Selamat Datang

Sabtu, 24 September 2011

Demokrasi

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat",yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".[5] Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.

Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari. Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja. Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu.

Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut.

Sejarah demokrasi
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia.Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.

Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1,500 negara kota (poleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150,000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.

Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi pada 510 SM hingga 27 SM. Sistem demokrasi yang dipakai adalah demokrasi perwakilan dimana terdapat beberapa perwakilan dari bangsawan di Senat dan perwakilan dari rakyat biasa di Majelis.

Bentuk-bentuk demokrasi

Secara umum terdapat dua bentuk demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan.

Demokrasi langsung
Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi dimana setiap rakyat memberikan suara atau pendapat dalam menentukan suatu keputusan. Dalam sistem ini, setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka memiliki pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi. Sistem demokrasi langsung digunakan pada masa awal terbentuknya demokrasi di Athena dimana ketika terdapat suatu permasalahan yang harus diselesaikan, seluruh rakyat berkumpul untuk membahasnya.

Di era modern sistem ini menjadi tidak praktis karena umumnya populasi suatu negara cukup besar dan mengumpulkan seluruh rakyat dalam satu forum merupakan hal yang sulit. Selain itu, sistem ini menuntut partisipasi yang tinggi dari rakyat sedangkan rakyat modern cenderung tidak memiliki waktu untuk mempelajari semua permasalahan politik Negara.

Demokrasi perwakilan
Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka.

Prinsip-prinsip demokrasi
Rakyat dapat secara bebas menyampaikan aspirasinya dalam kebijakan politik dan sosial.
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
  1. Kedaulatan rakyat;
  2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
  3. Kekuasaan mayoritas;
  4. Hak-hak minoritas;
  5. Jaminan hak asasi manusia;
  6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
  7. Persamaan di depan hukum;
  8. Proses hukum yang wajar;
  9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
  10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
  11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.


Asas pokok demokrasi
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:
Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.

Ciri-ciri pemerintahan demokratis
Pemilihan umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik. Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:
  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
  3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
  5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
  7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
  8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
  9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).

Demonstrasi Mahasiswa, Pentingkah?

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, Demos dan Cratein. Demos berarti rakyat, dan Cratein berarti pemerintahan. Jadi, menurut bahasa asalnya, Demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat. Pemerintahan dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam demokrasi, suara rakyat sangat diperhitungkan dan menjadi bagian dalam pemerintahan itu sendiri.

Negara kita, Indonesia juga menganut paham demokrasi. Rakyat sangat berperan penting dalam pemerintahan, banyak sekali keputusan pemerintah yang berdasarkan keinginan ataupun pendapat rakyat. Mahasiswa, dalam hal ini termasuk juga dalam kategori rakyat tersebut. Bisa kita lihat bahwa beberapa keputusan penting pemerintahan, diambil karena tuntutan mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Misalnya, turunnya mantan presiden Soeharto pada era reformasi, itu terjadi karena mahasiswa yang menuntut agar orde baru berakhir dan diganti dengan reformasi. Turunnya almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pun, juga terjadi karena mahasiswa melakukan demonstrasi demi perbaikan bangsa Indonesia tercinta ini.

Demonstrasi atau gerakan rakyat, merupakan hal yang sudah wajar terjadi di negara-negara yang menganut paham demokrasi. Justru demokrasi tanpa demonstrasi, itu yang aneh. Mahasiswa juga identik dengan demonstrasi. Apalagi ketika suatu rezim atau pemerintahan sudah dirasa tidak baik atau melenceng dari jalannya, biasanya mahasiswa yang paling kritis dan segera melakukan demonstrasi ke jalan. Mahasiswa, dengan semangat dan gejolak masa muda serta sifat kritis yang ada di dalam otaknya, dengan semangat melakukan demonstrasi dan menuntut terjadinya perubahan. Pokoknya setiap ada sesuatu yang tidak beres di pemerintahan, mahasiswa pasti turun tangan dan segera ke jalan menyuarakan perbaikan.

