Selamat Datang

Kamis, 27 Oktober 2011

ABG sayang, ABG malang




ABG (Anak Baru Gede) adalah sebutan bagi remaja usia belasan tahun. Istilah kerennya sih teenager. Usia yang menurut para pakar psikologi berada di saat rawan karena penuh pemberontakan dan pencarian jati diri. Usia yang ibarat kembang yaitu sedang mekar-mekarnya, indah. Nah, keindahan inilah yang seringkali disalahgunakan untuk hal-hal yang nggak bener. Melacurkan diri adalah salah satunya.
Ketika browsing internet untuk mencari data tentang pelacuran ABG ini, saya langsung terhenyak. Mulai blog pribadi yang dikelola amatiran hingga media selevel Tempo, semuanya menyediakan data dan laporan lengkap tentang seluk beluk dunia esek-esek ala ABG ini. Seragam putih-biru alias SMP dan putih abu-abu atau SMA, lengkap ada semua. Mulai layanan tingkat amatir dengan harga cuma dibelikan makan siang hingga yang profesional sejumlah ratusan ribu bahkan jutaan, lengkap tersaji.
Saya pun memandang monitor komputer dengan nanar, bagaimanakah masa depan bangsa ini dengan polah ABG seperti ini? Tapi, tak ada masalah hadir tanpa solusi. So, kita telusuri yuk fenomena keberadaan pelacuran ABG ini untuk ditemukan akar masalahnya sehingga bisa dilakukan treatment untuk pengobatannya. Yuuuk!
Melalui sejumlah wawancara dan investigasi, banyak di antara para ABG yang memutuskan dirinya melacur itu karena alasan ekonomi. Biaya sekolah yang mahal, harga buku yang tak murah serta kebutuhan hidup lainnya yang mendesak menjadi salah satu alasan yang dipilih untuk diberikan. Apalagi bila menjelang ujian yang jelas-jelas ada tagihan ini-itu dari pihak sekolah, walhasil jalanan jadi rame dipenuhi para ABG yang menjajakan diri.
Di antara mereka ada yang melakukannya tanpa sepengetahuan keluarga, tapi tidak sedikit yang mendapat restu orangtua. Bahkan ada seorang ibu yang sengaja menyelipkan kondom ke tas sekolah anaknya bila mereka akan keluar rumah. Nadzhubillah.
Kesulitan ekonomi bukan menjadi satu-satunya alasan para ABG jual diri. Tidak sedikit juga yang berasal dari kalangan atas bahkan ada anak pejabat terkenal yang sering muncul di TV nasional. Ketika diwawancarai, ia berkilah bahwa yang dilakukannya itu sebagai protes terhadap ayahnya yang jarang berada di rumah.
Tergiur gaya hidup yang konsumtif biar nggak dianggap kuno sama teman-teman sebaya juga bisa menjadi faktor yang lain. Punya HP keluaran model terbaru, MP4 Player, tas dan baju keluaran butik terkenal, jalan-jalan ke mal, bisa membuat para ABG lupa daratan. Persaingan antar teman juga bisa dijadikan alasan. Wih..si A kemarin habis jalan bareng sama om-om keren, si B nggak mau kalah hari ini menggandeng eksekutif papan atas ibu kota . Habis dikecewakan dan dinodai mantan pacar juga disebut-sebut sebagai alasan favorit para ABG ini. Ya, seabreg alasan bisa diberikan kalau sekadar sebagai pembenaran untuk perbuatan yang nggak bener. Ckckck…
Yuk berbenah!
Bro en Sis, kebebasan berekspresi dan bertingkah laku adalah sandaran yang tak dapat diganggu-gugat selama masyarakat masih menganut paham demokrasi ini. Para ABG ini pun sedang menyalurkan kebebasan sehingga payung hukum mana pun tak dapat menjeratnya. Paling pol yang bisa dilakukan pemerintah setempat adalah alasan usia yang masih di bawah umur. Lha kalo umur sudah cukup untuk melacur, pemerintah mau apa? Bahkan hukum pun telah ada dan sengaja dibuat untuk melindungi mereka yang menyebut dirinya sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial).
Kebebasan lain yang diusung oleh demokrasi adalah bebas dalam kepemilikan. Harta bisa dimiliki dengan cara apapun juga, termasuk jalan haram sekalipun. Tak heran, bila lokalisasi prostitusi menjadi legal bin sah dalam kondisi seperti ini selama negara diuntungkan dari tarikan pajaknya. Apalagi bila dalih favorit yang sering dipakai alasan mulai dikeluarkan ?keberadaan lokalisasi memberi nafkah pada banyak lapisan masyarakat’. Ciloko tenan kalo sudah begini.
Kita nggak mungkin tinggal diam dengan maraknya fenomena pelacuran ABG. Karena sungguh adzab Allah tidak saja akan menimpa mereka yang berbuat kerusakan di muka bumi, tapi semua bakal kena termasuk mereka yang alim. Allah Swt. berfirman: “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaanNya.” (QS al-Anfaal [8]: 25)
Apalagi dalam keadaan ini, para ABG hanyalah korban dari sistem rusak yang sedang berlangsung di tengah-tengah kita. Jadi sayang sekali bila generasi muda tidak diselamatkan sejak dini mulai detik ini.
Peran serta orangtua yang bekerjasama dengan para guru harus digalang. Orangtua tak bisa menimpakan pendidikan anak-anaknya melulu kepada pihak sekolah saja. Begitu juga sebaliknya. Kedua elemen ini harus bahu-membahu meningkatkan kepedulian terhadap para ABG ini. Kepedulian ini pun harus ada ujud nyatanya dengan melakukan pendekatan kepada individu-individu ABG.
Akan lebih baik bila kedua elemen ini mengajak institusi keislaman yang jelas-jelas visi dan misinya mengerti masalah remaja. Tidak bisa dipungkiri usia orangtua dan guru yang termasuk ?angkatan lama’ mengalami kendala dalam memahami gejolak jiwa remaja. Para ABG ini butuh sosok yang memahami dunia mereka dan berjalan mengiringi proses kedewasaan mereka. Sehingga tak perlu ada sikap ketakutan tanpa dasar pada pihak orangtua atau guru bila ada sosok yang peduli dengan dunia remaja. Waspada memang perlu tapi hendaklah disertai dengan sikap bijak. Berkomunikasi dan ?sharing’ visi misi adalah langkah bijaksana daripada melarang tanpa alasan munculnya mereka yang berusaha peduli untuk menyelamatkan generasi ini.
