami. Mereka sepakat putus sementara kalo datang bulan Ramadahn. Nanti abis Ramadhan disambung lagi (waduuuh, ngarep banget ya buat melegalkan pacaran?). Kalo gitu ngerampok secara islami ada juga kali ya, cuma ngerampok orang kaya yang pelit en pejabat korup (dah kayak Robin Hood dong? Asal deh lo!).

Gaul Cara Islam

Bro en Sis, Allah Swt. udah berfirman (yang artinya):“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isra [17]: 32)

Tuh, bukan cuma zinanya aja yang haram, tapi mendekati zina saja sudah dilarang. Pacaran identik dengan berkumpul antara lawan jenis. Istilahnya berkhalwat dengan yang bukan mahrammnya, dalam Islam tentu diharamkan karena bisa menjerumus ke dalam kemaksiatan en yang lebih parah berzina. Kalo mau plesetin omongannya Bang Napi jaman dulu (masih pada inget kan?). Yup, Bang Samsi (eh, Bang Napi) bilang: “Inget, kemaksiatan bukan hanya karena ada niat si pelaku, tapi juga karena ada kesempatan.” Bener banget. Kalo udah berudua-duaan yang ketiganya adalah setan. Hati-hati kalo sampe satpol PP juga ikut pantau. Kegiatan kamu bakalan diintip dan didiemin dulu biar ketangkep basah (nah loh pengalaman sapa tuch?) Soalnya, kalo udah terpancing sama hawa nafsu setan, gampang banget tuh ngegodainya, istilahnya tinggal tunggu jam tayang (dah kayak nonton bioskop aja tuh).

Bro, sebelum sampe berdua-duaan dengan lawan jenis, di awal-awal hubungan dengan lawan jenis udah diatur dengan baik lho dalam Islam. Supaya kejadian maksiat itu bisa dicegah karena peluangnya diminimalisir. Allah Swt. udah berfirman (yang artinya): “Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki: ‘Hendaklah mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya ….’ Dan katakanlah kepada orang-orang mukmin perempuan: ‘Hendaknya mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya…’.” (QS an-Nuur [24]: 30–31)

So, menundukkan pandangan adalah menjaga pandangan. Nggak dilepas gitu aja tanpa kendali yang memungkinkan bakal merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan bisa dibilang terpelihara jika secara tidak sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat mengulangi melihat lagi atau mengamat-amati kecantikannya atau kegantengannya.

Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, “Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tanganNya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan, seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya.”

Juga dalam hadis yang lain. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya, “Kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu (bisa) melakukan zina, kedua kaki itu (bisa) melakukan zina. Dan kesemuanya itu akan dibenarkan atau diingkari oleh alat kelamin.” (Hadis sahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas dan Abu Hurairah).

Yang terendah adalah zina hati dengan bernikmat-nikmat karena getaran jiwa yang dekat dengannya, zina mata dengan merasakan sedap memandangnya dan lebih jauh terjerumus ke zina badan dengan, saling bersentuhan, berpegangan, berpelukan, berciuman, dan seterusnya hingga terjadilah persetubuhan. Ati-ati! Waspadalah!

Bor en Sis, dalam Islam nggak ada istilah pacaran, karena pada dasarnya aturan pergaulan dalam Islam adalah infishol alias “terpisah” dalam arti begini: cowok atau cewek hanya bergaul akrab dengan sejenisnya atau para mahram. Berhubungan dengan lawan jenis hanya masalah mu’amalah (bisnis, seperti di pasar antara penjual dan pembeli), pendidikan (seperti antara guru dengan murid atau dosen sama mahasiswanya) juga dalam masalah kesehatan (konsultasi dokter dengan pasiennya dan sejenisnya). Yang semuanya harus tetap sayr’i.

Soal tempat khusus dan tempat umum

Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS an-Nuur [24]: 27-28)

Bro en Sis, kamu perlu tahu nih tempat atau kondisi yang berkenaan dengan pergaulan antara cowok dan cewek yang bukan mahram.

Pertama, tempat yang kita tidak memerlukan izin pada saat masuk/melihat (contoh :lapangan, rumah sakit, Pasar, dll). Kedua, tempat khusus (tempat yang jika kita ingin masuk atau melihat maka diwajibkan untuk meminta izin, contoh: kamar mandi rumah, mobil pribadi, ruangan pribadi dan sejenisnya).