Tapi sebenarnya, apakah demonstrasi itu perlu dilakukan oleh mahasiswa? Seperti yang kita tahu, pekerjaan mahasiswa tidak hanya berdemonstrasi saja, tetapi, ujian-ujian, kuis, UKM, serta tugas-tugas dari dosen yang menumpuk, bahkan ada juga mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Dengan kegiatan yang sangat banyak itu, apakah relevan jika mahasiswa melakukan demonstrasi?

Suatu waktu, saya menonton film yang saya lupa judulnya , di film itu ada satu bagian yang menampilkan perjuangan seorang lelaki yang ketika tahun 1998 ikut menyuarakan aspirasinya dengan melakukan demo dan turun ke jalan. Pejuang reformasi, adalah ‘gelar’ yang ia terima dan sangat ia banggakan pada saat itu. Bahkan ia mengaku sempat beberapa kali bolos kuliah untuk ikut demo dengan teman-temannya. Ia mahasiswa Universitas Indonesia ketika itu.
Ia berpendapat, dulu Ia merasa bangga jika bisa turun ke jalan, berteriak-teriak menuntut reformasi, bergabung dengan teman-teman dari universitas yang sama dengannya, ataupun dengan teman-teman dari universitas lain. Menjatuhkan suatu rezim yang sudah merugikan banyak rakyat merupakan suatu hal yang sangat Ia banggakan. Namun, jika melihat anak-anak muda, mahasiswa-mahasiswa sekarang melakukan demonstrasi, Ia mengatakan, “Apa kepentingannya?”. Dulu, mahasiswa melakukan demonstrasi dan melakukan perjuangan untuk mengganti orde baru dengan reformasi, karena memang itu adalah suatu hal yang harus diperjuangkan. Mereka berdemo karena memang sesuatu yang mereka demonstrasikan adalah sesuatu yang sampai titik darah penghabisan harus diperjuangkan, karena kita tidak mungkin bertahan terus menerus di bawah tekanan orde baru.

Jika mahasiswa sekarang berdemo, untuk apa? Demonstrasi yang mahasiswa lakukan dewasa ini, identik dengan kekerasan dan anarkisme. Ingat demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dari Universitas Hassanudin di Makassar ketika Hari Anti Korupsi? Ketika di Jakarta demonstrasi dilakukan dengan damai dan terstruktur oleh masyarakat yang notabene bukan mahasiswa, di Makassar mahasiswa malah melakukan anarkisme. Demonstrasi yang dilakukan para mahasiswa UNHAS tersebut berujung pertengkaran dan kerusuhan. Sungguh melenceng dari tujuan demonstrasi yang sebenarnya.

Karena demonstrasi yang dilakukan mahasiswa itu identik dengan kekerasan dan anarkisme, ada beberapa universitas di Jakarta yang melarang mahasiswanya turun ke jalan dan melakukan demonstrasi. Jika ketahuan melakukan demonstrasi, mahasiswa tersebut dapat saja langsung di drop out oleh pihak kampus.

Memang, demonstrasi bukanlah hal yang salah untuk dilakukan oleh mahasiswa, namun, kita harus berpikir, apakah demonstrasi yang kita lakukan ini ada esensinya? Ada tujuannya? Dan apakah tujuan itu dapat terlaksana nantinya kalau kita sudah turun ke jalan? Intinya, janganlah kita kita menyia-nyiakan waktu kita. Orangtua kita memberikan kesempatan kuliah bagi kita, atau bagi kalian yang bekerja untuk membiayai kuliah sendiri, apakah kita mau membuang kesempatan dari orangtua, atau uang hasil kerja keras kita untuk kuliah dengan mati sia-sia? Kita ambil kemungkinan paling buruk, jika kita meninggal dunia atau luka berat karena demonstrasi yang berujung anarkis, apakah kita mau mengambil risiko tersebut?