Selalu ada ?Second Chance’
Selama nafas masih ada dalam diri kita, tak pernah ada kata terlambat untuk bertaubat. Begitu juga bila kamu menemui atau mempunyai teman yang pernah menempuh keadaan di atas, maka janganlah dicibir atau dijauhi. Dekatilah mereka dengan kasih sayang dan tanpa ada prasangka. Karena selalu ada kesempatan lain dalam kehidupan bila kita memang benar-benar berniat untuk berubah. Ulurkan persahabatan tulus pada mereka yang telah sadar dan mau berubah. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya, dalam artian para ABG ini tak berniat kembali ke jalan yang benar, maka sungguh, Allah telah melihat upayamu dan bukan hasilmu.
Permasalahan ini memang tak bisa diselesaikan secara individual saja. Tak akan cukup hanya melibatkan pihak orangtua, para guru dan pihak sekolah, serta orang-orang yang peduli dengan masa depan remaja, namun dibutuhkan lebih daripada itu. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pengurus urusan rakyatnya harus juga peduli terhadap keselamatan moral dan akhlak generasi muda. Fakta di lapangan banyak berbicara bahwa maraknya pelacuran ABG melibatkan para oknum yang seharusnya melindungi tapi malah menarik untung dari transaksi haram ini.
Sindikat perdagangan ABG untuk dilacurkan juga harus ditindak dengan setegas-tegasnya. Bukan seperti yang terjadi sekarang ini, oknum yang seharusnya bertugas melindungi warga masyarakat, malah terlibat memperdagangkan ABG demi gepokan rupiah. Dan yang parah adalah pejabat-pejabat bermental rusak yang malah minta ?disediakan’ ABG bila mereka melakukan kunjungan ke daerah-daerah.
Pemerintah harus serius menangani masalah pelacuran ABG ini, bukan sekadar ngurusi kursi apalagi menjelang pemilu begini. Pelacuran ABG merupakan puncak gunung es dari permasalahan yang lebih mendasar. Selebihnya masih banyak hal yang harus dibenahi mulai dari tingkat perekonomian masyarakat, moralnya, sistem pergaulan yang diadopsi, dll. Semua hal yang disebutkan di atas itu cuma cabang saja dari sebuah akar masalah yaitu ideologi suatu bangsa. Selama kita masih bangga dengan ideologi nano-nano alias kapitalis, sosialis dan agama dicampur aduk kayak sekarang ini, maka jangan pernah berharap bahwa masalah akan selesai.
Karena sungguh, kebenaran selamanya tak akan pernah bisa diaduk-aduk dengan kebatilan. Yang muncul akhirnya adalah kompromi-kompromi yang tidak masuk akal. Pelacuran ABG diperangi dengan alasan mereka masih di bawah umur. Lha kalo sudah dewasa, itu artinya mereka boleh melacurkan dirinya lagi? Malah sudah disediakan tuh lokalisasinya dengan stempel pelacuran sah dan resmi atas ijin negara. Benar-benar kacau balau kalo sudah begini urusannya. Maka tak heran, bila negeri ini tak putus dirundung malang . Seperti kata Om Ebiet G Ade dalam sebuah lagunya: “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa…” Silakan renungkan ya.
Namun, selalu ada kesempatan kedua alias second chance bila kita mau bertaubat. Taubat dengan sebenar-benarnya taubat. Bukan tobat jenis tomat alias sekarang tobat besok kumat lagi, halah. Ini sama saja dengan mempermainkan Allah, tul kan ? Taubat nasuha ini bukan saja dilakukan oleh individu ABG yang sudah terlanjur menempuh jalan haram, tapi juga harus dilakukan oleh segenap masyarakat dan negara. Barengan, gitu lho.
Yakinlah, selalu ada peluang untuk meniti jalan lurus demi meraih ridho ilahi. Jangan cuma bangga sebagai negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia, bila ternyata pelacuran terbesar pun ada di negara ini. Naudzhubillah.
Tak ada jalan lain untuk keluar dari kemelut ini kecuali menjalankan resep dari Yang Mahamempunyai Solusi yaitu Allah Rabbul Izzati. Resep itu harus dijalankan dengan keseluruhan, bukan separuh-separuh diambil yang enak-enak dan membawa manfaat saja. Karena resep yang cuma diminum separuh bukannya menyembuhkan, malah menimbulkan munculnya penyakit-penyakit baru.
Islam harus diterapkan secara keseluruhan atau kaaffah. Sangat tidak adil bila Islam hanya diambil ibadah ritualnya dan dibuang aspek sosial kemasyarakatan, pendidikan, ekonomi, pidana, pemerintahan, politik, dan lain sebagainya. Karena sungguh, tak ada satu sisi pun dalam kehidupan ini yang tak ada aturannya dalam Islam. Apalagi hanya untuk menuntaskan masalah pelacuran ABG, Islam sangat punya jawabannya. Benar itu. Ditanggung!
Pertanyaannya, apakah kita mau mengambil Islam saja sebagai solusi kehidupan? Ataukah kita masih bangga dan silau dengan sekularisme dan hukum pidana yang bersumber darinya? Hanya orang bebal dan tidak mempunyai akal saja yang masih percaya pada kapitalisme-sekularisme yang jelas-jelas kerusakannya itu. So, bagi kamu-kamu yang merasa dirimu orang pintar, cukup Islam saja sebagai solusi dan the way of life sekarang dan selamanya. Dijamin pasti tokcer. Dengan Islam, ABG pun bisa tumbuh berkembang menempuh jalan kedewasaan di jalan yang benar. Bila sudah begini, cerahlah masa depan suatu bangsa dan negara. Jadi, ambil Islam sebagai cara hidup. Campakkan demokrasi, sekularisme dan kapitalisme sebagai biang kerok pelacuran ABG. Yuuukkk!