Terus nih, yang harus diperhatikan dalam pergaulan adalah soal istilah: Pertama, ij’tima, yakni berkumpul, tapi tidak ada interaksi. Kedua, a’laqoh, yakni interaksi, tapi nggak berkumpul (contohnya telepon, chatting online, SMS-an, kirim-kirim e-mail dan sejenisnya). Ketiga, ikhtilat, yakni berkumpul dan beriteraksi (dan yang dibolehkan bagi yang bukan mahram adalah hanya dalam masalah mu’amalat, pendidikan, dan kesehatan)

Oya, saya mau cerita dikit. Pernah tuh saya beda pendapat mengenai status hukum pacaran sama temen sendiri. Saya nggak setuju pacaran, bukan karena saya nggak laku buat pacaran, tapi karena banyak yang nolak sih hehe… (nggak ding, emang saya udah tahu hukumnya pacaran nggak boleh menurut ajaran Islam). Saya menolak pacaran bukan juga untuk nyuruh dia putus sama pacarnya, cuma pengen ngajak berfikir aja. Sampe pada klimaksnya dia bilang ke saya: “Kalo gaya hidup kamu kayak gitu mending nggak usah hidup di Indonesia aja!” Wadduh…. nggak nyangka temen saya ngomong begitu. sampe akhirnya gue jawab “Sory friend, aku hidup di bumi Allah Swt. Kalo kamu nggak setuju sama aturan Allah mending pergi aja dari bumi Allah”. Halah, saya spontan komen gitu. Sempet terfikir itu emosi saya yang menjawab kali ye? Tapi ya udahlah. So, saya udah mencoba untuk tegas walaupun saya masih belajar dalam mentaati semua aturan Islam.

Pacaran nggak cuma mereka yang masih bujangan dan gadis aja, tapi dari usia akil balig sampai kakek nenek bisa berbuat seperti yang diancam oleh hukuman Allah. Hanya saja, yang umum kelihatan melakukan pacaran adalah para remaja. Betul apa bener?

Islam ngatur hubungan antar lawan jenis

Oya, bukan berarti nggak ada solusi dalam Islam untuk berhubungan dengan nonmahram. Dalam Islam hubungan nonmahram ini diakomodasi dalam lembaga perkawinan melalui sistem khitbah/lamaran dan pernikahan. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): “Hai golongan pemuda, siapa di antara kamu yang mampu untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih memelihara kemaluan. Tetapi, siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat mengurangi syahwat.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Darami)

Selain hal tersebut di atas, baik itu hubungan teman, pergaulan laki-laki perempuan tanpa perasaan, ataupun hubungan profesional, ataupun pacaran, ataupun pergaulan guru dan murid, bahkan pergaulan antar-tetangga yang melanggar aturan di atas adalah haram, meskipun Islam tidak mengingkari adanya rasa suka atau bahkan cinta.

Bro en sis, bahkan diperbolehkan suka kepada laki-laki/perempuan yang bukan mahram, tetapi kita diharamkan mengadakan hubungan terbuka dengan nonmahram tanpa mematuhi aturan di atas. Kalau masih pengen juga, kamu kudu ditemani kakak laki-laki ataupun mahram laki-laki kamu dan kamu harus menutup auart masing-masing agar memenuhi aturan yang telah ditetapkan Islam. Tapi ini bukan dalam rangka pacaran, lho. Ya, sekadar bertemu untuk pendidikan atau dakwah, muamalah dan kesehatan. Oke?

Percayalah, jodoh itu Allah Ta’ala yang ngatur. Nggak usah maksain sampe pacaran segala. Ada cerita nih, dari guru ngaji gue sih (minta izin ngutip ya pak.. hehe). Jadi ada cowok-cewek yang udah kepalang pacaran en cinta banget. Ketika mereka dalam pengajian, dibahas tuh masalah pacaran kayak gini. Singkat cerita mereka putus, “demi Islam kita putus aja yach…” katanya. Wah dilema banget emang ya? (cinta deritanya tiada akhir.. hwaach dasar Patkai).

Emang berat en nggak gampang tuh ambil keputusan habis udah cinta mati. Sampe semboyannya aja: “I love you teu eureun-eureun” (gotong royong aja kali ya biar nggak berat). Tapi kemudian mereka iklhas menerima keputusannya. Berlanjut sampe mereka dewasa. Atas ijin Allah mereka dipertemukan kembali, karena ortunya udah saling kenal juga, akhirnya mereka menikah. Wah…wah pastinya bahagia banget mereka. Gimana Bro, mau, mau mau? Kalo udah siap jangan tunggu lama-lama buat ngehindar dari maksiat en fitnah lanjutkan ke pernikahan (lebih cepat lebih baik, kita mah pro syariat Islam!).