Jika demonstrasi yang kita lakukan seperti pada tahun 1998 yang benar-benar membuahkan hasil, tentunya itu tidak sia-sia, jikalau kita meninggal dunia, kita meninggal dunia sebagai pahlawan. Demonstrasi, jika kita lakukan sekarang, nampaknya sudah tidak relevan lagi, karena memang belum ada sesuatu yang harus betul-betul diperjuangkan. Janganlah mahasiswa melakukan demonstrasi hanya untuk kesenangan tersendiri berada di jalan dan merasa superior, dan ujung-ujungnya adalah kekerasan, anarkisme dan pertengkaran. Lebih baik kita, sebagai mahasiswa belajar dengan sebaik-baiknya untuk menambah pengetahuan, dan ketika kita ingin menyalurkan aspirasi kita, lebih baik lewat media tulisan saja, sehingga kita menyuarakan aspirasi kita menggunakan otak, bukan sekadar di mulut saja.

Jumat, 16 September 2011

RADIKALISME – TERORISME dan ANAK MUDA


Bom bunuh diri kembali mengguncang ibu pertiwi. Masjid Adz-Dzikro, kompleks Mapolresta Cirebon, pada tanggal 15 April 2011 menjadi tempat untuk “berjihad” Muhammad Syarif Astanagarif (32 tahun). Hanya pelakunya, bomber M Syarif, yang langsung mampus dihajar bom yang dililitkan di tubuhnya. Tampaknya M Syarif berkeinginan mati “sahid” dengan sejumlah polisi khususnya Kepala Polresta Cirebon.