Mahasiswa Kok Tawuran? Malu Deeeh!

 Jadi mahasiswa? Wuih, kayaknya  impian banyak anak muda di negeri ini. Kalo ditanya mau kuliah? So pasti  jawabnya pengeeeen! Siapa yang nggak mau kuliah? Siapa yang nggak mau jadi  mahasiswa.Soalnya jadi mahasiswa itu cap intelek, pinter, cerdas, en keren.  Apalagi liat aksi reformasi tahun ‘98 lalu, penggeraknya kan mahasiswa (bukan aki-aki atau kaum  waria!). Pokoke, mahasiswa itu dianggap makhluk yang istimewa en pahlawan,  khususnya di Indonesia.Tapi sori aja, sekarang-sekarang mahasiswa itu lagi jadi buah  bibir (tapi bukan sariawan, lho!) . Bahan omongan yang jelek di masyarakat. Itu  karena mereka lagi ngaktifin ‘ekskul’ alternatif; tawuran!

Tawuran itu terjadi bukan hanya ngelawan anak-anak yang beda  kampus. Tapi dengan yang sekampus juga jadi. Ibarat main bola, dalam tawuran juga  berlaku partai derby – ngelawan klub satu kota—nah, yang ini berantem sama mahasiswa  satu kampus. Gilee man!Mahasiswa juga nggak cuma melayani tawuran antarmahasiswa.  Anak-anak UKI Di Jakarta, juga pernah tawuran ngelawan anak-anak SMA. Pokoke,  selama urusannya tawuran, siapa aja juga dilayani. Ikan bawal dalam kuali,  ente jual ane beli.Penyakit ‘bawaan’?Kalo ditanya apa penyebab mahasiswa tawuran, ngejawabnya susah.  Gara-gara masalah sepele tawuran bisa meledak. Bulan lalu dua kampus terlibat  tawuran karena temen mereka terlibat cinta segitiga di antara dua kampus itu.  Nggak terima diselingkuhi, batu ngelayang dan pukulan bertubi-tubi mendarat di  wajah. Jadi deh tawuran. Cinta emang butuh pengorbanan, terkadang darah dan  …batu! Tawuran ini kayak di SMA; diwariskan dari angkatan ke angkatan.  Kakak kelas mereka di kampus, bukannya ngewarisin harta benda apalagi deposito,  justru mewariskan permusuhan. Para junior  mereka
dikader untuk jadi milisi tawuran. Mereka juga bikin cap musuh  bebuyutan. Baik itu yang beda kampus atau yang partai derby, satu lokasi  tapi beda fakultas atau jurusan.Mahasiswa yang nggak mau ikut tawuran dicap nggak solider atau  bencong. Aih, aih jijay bajay deh eike. Selain itu mereka juga bakal  dapat sanksi sosial; dikucilin dari pergaulan. Kalo udah begitu, tawuran bisa  meledak kapan aja. Dan apa aja bisa jadi pemicu tawuran. Kalo nggak ada masalah  ya dicari-cari masalah. Jadi lebih baik nyari masalah daripada nyari kerjaan.  Karena emang kerjaannya ya tawuran.Kalo begitu, tawuran ini kayak penyakit bawaan. Bisa jadi udah  dibawa sejak jaman SMA atau malah SMP. Aktivisnya emang udah biasa ‘turun’ ke  jalan. Tawuran sejak jaman sekolah dulu. Mungkin mereka hepi banget, ternyata  di kampus juga tetep bisa nyalurin ‘bakat’ bejatnya dulu.Sobat remaja, jelas apa yang kakak-kakak mahasiswa lakukan itu  bukan teladan yang baik. Memalukan bangetz.
Manusia itu kan kudunya makin dewasa ya makin bijak.  Bukannya makin brutal. Apalagi ini statusnya mahasiswa. Jelas ilmunya sih  kudunya makin tinggi. Harusnya seperti ilmu padi, makin berisi makin cepet  dibikin nasi, eh makin merunduk.Yang namanya tawuran pastinya destruktif. Sering yang jadi korban  adalah mahluk tak bersalah, misalnya kampus. Termasuk kampus mereka sendiri.  Beberapa kali kejadian tawuran kampus juga ikutan diancurin. Lho kalo kampusnya  rusak kuliah di mana dong? Di lapangan? Nanti saingan dong ama ‘Universitas  Terbuka’.Padahal kampus itu kan  dibangun pake uang rakyat. Dari pajak en dari SPP mahasiswa. Nggak cuma pelaku  tawuran doang yang bayar SPP. Atau, jangan-jangan mereka juga suka nunggak SPP.  Apa nggak punya malu ngancurin harta rakyat negeri sendiri? Padahal, mahasiswa  itu kan  katanya makhluk yang intelek. Bukannya makin bertanggung jawab, eh malah  destruktif.Tapi namanya juga tawuran, pelakunya udah gelap mata. Mau  kampusnya ancur, mau kena DO, nggak jadi soal. Yang penting nafsu haus darah  terlampiaskan. Apalagi kalo pelakunya pake narkoba, udah deh dijamin makin  beringas kayak Van Damme lagi gelut ngelawan musuh-musuhnya.Kudu distopEmang sih nggak semua mahasiswa itu ancur. Masih banyak yang  baek-baek. Yang masih pake akal sehatnya ketika menghadapi masalah. Kita  percaya yang tawuran itu jumlahnya dikit. Tapi seperti kata pepatah; akibat  nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena perbuatan segelintir orang, nama  baik mahasiswa jadi ternoda.
Tawuran mahasiswa bisa jadi satu gambaran bahwa masyarakat kita  ini lagi sakit. Tawuran juga dilakukan masyarakat. Ada yang antar kampung, atau antar pendukung  saat pilkada. Berarti yang kudu diobati bukan cuma  mahasiswanya, tapi juga masyarakatnya.Yup, jujur aja, masyarakat Indonesia semakin nggak ramah.  Orang gampang ngambek. Juga berani main pukul. Tingkat kriminalitas di tanah  air semakin