BTW, tapi kan nggak segampang yang saya omongin ya? Kata Bang Thufail al-Ghifari sih “nikah itu Jihad yang aduhai” (cit..cwiw!). So, bukankah kalo pengen serius jalin hubungan, emang tujuannya menikah? (loh kok jadi ngomongin nikah? Curhatan saya nih kayaknya. Watau!)

Bukti cinta sejati

Bro en Sis, Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya): “Bukti cinta sejati itu ada tiga, yaitu: memilih kalam kekasihnya (al-Qu’an) daripada kalam lainNya (hasil produk manusia); memilih bergaul dengan kekasihNya daripada bergaul dengan yang lain; memilih keridhaan kekasihNya daripada keridhaan yang lain.”

Demikian ini karena orang yang mencintai sesuatu itu, ia menjadi hambanya. Yahya bin Mu’adz berhubungan dengan pengertian ini mengatakan: “Setitik benih cinta kepada Allah lebih aku sukai daripada pahala mengerjakan ibadah tujuh puluh tahun.”

Nah, kalo virus merah jambu mulai meradang di hatimu, cuma ada satu solusi jitu: merit binti kawin alias nikah. Nggak apa-apa kok masih muda juga asal udah mantap mentalnya, kuat ilmunya, dan cukup materinya. Tapi kalo ngerasa belum mampu, ya wis kamu kudu rajin-rajin berpuasa untuk meredam gejolak nafsumu. Dan tentunya sambil terus belajar, mengasah kemampuan, dan mengenali Islam lebih dalam, jangan lupa perbanyak kegiatan positif: ngaji dan olahraga, misalnya. Main gim? Halah, bolehlah asal jangan kebablasan! Tapi, daripada main gim mending baca al-Quran atau nulis kayak saya nih di buletin gaulislam. Insya Allah lebih oke. Sip kan ?

Bro en Sis, hidup di dunia yang singkat ini kita siapkan untuk memperoleh kemenangan di hari akhirat kelak. Itu sebabnya, yuk kita mulai hidup ini dengan bersungguh-sungguh dan jangan bermain-main. Kita berusaha dan berdoa mengharap pertolongan Allah Swt. agar diberi kekuatan untuk menjalankan segala perintah dan meninggalkan segala laranganNya. Moga kita sukses di dunia dan di akhirat ya. Mau? Mau doooong! Semoga Allah menolong kita, amin. Jadi, tetep mau pacaran? Nggak, Ah!

Menyiapkan Pendidikan Anti Terorisme

Pasca tragedi Bom Bali I, Indonesia menjadi pusat perhatian dunia. Label terorisme secara serta merta distigmakan kepada Indonesia , yang merupakan Negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Belakangan diketahui bahwa motif pengeboman adalah jihad melawan orang-orang kafir Amerika dan Australia .

Seakan mengamini apa yang pernah ditesiskan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya clash of civilization( benturan antar perdaban), bahwa pasca perang dingin antara Kapitalisme versus Sosialisme, konflik tidak lagi terjadi antar Negara, ideology, kepentingan, ekonomi dan politik. Namun konflik yang akan terjadi jauh lebih besar lingkupnya, yakni konflik antar peradaban. Secara tegas, Huntington menghadap-hadapkan antara 3 peradaban besar yang ada di dunia, yaitu peradaban Islam dan konfusianisme melawan peradban Barat WSAP (White Anglo Saxon Protestan). Dan fenomena terorisme yang akhir-akhir ini marak terjadi, ditengarai merupakan bagian dari benturan peradaban tersebut.

Terlepas dari kebenaran tesis Huntington tersebut, yang jelas terorisme yang dilakukan oleh sekolompok orang dengan dalih agama, tidak bisa dibenarkan. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kedamaian dan anti kekerasan. Tujuan diturunkannya Islam ke dunia ini, tidak lain adalah untuk misi perdamaian semesta alam (Q.S. al-anbiya’:107). Dan secara historis, interaksi sosial ummat Islam di bumi Nusantara ini sudah terjalin selama berabad-abad lamanya. Itu artinya bangsa Indonesia adalah bangsa multicultural, yang senantiasa hidup bersama dengan damai.