Kendatipun sasaran polisi tidak ada yang meninggal, tetapi serangan M Syarif dan kelompoknya dapat dibilang sukses karena mampu menyerang polisi simbol pemerintah dan penghalang gerakan-gerakan kelompok teroris. Ia dan kelompoknya dapat kembali menebar ketakutan di masyarakat. M Syarif sendiri tentunya merasa sukses karena dapat mati “sahid” melalui “jihad” sesuai keyakinan dan perjuangannya.
Gerakan teroris yang semakin menggila di Indonesia melalui teror bom diberbagai tempat menjadikan masyarakat merasa tidak aman di tempat-tempat umum sekalipun di tempat ibadah. Bahkan bom sudah masuk rumah melalui kiriman paket bom buku yang salah satunya meledak di tangan polisi yang berusaha menjinakkannya.
Bom Cirebon mengingatkan peristiwa bom-bom bunuh diri dan pelaku pengeboman sebelumnya. Para bomber atau pelaku pengeboman atau yang masuk kelompok penganut radikalisme dengan aksi-aksi teror dan kekerasan pada umumnya dilakukan oleh generasi muda di bawah 40 tahun. Bahkan masih remaja sudah sangat berani menjadi bomber bunuh diri seperti yang dilakukan oleh Dani Dwi Permana yang baru berumur 18 tahun ketika menjadi bomber di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton tanggal 17 Juni 2009. Teroris pelaku bom Bali I tahun 2002 seperti Imam Samudra waktu itu berumur 30 tahun, Amrozi berumur 38 tahun, gembong teroris Noordin M Top waktu itu umur 34 tahun. Pelaku-pelaku lain seperti Misno berumur 30 tahun, bomber Bali II tahun 2005 yakni Ayib Hidayat berumur 25 tahun. Mereka tentu sudah sejak usia lebih muda masuk keyakinan yang berideologi radikal. Pendek kata, para teroris dan penganut aliran atau berideologi radikal atau yang masuk kelompok ekstrim pada umumnya dipelajari sejak masih usia muda.
Dari segi kuantitas, memang anak-anak muda yang berideologi radikal kemudian siap mati demi keyakinannya jumlahnya lebih sedikit dibandingkan populasi anak-anak muda yang ada. Akan tetapi, jumlah yang sedikit tersebut sangat berbahaya karena berhaluan keras dan militan. Mereka akan bertindak dengan menggunakan segala cara dan berani melawan norma-norma yang ada untuk mencapai tujuannya. Mereka siap mengorbankan nyawanya demi perjuangan dan keyakianannya. Pemerintah dan aparat keamanan pun selalu dibikin repot oleh ulah kelompok radikal ini. Masyarakat menjadi tidak tenang, kedamaian, persatuan dan kesatuan terus terancam.
Melihat fakta bahwa umumnya para radikalis-teroris dan pelaku anarkis lainnya dilakukan oleh kaum muda, serentetan pertanyaan dapat dilontarkan. Mengapa di era demokrasi gerakan radikalisme tumbuh subur dan tindak anarkis kaum muda terjadi di mana-mana?. Bagaimana peran pemerintah, pemimpin agama, pendidik dan orang tua dalam memberikan pendidikan dan membekali generasi muda untuk bekal hidup berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia yang berdasar Pancasila?. Mampukah Pancasila menjawab kegelisahan dan kekosongan keyakinan anak-anak muda untuk bekal hidup berbangsa dan bernegara yang pluralistik ini?.
Kegagalan Pemerintah
Memasuki era demokrasi mulai tahun 1998, bangsa ini seperti bebas dari belenggu penjajah. Masyarakat menghirup dan menikmati udara kebebasan yang tak terhingga. Rakyat bebas melakukan ekspresi diri dan kelompok melalui berbagai cara dan dalam berbagai bentuk. Euforia kebebasan benar-benar dinikmati dan dijalankan oleh semua rakyat. Akhirnya, di tataran masyarakat, kebebasan menjadi sulit terkendali. Kebebasan yang kebablasan. Pancasila dilupakan, ideologi lain bebas masuk dan dipelajari oleh anak-anak muda tanpa kontrol penguasa. Masyarakat mudah sekali melakukan unjuk rasa yang sering diikuti tindak anarkis. Konflik berbau SARA terjadi di berbagai daerah seperti di Maluku, Poso, Pontianak, Papua, Aceh. Bom meledak di mana-mana tanpa mengenal waktu. Negara sepertinya tidak ada dan tidak dianggap lagi. Aparat kemanan dilecehkan. Rasa kebangsaan sepertinya sudah terhapus dari diri rakyat.