tinggi. Apalagi kekerasan, di mana-mana terjadi. Selain tawuran, yang kini lagi ‘ngetop’ adalah mutilasi. Udah gitu para politisinya juga banyak  yang korup. Mau jadi caleg aja pada malsuin ijazah. Gimana kalo udah jadi  pejabat atau anggota legislatif?So, bangsa ini kudu bercermin kalo udah rusak luar dalem. Yang tua  dan yang muda babak belur adu jotos.Karena ini pelakunya adalah mahasiswa, berarti dunia pendidikan  kudu bertanggung jawab. Sembilan tahun duduk di bangku sekolah (apalagi kalo  tambah TK!), ternyata belum bisa ngubah kepribadian anak bangsa. Yang narkoba,  yang gaul bebas, en yang tawuran di bangku kuliah merebak. Itu karena pendidikan  kita cuma diisi bagi-bagi ilmu (baca: transfer) tapi nggak ngebentuk  kepribadian yang bener, apalagi yang Islami. Nggak jelas mau dibentuk kayak apa  anak sekolah kita. Pinter nggak, berakhlak bagus juga nanggung.Lebih parah lagi ada aja sekolah yang mau nampung siswa  sebanyak-banyaknya, tapi nggak ngasih kurikulum dan pendidikan yang bener. Yang  penting bayaran sekolahnya lancar. Seringkali sekolah kayak gitu diisi oleh  anak-anak yang bermasalah. Bukannya dibetulin oleh sekolah, justru ditampung dan  jadi kelompok tawuran yang besar.
Dunia pendidikan kudunya ngebentuk kepribadian Islam. Idealnya  pendidikan agama sebanyak mata pelajaran sains dan teknologi. Nggak kayak  sekarang, di mana pelajaran agama hanya 2 sks. Belum lagi kalo gurunya nggak  masuk atau cuma ngasih fotokopian. Ditambah lagi materi pelajarannya seringkali  nggak up to date, alias nyetel dengan perkembangan jaman. Bete banget  tuh!Jangankan berharap pelajar kita apal juz amma atau shalat malam,  lha wong masih banyak yang belum bisa baca al-Quran aja atau belum betul  shalatnya. Jadi, apa ya tujuan pendidikan di tanah air? Apalagi kalo bukan  ngejar ijazah dan bisa cari duit.Selain itu, kudu ada tindakan tegas setiap kali ada tawuran.  Jangan cuma sanksi akademik, tapi juga
sanksi hukum.
Satu-satunya hukum yang  adil adalah hukum Islam. Dalam Islam pelaku tawuran bisa dijerat aneka hukuman;  pembegal/nakuti-nakuti orang juga qishash atau diyat. Kalo ada darah  berceceran, maka pelakunya kena qishash atau diyat. Satu jari tangan aja dihargai denda 10 ekor unta. Kalo sampai kehilangan nyawa maka 100 ekor unta  kudu dibayar, atau keluarga korban menuntut hukuman mati. Kalo cuma penjara mah enteng banget. Pelaku nggak bakal kapok, dan  pasti berencana bales dendam. Soalnya nggak ada hukuman yang bikin takut  pelakunya. Tawuran pun bakal berulang. Dijamin banget deh.Semua solusi itu nggak bakal terjadi, selama bangsa Indonesia masih  betah dengan sekulerisme-kapitalisme. Dalam sekulerisme, agama dianggap kagak  penting. Dalam kapitalisme, pendidikan dianggap penting kalo menghasilkan uang,  bukan kepribadian. Nggak peduli lulusannya mau jadi apa, yang penting SPP-nya  lancar.Rise Islam, not war!
Buat para mahasiswa, apa nggak malu tawuran? Padahal banyak  mahasiswa yang pengen dianggep paling vokal, kritis, mikirin rakyat. Semuanya  bisa jadi bohong kalo mahasiswanya sendiri berperilaku brutal. Gimana mau  mikirin rakyat kalo kampus aja diacak-acak dan kuliah sering bolos ikut  tawuran?Lama-lama, masyarakat bakal nggak percaya lagi pada mahasiswa.  Hujatan dan pandangan sinis bakal datang buat mahasiswa. Khususnya yang hobi  tawuran. Bener lho. Fakta udah banyak. Kini jadi mahasiswa tuh bukan lagi  kebanggaan, karena banyak oknum mahasiswa yang hobinya kekerasan dan tawuran.  Kalo demo aja kayaknya ngerasa bangga kalo udah ngerubuhin pagar. Apalagi pas aksi tersebut disorot kamera televisi. Duiele.. jadi kayak bintang film laga  aja. Malu-maluin ah.Selain itu, apa nggak mikir kalo perbuatan kalian itu merusak  citra mahasiswa? Juga apa nggak malu kalo perbuatan kalian itu bakal dicontoh  oleh adik-adik yang masih duduk di SMU, SMP malah SD?
Selain itu, tawuran antarmahasiswa juga rawan ditunggangi  pihak-pihak tertentu. Motifnya, ya supaya negeri ini kacau, atau motif ekonomi.  Seperti ditayangkan dalam sebuah acara di sebuah televisi swasta, seorang  pelaku ngaku kalo ada pihak yang membayar sejumlah mahasiswa untuk mengobarkan  tawuran. “Pokoknya kita kerja untuk siapa aja yang punya uang,” katanya. Astaghfirullah!Nah, para pelaku tawuran, nyadar nggak kalau kalian dijadikan boneka? Mending kalo  dapet bayaran, kalo cuma ikutan tahu-tahu mendadak benjut. Gimana? Mikir, man!  Katanya mahasiswa, malu deh!