Terorisme dalam pespektif agama apapun tidak bisa dibenakan. Karena hakekat agama pada dasarnya adalah membimbing ummatnya menuju kedamaian. Kekerasan dan terorisme adalah musuh agama yang harus diperangi. Terorisme adalah manifestasi dari penistaan ajaran agama.

Dari sini, terorisme dan semua jenis kekerasan harus dijauhi dan dihindari. Generasi muda masa depan harus dipahamkan dengan bahaya-bahaya terorisme yang merusak tatanan kedamaian. Pendidikan merupakan upaya yang dirasa efektif untuk membekali generasi muda tersebut, sehingga mampu menghindarkan diri mereka dari perilaku terorisme. Melalui pendidikan, generasi muda disadarkan akan pentingnya semangat kebersamaan dan kedamaan. Kekerasan dalam bentuk apapun dan dengan dalih apapun harus dihindari dan diberantas. Sikap terorisme adalah musuh bersama ummat beragama dan masyarakat berbangsa.

Membangun Sikap Toleransi

Terorisme dengan kedok agama adalah bentuk dari pemahaman keagamaan yang picik dan dangkal. Menganggap orang lain sesat dan salah adalah sikap egois yang tidak berdasar. Agama pada dasarnya mengajarkan pada kebaikan dan membimbing umatnya menuju keselamatan. Dari sini, sangat tidak beralasan jika agama merintahkan ummatnya untuk saling menyerang ummat agama lain, apalagi jika sampai pada penghilangan nyawa manusia.

Sikap toreransi dalam hal ini menjadi prasyarat terwujudnya kedamaian antar umat manusia. Jika semua agama mengajarkan pada nilai kebaikan, maka kita harus menghargai penganut agama tersebut. Prilaku menyimpang yang dilakukan oleh ummat beragama bukan kemudian melegalkan tindakan kita untuk membenarkan secara paksa. Karena selain kebenaran itu bersifat rekatif, kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi hukum. Tindakan semena-mena dan main hakim sendiri dalam hal ini tidak bisa dibenarkan secara hukum.

Terorisme hanya akan menambah masalah, bukan menjadi solusi atas masalah tersebut. Perilaku terorisme oleh sekelompok orang adalah bukti kepongahan dan keegoan sepihak. Mereka tidak lain adalah orang-orang yang hanya akan membawa kehancuran bagi ummat manusia. Dan sampai derajat tertentu, mereka inilah sebenarnya yang merupakan musuh Islam, bukan pembela Islam.


Kurikulum Anti Terorisme

Mata pelajaran moral dan kewarganegaran yang ada, selama ini lebih bersifat normatif dan teoritis. Di dalamnya hanya mengisyaratkan nilai-nilai ideal yang jauh dari realitas sosial empiris. Sehingga kaitannya dengan hal ini, perlu disegarkan kembali, dalam rangka mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang bermoral tinggi, dan warga Negara yang beradab. Penyegaran tersebut dapat diartikan dengan memasukkan sebuah format mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan riil yang ada. Kaitannya dengan realitas terorisme dan dalam rangka mengantisipasinya, maka kurikulum anti terorisme dalam hal ini perlu mejadi wahana penyegaran tersebut. Artinya, kurikulum yang berorientasi anti terorisme dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Penerapan tersebut, dalam hal ini bisa dengan memasukkan dalam silabi mata pelajaran moral dan kewargaan. Atau jika memang diperlukan, bisa dijadikan mata pelajaran tersendiri yang integral. Sehingga peserta didik dalam hal ini mendapatkan bekal yang cukup dalam konteks pribadi yang anti terhadap terorisme dalam bentuk apapun.

Gagasan ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang melangit, mengingat pola Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang meniscayakan KTSP sebagai model kurikulumnya. Sehingga pendidikan anti terorisme dalam hal ini bisa dimasukkan dalam muatan lokal, disesuaikan dengan kubutuhan sekolah. Ke depan, masa depan bangsa berada di tangan generasa muda saat ini. Corak sikap dan perilaku para manusia masa depan, dibangun saat ini melalui pendidikan. Dengan memasukkan pendidikan anti terorisme ke dalam pendidikan mereka, diharapkan mampu membekali mereka dengan sikap toleransi, yang menolak keras segala bentuk terorisme. Hingga pada akhirnya, kita akan menjadi bangsa yang cinta damai, mampu hidup bersama dalam keragaman dengan kedamaian dan anti kekerasan.