Di tataran pemerintahan, semua produk dan kebijakan orde baru yang dinilai tidak mempunyai semangat reformasi dan demokrasi dianggap tidak baik, kuno “jadul”, dan semua itu harus ditinggalkan dan diganti tatanan yang baru. Segala sesuatu yang berbau Pancasila dinilai tidak baik. Buktinya, MPR dalam Sidang Istimewa tahun 1998 dengan Ketetapan MPR RI No.XVIIII/MPR/1998 mencabut Ketetapan MPR No II/MPR/1978 tentang P-4. Konsekuensinya, BP7 yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan politik dengan label Penataran P-4 dibubarkan. Akibatnya, para pejabat alergi bicara Pancasila. Masyarakat, anak-anak sekolah dan mahasiswa tidak mendapat pendidikan politik melalui Penataran P-4 di awal-awal masuk sekolah/kuliah. “Cuci otak” dengan ideologi Pancasila tak ada lagi. Mereka dibiarkan hidup tanpa pegangan dan pedoman yang jelas dalam berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, ada aliran arus deras ideologi lain masuk memenuhi ruang-ruang kebebasan dan dapat mengisi kekosongan dan kehausan anak-anak muda tentang pegangan hidup baru. Kemajuan teknologi informasi semakin mendorong kemudahan anak-anak muda mencari ideologi alternatif. Islam radikal, sosialisme kiri dan liberalisme menjadi santapan baru anak-anak muda yang semakin kritis. Sedangkan di pihak pemerintah tidak menyiapkan perangkat dan sistem atau model pendidikan politik bagi masyarakat dan generasi muda untuk pengganti P-4. Akibatnya, ideologi lain yang radikal tumbuh subur. Gagasan dan kehendak lama kelompok Islam radikal ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) tumbuh kembali karena pemerintah melakukan pembiaran dan permisif terhadap menjamurnya gerakan radikal yang berbasis ideologi yang berhaluan keras.
Gerakan NII tidak lagi sebagai bahaya dan ancaman laten tetapi sudah manifes dan secara diam-diam telah menjalar ke mana-mana dengan wujud organisasi yang berbeda beda. Ada Jamah Islamiyah,Komando Jihad, dan lain-lain. Sasaran perekrutan anggota kelompok radikal ini adalah kaum muda yang mental ideologinya kosong atau lemah tentang Pancasila dan NKRI. Metode perekrutan melalui rayuan dan diskusi yang secara tidak sadar ditanamkan rasa kebencian terhadap NKRI dan Pancasila serta memutarbalikkan fakta dan ajaran agama. Kasus terbaru, hilangnya 9 mahasiswa di Malang akhirnya terkuak karena diculik oleh kelompok orang yang diduga dari kelompok dan jaringan NII. Para mahasiswa tersebut dicuci otaknya dari kotoran ajaran agama dan kenegaraan yang menurut penculik tidak benar kemudian otak para mahasiswa tersebut diindoktrinasi dengan ajaran-ajaran yang membenarkan NII dan menanamkan kebencian dan permusuhan terhadap keluarga, orang tua, NKRI dan Pancasila.
Anak muda remaja merupakan sosok yang belum mempunyai jati diri dan identitas diri yang jelas. Mereka kelompok yang sedang berburu identitas melalui berbagai pembelajaran dan peniruan. Semangat belajar dan rasa ingin tahu sangat tinggi. Segala sesuatu yang baru ingin dicobanya. Emosinya masih sangat labil. Gambang sekali mengikuti arus yang berkembang di masyarakat. Mereka umumnya membentuk grup, geng atau kelompok sesuai dengan minat dan kemauan. Kondisi seperti ini mudah sekali dimasuki ajaran-ajaran yang menyesatkan oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Itulah sebabnya, para teroris dan kaum radikal mencari dan berburu anak-anak muda yang penghayatan agamanya masih lemah dan mental ideologi berbangsa dan bernegara belum mantap.
Kondisi anak muda yang mudah jatuh dalam gerakan radikalisme dan anarkisme dikarenakan pemerintah melakukan pembiaran akan pendidikan politik. Pemerintah tidak cepat mengambil kebijakan yang dapat menyelamatkan anak-anak muda dari pengaruh radikalisme yang melanda Indonesia pada awal-awal kebangkitan demokrasi. Kekosongan ideologi akibat sikap menghindari Pancasila dan meniadakan P-4 sama saja memberikan kesempatan luas masuknya dan tumbuhnya ideologi lain. Pemerintah sibuk dengan dirinya sendiri sehingga lupa menyelematkan anak-anak bangsa dari pengaruh dan ajaran ideologi radikal.
Karena tiadanya kebijakan dalam pendidikan politik yang jelas, maka para pemimpin umat beragama pun tidak mempunyai pedoman yang dijadikan tuntunan dalam berdakwa yang sejuk, damai, dan mengedepankan persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan bangsa. Selain itu, penegakan hukum oleh pemerintah juga lemah terhadap pelaku anarkis dan kaum radikalis. Partai politik pun setali tiga uang, sama saja, sibuk dengan kepentinganya sendiri, hanya ramai berebut dan bagi-bagi kekuasaan. Parpol belum dapat melaksanakan pendidikan politik untuk rakyat khususnya kaum muda yang mestinya menjadi tugas dan kewajibannya dalam menjalankan salah satu fungsi politiknya. Ormas kepemudaaan dan organisasi kemahasiswaan kurang ada kontrol dan pembinaan dalam melaksanakan aktivitasnya seolah-olah mereka sudah manusia yang matang, padahal mereka anak-anak muda yang sedang dalam proses belajar yang perlu pengawasan dan pengarahan. Tampaknya demokrasi telah disalahgunakan dan dimanfaatkan oleh kaum radikalis untuk menebarkan ideologinya di kalangan kaum muda.