Sabtu, 08 Oktober 2011

Agar Anak Tidak Menjadi TERORIS


Betapa hancur hati kedua orang tua, tatkala dikabarkan kepada mereka ternyata anaknya - yang selama ini dikenal sebagai anak baik-baik dan pendiam - terciduk oleh aparat kepolisian karena terlibat jaringan terorisme. Orang tua yang lain pun shock begitu mendengar anaknya tewas dalam aksi peledakan. Sementara itu, teman-temannya serasa tidak percaya mendengar berita bahwa anak yang selama ini mereka kenal sebagai anak baik, supel, dan ramah, ternyata terlibat aksi terorisme!!

Demikianlah, betapa menyedihkan, ternyata jaringan terorisme telah berhasil menyeret anak-anak baik dari putra-putra kaum muslimin dalam aksi biadab yang bertentangan dengan agama dan akal sehat tersebut.

Tentunya, kita bertanya-tanya bagaimana anak-anak muslimin bisa terseret jaringan terorisme? Melalui pintu apa terorisme bisa masuk ke alam pikiran mereka sehingga mereka tertarik dan mau mengikutinya?

Pembaca, kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah …

Akar munculnya terorisme adalah dari paham sempalan khawarij. Suatu paham ekstrim dalam beragama, yang membuahkan sikap merasa benar sendiri, kemudian serampangan dalam memahami dan mengamalkan dalil-dalil syari'at lepas dari bimbingan para ‘ulama, yang berujung kepada pengkafiran semua pihak yang bertentangan dengan pendapatnya, termasuk mengkafirkan pemerintah kaum muslimin.

Gerakan terorisme yang pertama kali muncul dalam sejarah Islam adalah di akhir masa Khilafah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallah ‘anhu, yang diprakarsai oleh seorang Yahudi, Abdullah bin Saba`, dengan menampilkan slogan keadilan dan benci kezhaliman. Sebagai korban pertama kali adalah sang khalifah Utsman bin ‘Affan sendiri! Kemudian semakin gencar pada masa Kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallah ‘anhu, yang beliau sendiri pun menjadi korban aksi terorisme tersebut. Merekalah kelompok sempalan khawarij, yang tumbuh menggerogoti dan menghancurkan Islam. Di atas paham mengkafirkan orang-orang yang bertentangan dengan mereka, dan berlanjut menghalalkan darah mereka. Terutama pemerintah muslimin, yang telah mereka vonis sebagai pemerintah kafir. Itu semua mereka lakukan atas nama agama.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jauh-jauh hari telah memberitakan kemunculan kelompok sesat ini, lengkap dengan ciri-ciri dan sifat-sifatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:



سَيَخْرُجُ فيِ آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ اْلأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ البَرِيَّةِ يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang muda-muda umurnya, pendek akalnya. Mereka mengatakan ucapan sebaik-baik manusia. Mereka membaca Al Qur'an, tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah menembus binatang buruannya. [HR. Al Bukhari 3611, 5057, 6930; Muslim 1066]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyifati mereka sebagai:

هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَ الْخَلِيْقَةِ

Mereka adalah sejahat-jahat makhluk. [HR. Muslim 1067]

Maka apabila pada anak-anak kaum muslimin ada kecenderungan mengkritisi pemerintah muslimin, selalu menentang kebijakan pemerintah muslimin, bahkan berani memvonis kafir terhadap pemerintah muslimin tanpa bimbingan para ‘ulama, maka hati-hati dan waspadalah! Ini merupakan bibit paham takfir (mudah mengkafirkan kaum muslimin), yang merupakan benih awal untuk seseorang berani menghalalkan darah pemerintah muslimin dan siapapun yang mereka anggap membela dan mendukung pemerintah. Pada ujungnya, mengantarkan mereka untuk berani melakukan aksi kekerasan yang dilabeli sebelumnya sebagai jihad. Inilah awal mula seorang terseret dalam aksi terorisme.

Kaum muslimin rahimakumullah…

Kesalahfatalan berikutnya, yang pada ujungnya menghantarkan anak-anak kaum muslimin untuk tertarik dengan gerakan terorisme adalah semangat berjihad yang besar dan kebencian yang besar terhadap orang-orang kafir, namun tidak disertai dengan pemahaman yang benar tentang apa itu jihad, bagaimana aturan Islam tentang masalah jihad, serta orang kafir manakah yang boleh untuk diperangi?

Tidak diragukan lagi, bahwa jihad merupakan puncak Islam yang tertinggi. Orang-orang kafir adalah musuh-musuh Islam yang harus dibenci dan diperangi oleh kaum muslimin. Namun, dalam agama Islam ada aturan dan tuntunan yang harus dipahami dengan benar dan tidak boleh dilanggar. Hal inilah yang tidak dipahami dengan baik oleh mereka yang terlibat dalam aksi terorisme tersebut. Karena memang di antara sifat dan ciri-ciri mereka adalah pendek akalnya dan cupet (Bhs. Jawa: dangkal) cara pandangnya. Tak heran bila aksi terorisme (baca: kebodohan) yang mereka lakukan tersebut merusak citra Islam dan mencemarkan nama baik kaum muslimin, terkhusus lagi nama baik orang-orang yang istiqamah di atas agamanya.

Sebagai contoh, bahwa dalam syari'at Islam tidak semua orang kafir boleh dibunuh.

Kafir Dzimmi, Kafir Mu'ahad, Kafir Musta'min dalam Islam jiwanya terlindungi tidak boleh dibunuh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا

Barangsiapa yang membunuh seorang kafir mu'ahad, maka dia tidak akan mencium aroma wangi al Jannah (surga). (Padahal) sesungguhnya aroma wangi al jannah itu didapati (tercium) sejauh perjalanan 40 tahun. [HR. Al-Bukhari 3166, 6914; An-Nasa`i 4764; Ibnu Majah 2736; Ahmad V/36]

Adapun orang kafir yang boleh diperangi dan dibunuh adalah kafir harby, yaitu orang-orang kafir yang memerangi muslimin, tidak ada antara muslimin dengan mereka perjanjian, dzimmah, tidak pula jaminan keamanan.

Kita perlu waspada pula, apabila seorang mulai kagum dan mengidolakan tokoh-tokoh teroris semacam Usamah bin Laden, Aiman Azh-Zhawahiri, seraya menganggapnya sebagai tokoh ‘ulama besar yang diikuti ucapan dan fatwa-fatwanya. Sebagai contoh, pelaku peledakan bom Bali yang bernama Imam Samudra. Dia menganggap tokoh-tokoh teroris panutannya diatas sebagai ‘ulama dan menyejajarkannya dengan para ‘ulama besar Ahlus Sunnah. Padahal sifat dasar para khawarij pelaku aksi teror tersebut adalah sama sekali lepas dari bimbingan para ‘ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam memahami dan mengaplikasikan dalil-dalil syari'at.

Lebih rumit lagi, orang-orang yang terlibat dalam jaringan terorisme, ternyata bukanlah orang-orang yang jauh dari agama. Sebaliknya mereka adalah orang yang zhahirnya sangat dekat kepada agama, menampakkan syi'ar-syi'ar Islam dalam penampilan dan pakaian mereka, dan sangat rajin beribadah. Bahkan aksi teror yang mereka lakukan tersebut diyakini dalam rangka memperjuangkan Islam dan merupakan bagian dari ajaran Islam!!

Kaum muslimin rahimakumullah…

Sikap komitmen terhadap ajaran agama, berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah merupakan sikap yang harus kita jalankan. Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menjauh atau apriori terhadap Islam dan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Namun sikap berpegang teguh terhadap agama tersebut harus berdasarkan manhaj (metode pemahaman) yang benar, dengan bimbingan para ‘ulama sejati dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Alhamdulillah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah meninggalkan umatnya di atas petunjuk yang sangat jelas. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menegaskan:

وَايْمُ اللهِ قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا وَنَهَارُهَا سَوَاءٌ

Demi Allah, aku tinggalkan kalian di atas (agama) yang terang benderang. Kondisi malam dan siangnya sama. (HR. Ibnu Majah no.5. Ash-Shahihah no.688)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga telah menggariskan manhaj yang benar dalam memahami dan mengaplikasikan agama ini, yaitu dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتَلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian (sepeninggalku), dia akan mendapati perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnah (bimbingan)ku dan sunnah para khulafa' rasyidin sepeninggalku. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian. (Abu Dawud 4607, At-Tirmidzi 2676. Ash-Shahihah no. 937)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda tentang jalan yang benar dalam memahami Islam:

مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي

Jalan/Prinsip yang Aku (Rasulullah) berada di atasnya dan juga para shahabatku. (At-Tirmidzi 2641, Ath-Thabarani I/256. Ash-Shahihah 203, 204)

Jika kita tidak memperhatikan prinsip di atas, akan menyebabkan salah dalam memahami dan mengaplikasikan dalil-dalil agama yang membuahkan sikap ekstrim dan menyimpang dalam beragama.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mencela sikap ekstrim tersebut dalam sabda beliau:

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ، هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ، هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ

Binasalah orang-orang yang ekstrim, binasalah orang-orang yang ekstrim, binasalah orang-orang yang ekstrim. (Muslim 2670)

Nasionalisme dan Globalisasi


Nasionalisme merupakan suatu bentuk ideologi, demikian pendapat James G. Kellas (1998:4). Sebagai suatu ideologi, nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai suatu bangsa serta memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkah laku seorang nasionalis didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa.

Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban atas kolonialisme. Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi bangsa merdeka. Semangat tersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang.

Kebijakan pendidikan nasional di awal abad XX telah menciptakan inti dari elite baru Indonesia yang terdiri dari para dokter, guru, dan pegawai sipil pemerintah. Bersamaan dengan itu, kebencian yang laten terhadap dominasi kolonial timbul di atas ambang kesadaran nasional. Berdirinya Boedi Oetomo (1908) menjadi tanda kebangkitan nasionalisme Indonesia yang kemudian diikuti organisasi-organisasi nasional lainnya.

Jiwa nasionalisme kaum elite dari hari ke hari semakin meluas dan menguat di hati rakyat. Tekanan ekonomi yang teramat berat selama pendudukan Jepang memperkuat semangat nasionalisme untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Pada kurun waktu 1945-1950, jiwa nasionalisme diperteguh oleh semangat mempertahankan kemerdekaan, serta persatuan dan kesatuan Indonesia yang dirongrong oleh perlawanan kedaerahan dari Negara-negara boneka bentukan Belanda.

##

Kini nasionalisme menghadapi tantangan besar dari pusaran peradaban baru bernama globalisasi. Nasionalisme sebagai basic drive serta elan vital dari sebuah bangsa bernama Indonesia sedang diuji fleksibilitasnya, dalam arti kemampuan untuk berubah sehingga selalu akurat dalam menjawab tantangan zaman. Fleksibilitas tidaklah mengurangi jiwa nasionalisme, justru sebaliknya, fleksibiltas menunjukkan begitu dalam nasionalisme mengakar sehingga dalam waktu bersamaan dia tetap hidup dan terus-menerus bermetamorfosis.

Pusaran ekonomi global menendang nasionalisme jauh ke pinggiran. Nasionalisme menjadi tidak relevan lagi. Di masa lalu modal terkait erat dengan rakyat. Dia memiliki tanggung jawab sosial untuk menghidupi seluruh komunitas (bangsa). Namun kini, privatisasi terus-menerus menyeret modal menjauh dari dimensi sosial atau komunitasnya. Demi keuntungan yang sebesar-besarnya modal dengan cepat berlari (capital flight) ke (Negara) mana pun yang disukainya.

Apakah Negara hancur lebur karena krisis ekonomi atau rakyat mati kelaparan, tidak lagi dipandang sebagai tanggung jawab para pemilik modal. Banyaknya perusahaan yang melarikan modalnya ke Negara lain pada saat krisis ekonomi di pertengahan 1997 dan tahun-tahun sesudahnya memberi gambaran kongkret atas persoalan tersebut.

Kenyataan demikian memunculkan persoalan, apakah nasionalisme masih relevan dalam pusaran ekonomi global saat ini, sebab modal finansial melepaskan diri dari keterikatannya dengan nation-state, sehingga bangsa sebagai komunitas solidaritas menjadi utopia.

Globalisasi sebagai proses de-teritorialisasi tidak hanya menimbulkan persoalan di bidang ekonomi, tetapi juga kebudyaan. Kebudayaan kerap dikaitkan dengan teritori tertentu. Ruang membentuk identitas budaya. Ini berarti nasionalisme Indonesia pun dibangun oleh kebudayaan Indonesia yang berada dalam batas-batas geografis tertentu. Itu pemahaman kebudayaan di masa lalu.

Globalisasi sebagai proses de-tertorialisasi telah mengubah semua itu. kebudayaan tidak lagi terkungkung dalam teritori tertentu. Kini sedikit anak-anak muda Kota Kembang yang lebih terampil break dance daripada Jaipongan, atau lebih mahir bermain band, daripada menabuh gamelan. Kita juga bisa menyaksikan orang barat yang menjadi dalang dan piawai memetik kecapi. Kita bisa menyaksikan ibu-ibu yang setia berkebaya serta bapak-bapak yang bersarung atau berpeci, pada waktu bersamaan begitu menikmati fast-food bermerk global. Kebudayaan telah melepaskan diri dari keterikatannya pada nation-state. Kenyataan ini menghadapi nasionalisme dengan persoalan, manakah kebudayaan yang akan menjadi media berurat-akarnya nasionalisme?

Bersamaan dengan proses de-teritorialisasi dan mengglobalnya kebudayaan terjadi gerak sebaliknya berupa pencarian identitas lokal yang semakin intensif.
Proses mengglobal dan melokal janganlah dipandang sebagai penyakit atau kelainan dalam budaya masyarakat tetapi mesti diterima sebagai keutamaan hidup manusia; semakin mengglobal semakin rindu akan identitas lokalnya. Gerak paradoks tersebut tampak jelas dalam bangkit dan menguatnya gerakan-gerakan etnis serta agama. Nation-state menghadapi ancaman dari berbagai gerakan partikular sehingga memicu domestic conflicts yang dapat membawa pada runtuhnya nation-state seperti yang dialami oleh bekas Negara Uni Soviet. Pada titik ini nasionalisme pun dipertanyakan eksistensi dan relevansinya.

Globalisasi bidang politik mendatangkan persoalan serupa atas nasionalisme. Globalisasi telah mereduksi pentingnya lingkup politik dari nation-state yang merupakan basis bagi pembanguan social-politik. Peran nation-state menjadi subordinate karena diambilalih oleh lembaga-lembaga ekonomi transnasional. Jika eksistensi nation-state terpinggirkan, halnya sama dengan nasionalisme, nasionalisme menjadi ideologi yang kadaluarsa.

##

Dari perspektif ekonomi, budaya, dan politik global tampak bahwa nasionalisme menghadapi tantangan yang sangat besar di tengah pusaran globalisasi saat ini. Apakah ini berarti nation-state tidak relevan lagi, yang berarti tidak relevan pula membicarakan nasionalisme? Fakta menunjukkan bahwa hingga saat ini kewarganegaraan modern dengan berbagai hak sosial, politik, dan sipilnya tidaklah melampaui batas-batas nasional. Meski kini berkembang berbagai komunitas transnasional, Uni Eropa misalnya, namun seseorang yang hendak menjadi anggota terlebih dahulu mesti memperoleh kewarganegaraan dari salah satu Negara anggotanya. Ini berarti di tengah arus globalisasi, peran nation-state serta nasionalisme tetap relevan dan signifikan.

Pertanyaan yang segera muncul, nasionalisme yang mana? Jika ditempetkan dalam ketegangan lokal-global, nasionalisme merupakan pencarian identitas lokal (nasional) di tengah pusaran globalisasi. Nasionalisme sebagai identitas bukanlah “kata benda” yang bentuk dan wujudnya sudah jadi dan final. Nasionalisme merupakan “kata kerja”, artinya dia adalah suatu projek yang mesti terus-menerus dikerjakan, dibangun, serta diberi dasar dan makna baru pada setiap kesempatan. Proses kerjanya dijalani lewat public critical rational discourse yang melibatkan seluruh bagian anak negeri sebagai yang sederajat tanpa mengecualikan siapapun.

Di tengah pusaran globalisasi, nasionalisme Indonesia bukan lagi memanggul senjata atau bambu runcing dengan semangat “merdeka atau mati“. Nasionalisme Indonesia bukanlah patriotisme gaya Hitler atau Mussolini, juga melampaui semboyan termashur dari perdana Menteri Britania Raya, Disraeli, “benar atau salah, negeriku selalu benar”. Nasionalisme demikian oleh Mangunwijaya dimaknai sebagai nasionalisme pasca-Indonesia.

Arah nasionalisme pasca-Indonesia, menurut Mangunwijaya, akan berkembang dengan mengambil sumber dari semangat dasar nasionalisme generasi 1928; suatu nasionalisme hakikat nasionalisme generasi 1928 merupakan perjuangan dan pembelaan kawanan manusia yang terbelenggu penjajahan, tertindas, miskin kemerdekaan dan hak menentukan diri sendiri. Nasionalisme pasca-Indonesia seperti juga nasionalisme 1928 diarahkan utnuk memperjuangkan hidup manusia yang termarginalisasi, teralienasi serta tak berdaya menghadapi penguasa ekonomi, politik, budaya yang lalim dan sewenang-wenang.

Bedanya, nasionalisme generasi 1928 ditujukan ke arah lawan asing dari luar, sedangkan bagi nasionalisme pasca-Indoneseia yang hidup dalam pusaran globalisasi, batas-batas geopolitis semakin kabur. Perjuangan kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan dari nasionalisme pasca-Indonesia tiak hanya diarahkan ke pihak-pihak asing tetapi juga ke dalam negeri sendiri, bahkan diri sendiri. Nasionalisme pasca-Indonesia merupakan perjuangan utnuk meniadakan segala bentuk eksploitasi manusia (juga lingkungan hidup berserta semua penghuninya) oleh siapa pun, dari manapun dan dalam bentuk apa pun.

Nasionalisme pasca-Indonesia tidak menghabiskan “hidupnya” untuk memaksakan memilih salah satu pro atau kontra globalisasi. Bagi nasionalisme pasca-Indonesia, globalisasi merupakan proses sejarah yang tak terelakkan (unevitable). Kita tidak mungkin lari apalagi menolak serta menghentikan proses globalisasi. Nasionalisme pasca-Indonesia lebih concern dengan persoalan yang lebih mendasar, yaitu bagaimana “mengawal” globalisasi agar lebih manusiawi.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai Nasionalisme

Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.

Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)

Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.

Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.

Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme

Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.

Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.

Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.

 Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme

Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang

Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.

Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.

Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.

Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.

Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.

Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.

Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.

Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?

Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.

Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme

Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :

  1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
  2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
  3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
  4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
  5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.


Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.