Jalan Keluar
Agar kondisi ini tidak semakin berlarut-larut dan gerakan radikalisme dan anarkisme tidak semakin tumbuh subur di kalangan kaum muda, maka pemerintah secepatnya harus mengambil sikap dan kebijakan.
 Pertama, perlu dipikirkan adanya lembaga semacam BP7 yang secara khusus mengelola pelaksanaan civic education atau pendidikan politik bagi rakyat dengan penekanan kurikulum pada pembentukan watak sebagai orang Indonesia yang mengakui dan menghormati kehidupan yang multikultural atau kebhinekaan yang bersumber Ideologi Pancasila yang disesuaikan dengan tuntutan demokratisasi.
 Kedua, perlu dibentuk lembaga khusus atau memberikan wewenang dan fasilitas kepada ormas agama untuk mendidik, membina dan mengawasi kaum muda yang tersesat atau korban dari ajaran ideologi radikal. Hal ini untuk memutus mata rantai ajaran yang mungkin akan muncul kembali bila tidak dilakukan pembinaan dan pengawasan.
Ketiga, pemerintah harus menfasilitasi para pemimpin agama untuk secara teratur dan berkesinambungan melakukan up dating wawasan tentang Pancasila dan negara kebangsaan NKRI serta kebijakan-kebijakan aktual yang berkaitan dengan upaya terus menerus mewujudkan kedamaian, persatuan dan kesatuan di atas kebhinekaan bangsa. Dengan tambahan bekal wawasan yang selalu baru diharapkan para pemimpin agama / ulama dapat menyampaikan dakwah kepada umatnya hal-hal yang sejuk.
Keempat, kembali dihidupkan pembekalan (seperti P-4) tentang Pancasila sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI kepada anak didik pada awal masuk jenjang sekolah dan kuliah. Kegiatan orientasi sekolah harus ada materi pembekalan ideologi Pancasila dan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Untuk di perguruan tinggi, perlu dipikirkan ulang agar Ideologi Pancasila menjadi mata kuliah wajib yang berdiri sendiri dengan beban sks minimal 3 (tiga), bukan seperti sekarang ini hanya bagian dari mata kuliah kewarganegaraan yang hanya 2 sks. Mempelajari ideologi Pancasila tidak sekedar hafal sila-sila Pancasila dan tahu maknaya, tetapi lebih dari itu yakni faham dan menghayati kandungan filosisnya yang berakar dari warisan budaya bangsa. Diharapkan dengan memberikan pendidikan Ideologi Pancasila yang memadai dan mendasar akan mampu membentengi anak-anak muda dari ideologi radikal.
Kelima, orang tua harus meningkatkan kualitas dan kuantitasnya dalam berkomunikasi dengan anak sehingga kalau ada hal-hal yang dirasa aneh atau di luar kebiasaan dalam bersikap dan berfikir dari diri si anak, maka orang tua dapat cepat mengerti untuk kemudian segera dapat diambil tindakan. Anak-anak muda yang tersesat dalam bertindak pada umumnya dialami dalam keluarga yang komunikasinya antara anak dan orang tua kurang harmonis. Kemajuan teknologi informasi juga berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas komunikasi dalam keluarga. Orang tua dan anak mungkin dekat secara fisik, tetapi masing-masing sibuk dengan HP-nya menjalin komunikasi dengan jaringan dan kelompoknya sendiri-sendiri.
Dan keenam, masyarakat hendaknya waspada dan kritis terhadap kelompok-kelompok pengajian atau pengikut agama yang eksklusif, tertutup dan terkesan menjauhi kehidupan sosial yang normal. Perilaku dan tindakan yang aneh dari lingkungan sekitar atau menyendiri biasanya ada sesuatu yang dirahasiakan. Selain itu, masyarakat juga harus kritis dan waspada terhadap isi ceramah agama yang disampaikan oleh uztads atau pemimpin agama lainnya yang sering atau bahkan terus menerus menanamkan rasa kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah, negara atau agama lain. Isi ceramah dan pengajian yang bernada provokatif merupakan awal atau bibit cikal bakal tumbuhnya sikap dan pemikiran radikalisme dalam masyarakat.

Marilah udara demokrasi patut disyukuri sebagai berkah untuk mengembangkan potensi diri dan kelompok demi untuk kesejahteraan, kedamaian, persatuan dan kesatuan di atas kebhinekaan bangsa dalam bingkai Negara Kebangsaan NKRI yang berdasar Pancasila. Semoga. Terimakasih.

Selasa, 13 September 2011

Potret Idealisme B,J, Habibie

Sesuai dengan postingan sebelumnya yang mengangkat tema apatis vs idealis. Pada postingan ini akan kami hadirkan BJ Habibie yang tetap pada idealisnya meskipun beberapa tindakannya dinilai apatis bagi sebagian orang. Penilaian sebenarnya tergantung pada masing-masing individu, tapi kami akan berikan potret mengenali beliau sehingga anda bisa memutuskan sendiri.

Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Alwi Abdul Jalil Habibie lahir pada tanggal 17 Agustus 1908 di Gorontalo dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo lahir di Yogyakarta 10 November 1911. Ibunda R.A. Tuti Marini Puspowardojo adalah anak seorang spesialis mata di Yogya, dan ayahnya yang bernama Puspowardjojo bertugas sebagai pemilik sekolah. Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Alwi Abdul Jalil Habibie lahir pada tanggal 17 Agustus 1908 di Gorontalo dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo lahir di Yogyakarta 10 November 1911. Ibunda R.A. Tuti Marini Puspowardojo adalah anak seorang spesialis mata di Yogya, dan ayahnya yang bernama Puspowardjojo bertugas sebagai pemilik sekolah. B.J. Habibie adalah salah satu anak dari tujuh orang bersaudara.


B.J. Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962, dan dikaruniai dua orang putra, yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal.


Sebelumnya ia pernah berilmu di SMAK Dago. Ia belajar teknik mesin di Institut Teknologi Bandung tahun 1954. Pada 1955-1965 ia melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat, menerima gelar diplom ingineur pada 1960 dan gelar doktor ingineur pada 1965 dengan predikat summa cum laude.

Habibie mewarisi kondisi kacau balau pasca pengunduran diri Soeharto akibat salah urus di masa orde baru, sehingga menimbulkan maraknya kerusuhan dan disintegerasi hampir seluruh wilayah Indonesia. Segera setelah memperoleh kekuasaan Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.

Pada era pemerintahannya yang singkat ia berhasil memberikan landasan kokoh bagi Indonesia, pada eranya dilahirkan UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU Partai Politik dan yang paling penting adalah UU otonomi daerah. Melalui penerapan UU otonomi daerah inilah gejolak disintergrasi yang diwarisi sejak era Orde Baru berhasil diredam dan akhirnya dituntaskan di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanpa adanya UU otonomi daerah bisa dipastikan Indonesia akan mengalami nasib sama seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.

Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian.

Salah satu kesalahan yang dinilai pihak oposisi terbesar adalah setelah menjabat sebagai Presiden, B.J. Habibie memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste), ia mengajukan hal yang cukup menggemparkan publik saat itu, yaitu mengadakan jajak pendapat bagi warga Timor Timur untuk memilih merdeka atau masih tetap menjadi bagian dari Indonesia. Pada masa kepresidenannya, Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi negara terpisah yang berdaulat pada tanggal 30 Agustus 1999. Lepasnya Timor Timur di satu sisi memang disesali oleh sebagian warga negara Indonesia, tapi disisi lain membersihkan nama Indonesia yang sering tercemar oleh tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur.
Kasus inilah yang mendorong pihak oposisi yang tidak puas dengan latar belakang Habibie semakin giat menjatuhkan Habibie. Upaya ini akhirnya berhasil dilakukan pada Sidang Umum 1999, ia memutuskan tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.

Pandangan terhadap pemerintahan Habibie pada era awal reformasi cenderung bersifat negatif, tapi sejalan dengan perkembangan waktu banyak yang menilai positif pemerintahan Habibie. Salah pandangan positif itu dikemukan oleh L. Misbah Hidayat Dalam bukunya Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden.

Visi, misi dan kepemimpinan presiden Habibie dalam menjalankan agenda reformasi memang tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidupnya. Setiap keputusan yang diambil didasarkan pada faktor-faktor yang bisa diukur. Maka tidak heran tiap kebijakan yang diambil kadangkala membuat orang terkaget-kaget dan tidak mengerti. Bahkan sebagian kalangan menganggap Habibie apolitis dan tidak berperasaan. Pola kepemimpinan Habibie seperti itu dapat dimaklumi mengingat latar belakang pendidikannya sebagai doktor di bidang konstruksi pesawat terbang. Berkaitan dengan semangat demokratisasi, Habibie telah melakukan perubahan dengan membangun pemerintahan yang transparan dan dialogis. Prinsip demokrasi juga diterapkan dalam kebijakan ekonomi yang disertai penegakan hukum dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam mengelola kegiatan kabinet sehari-haripun, Habibie melakukan perubahan besar. Ia meningkatkan koordinasi dan menghapus egosentisme sekotral antarmenteri. Selain itu sejumlah kreativitas mewarnai gaya kepemimpinan Habibie dalam menangani masalah bangsa. Untuk mengatasi persoalan ekonomi, misalnya, ia mengangkat pengusaha menjadi utusan khusus. Dan pengusaha itu sendiri yang menanggung biayanya. Tugas tersebut sangat penting, karena salah satu kelemahan pemerintah adalah kurang menjelaskan keadaan Indonesia yang sesungguhnya pada masyarakat internasional. Sementara itu pers, khususnya pers asing, terkesan hanya mengekspos berita-berita negatif tentang Indonesia sehingga tidak seimbang dalam pemberitaan.

Setelah ia turun dari jabatannya sebagai presiden, ia lebih banyak tinggal di Jerman daripada di Indonesia. Tetapi ketika era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, ia kembali aktif sebagai penasehat presiden untuk mengawal proses demokratisasi di Indonesia lewat organisasi yang didirikannya Habibie Center.

Dibandingkan dengan para mantan presiden sebelum era Susilo Bambang Yudhoyono, Habibie memperoleh nama harum di kalangan generasi muda pasca reformasi. Hal ini disebabkan bahwa ia mungkin adalah satu-satunya presiden dalam sejarah yang memegang negara yang mengalami disintergrasi parah, birokrasi yang bobrok dan militer yang mentalnya rendah tapi berhasil menyelamatkan negara tersebut dan memberi fondasi baru yang kokoh bagi penerusnya. Memang pada masa Habibie Indonesia harus melepas Timor Timur, tetapi ia berhasil mempertahankan wilayah eks Hindia Belanda tetap bersatu dalam Republik Indonesia.

Karya Habibie
  • Proceedings of the International Symposium on Aeronautical Science and Technology of Indonesia / B. J. Habibie; B. Laschka [Editors]. Indonesian Aeronautical and Astronautical Institute; Deutsche Gesellschaft für Luft- und Raumfahrt 1986
  • Eine Berechnungsmethode zum Voraussagen des Fortschritts von Rissen unter beliebigen Belastungen und Vergleiche mit entsprechenden Versuchsergebnissen, Presentasi pada Simposium DGLR di Baden-Baden,11-13 Oktober 1971
  • Beitrag zur Temperaturbeanspruchung der orthotropen Kragscheibe, Disertasi di RWTH Aachen, 1965
  • Sophisticated technologies : taking root in developing countries, International journal of technology management : IJTM. - Geneva-Aeroport : Inderscience Enterprises Ltd, 1990
  • Einführung in die finite Elementen Methode,Teil 1, Hamburger Flugzeugbau GmbH, 1968
  • Entwicklung eines Verfahrens zur Bestimmung des Rißfortschritts in Schalenstrukturen, Hamburger Flugzeugbau GmbH, Messerschmitt-Bölkow-Blohm GmbH, 1970
  • Entwicklung eines Berechnungsverfahrens zur Bestimmung der Rißfortschrittsgeschwindigkeit an Schalenstrukturen aus A1-Legierungen und Titanium, Hamburger Flugzeugbau GmbH, Messerschmitt-Bölkow-Blohm GmbH, 1969
  • Detik-detik Yang Menentukan - Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, 2006 (memoir mengenai peristiwa tahun 1998)

 sumber: Wikipedia